BincangMuslimah.Com – Sa’i merupakan salah satu rukun haji dan umroh yang dilakukan setelah ibadah thawaf. Makna sa’i sendiri dalam bahasa arab berasal dari kata سعى سعيا (sa’aa – sa’yan) bermakna qashdu (niat atau tujuan) dan mashyu (berjalan). Sedangkan makna syariahnya adalah berlari kecil atau berjalan dari bukit shafa ke bukit marwah berjarak sekitar 405 meter dan dilakukan berulang sebanyak 7 kali. Artikel ini akan menjelaskan tentang makna di balik sa’i dan sunnah-sunnahnya.
Pada zaman dahulu kaum musyrikin juga melakukan ritual seperti sa’i, namun bedanya mereka melakukannya atas dasar menyembah berhala. Mereka meletakkan isaf (nama berhala mereka) di puncak bukit shafa, dan na’ilah di puncak bukit marwah. Kaum muslimin menyadari bahwa itu sama sekali tidak benar. Kemudian turun firman Allah surah Al Baqarah ayat 158 yang semakin menguatkan hati mereka: “Sesungguhnya Shafa dan Marwah merupakan sebagian dari syiar (agama) Allah. Maka barang siapa beribadah haji ke baitullah atau berumrah, tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya….”. kata-kata sebelum akhir pada ayat tersebut dimaksudkan untuk menghilangkan keraguan kaum muslimin bahwa sa’i mereka dan sa’i yang dilakukan kaum musyrikin adalah berbeda.
Dalam kalimat sa’yun yang berarti usaha atau upaya juga dikaitkan dengan penerapannya dalam kehidupan manusia. Sekuat dan selemah apapun manusia hendaknya memiliki usaha atau ikhtiar dalam mencapai sesuatu dengan penuh ketegaran hati dalam menggapai ridho Allah, serta untuk mencapainya kita memerlukan sebuah kesabaran. Hal ini seperti yang disebutkan oleh Abi Quraish Shihab dalam tafsirnya Al-Misbah setelah menjelaskan tentang adanya benang merah antara surat Al-baqarah 155-157 dengan perintah sa’i ayat 158.
Sejarah yang sangat dikaitkan dengan makna di atas adalah perihal napak tilas Sayyidatuna Hajar istri nabi Ibrahim saat beliau berlari dari shafa ke marwah, mencarikan air untuk putranya yakni Nabi Ismail yang sedang dilanda kehausan. Beliau berlari berbolak-balik selama 7 kali dan tidak disangka air ternyata memancar dari tanah di bawah kaki Nabi Ismail, yang sekarang kita kenal dengan air zam-zam.
Adapun sunnah-sunnah saat bersa’i adalah suci dari hadats, berjalan dan berlari-lari kecil, boleh juga menggunakan kursi roda atau skuter matic bagi yang udzur karena tempat sa’i (mas’a) yang sekarang sudah dikembangkan sedemikian rupa untuk memudahkan para jamaah lansia atau yang sakit. Disunnahkan pula bagi jamaah laki-laki untuk naik sampai ke bukit Shafa dan Marwah. Sunnah yang paling dianjurkan yakni melafalkan zikir saat memulai hingga berakhirnya perjalanan, serta menghadap ka’bah ketika berdoa.
Sa’i juga merupakan representasi dari ibadah kita pada Allah swt, yang mana harus dilakukan berulang kali secara terus menerus (istiqomah) dan prima, sebagai bentuk pengabdian dan kehambaan kita padaNya. Untuk hasil dan pahalanya diserahkan seluruhnya kepada Allah SWT. Sebagaimana nabi juga memerintahkan “ikat untamu, baru bertawakal kepada Allah”. Nilai-nilai ketauhidan yang ada pada sa’i tersirat dalam salah satu lafal yang disunnahkan untuk dibaca saat sa’i:
الله أكبر الله أكبر، الله أكبر ولله الحمد، والله أكبر على ما هدانا، والحمد لله على ما هدانا وأولانا، ولا اله إلا الله وحده لا شريك له، له الملك وله الحمد يحيي ويميت بيده الخير وهو على كل شيء قدير ولا اله إلا الله، صدق وعده ونصر عبده وهزم الأحزاب وحده، لا اله إلا الله ولا نعبد إلا إياه مخلصين له الدين ولو كره الكافرون.
Dari beberapa sudut pandang makna, sejarah serta ritual ibadahnya, banyak kita ketahui filosofi dan keistimewaan yang ada di balik ibadah sa’i. Di dalamnya banyak terkandung nilai-nilai ketauhidan yang tinggi juga nilai-nilai moral dalam kehidupan, yang mewakili usaha-usaha setiap insan dalam memperjuangkan hidupnya menuju ketenangan dan ridlo Allah SWT.