BincangMuslimah.Com – Pembicaraan dalam membangun wacana kesetaraan gender kerap dimulai dengan membedakan makna seks dan gender. Term ini lazim dianggap sama, yakni bermakna jenis kelamin manusia yang terdiri dari laki-laki dan perempuan dan bersifat mutlak harus diterima sebagaimana adanya.
Sebenarnya term tersebut memiliki makna berbeda, seks hanya terbatas pada pembagian manusia secara biologis, sedangkan gender merupakan pemberian kontruksi dan kultural sosial. Perdebatan mengenai pengertian term tersebut tidak pernah tuntas sampai ke akar-akarnya.
Selain mengamini kontruksi sosial, kita terlalu skeptis terhadap perjuangan feminisme itu sendiri. Dalam perdebatan dan perkembangannya maka lahir lah dua argumentasi yakni konsep Nurture dan konsep Nuture. (Ensiklopedia Feminisme:2007).
Pemahaman Konsep Nurture dan Nuture secara tepat juga mendalam merupakan faktor yang menentukan dalam memahani kajian feminisme. Term gender, nurture dan nature sebelumnya tidak dikenal dalam kebudayaan Indonesia. Term-term tersebut merupakan kata serapan dari bahasa Inggris, kemudian makna yang ada ssekarang merupakan hasil asimilasi atau terjemahan langsung sebagaimana makna aslinya.
Gender dalam kajian feminisme bermakna ciri atau sifat yang dihubungkan dengan jenis kelamin tertentu, baik berupa kebiasaan, budaya maupun perilaku psikologis, bukan perbedaan secara biologis. Para feminis secara membedakan definisi seks sebagai jenis kelamin biologis sejak lahir yakni laki-laki dan perempuan berdasar alat kelamin yang dimiliki, sedangkan gender adalah jenis kelamin sosial berupa atribut maskulin atau feminin yang merupakan kontruksi sosial budaya. (Maggie Humm:Dictionary of Feminist)
Dalam sejarah munculnya terminologi gender tidak bisa lepas dari kajian humaniora, terutama psikologi yang berkaitan dengan tren transseksual. Dalam bahasa Inggris, pembedaan makna antara sex dan gender pertama kali diperkenalkan oleh para psikiater Amerika dan Inggris juga para petugas medis yang bekerja dengan pasien transseksual dan interseks pada tahun 1960-an dan 1970-an. Istilah ini kemudian digunakan oleh para feminis sebagai sanggahan melawan argumen tentang faktor biologi gender sebagai takdir. Sejak saat itu konsep ini diadopsi secara luas sebagai suatu sistem analisa kajian pengembangan gender gerakan feminisme global. (Judith Butler:Undoing Gender).
Selanjutnya Nature secara etimologi diartikan sebagai karakteristik yang melekat atau keadaan bawaan pada seseorang atau sesuatu, bisa juga sebagai kondisi alami atau sifat dasar manusia. Dalam kajian gender, term nature diartikan sebagai teori atau argumen yang menyatakan bahwa perbedaan sifat antar gender tidak lepas dan bahkan ditentukan oleh perbedaan biologis (seks).
Disebut sebagai teori nature karena menyatakan bahwa perbedaan lelaki dan wanita adalah natural dan perbedaan alami tersebut timbul perbedaan bawaan berupa atribut maskulin dan feminin yang melekat padanya secara alami. Jadi, seharusnya dalam menyikapi perbedaan yang ada bukan dengan menghilangkannya, melainkan dengan menghapus diskriminasi dan menciptakan hubungan yang serasi. (Meriam Webster: Nature)
Teori ini sangat akrab dengan ilmuwan klasik dan religius. Teori ini juga sering dikaitkan dengan Roussuae, Kant, dan Hegel, namun yang dianggap sebagai peletak dasar teori ini secara ilmiah adalah Charle Darwin dan didukung oleh Teori Hereditas Gregor Mendel. Dalam kajian gender, teori ini dipopulerkan oleh Carol Giligan dan Alice Rossi yang pada akhirnya membelokkan diskursus feminisme ke arah biological essentialism pasca tahun 1980-an ditandai dengan penerimaan kembali kepada konsep perbedaan peran gender. Dibarengi dengan konsep nature menjadi lebih dominan. Para penggagas teori ini bertujuan untuk menciptakan keharmonisan sosial, kesetaraan yang adil dalam keragaman. (Carol Giligan: In a Different Voice).
Sedangkan Nurture adalah kegiatan perawatan atau pemeliharaan, pelatihan, serta akumulasi dari faktor-faktor lingkungan yang memengaruhi kebiasaan dan ciri-ciri yang nampak. Terminologi kajian gender memaknainya sebagai teori atau argumen yang menyatakan bahwa sifat perbedaan sifat maskulin dan feminin tidak ditentukan oleh perbedaan biologis, melainkan konstruk sosial dan pengaruh faktor budaya.
Dinamakan Nurture karena faktor-faktor kontruksi sosial dan budaya menciptakan atribut gender serta membentuk stereotip dari jenis kelamin tertentu. Hal tersebut terjadi selam pengasuhan orang tua atau masyarakat yang terulang secara bturun temurun. Dikarenakan ada faktor budaya di dalamnya, argumen ini sering kali disebut sebagai konsep culture. Tradisi yang teruss berulang kemudian membentuk kesan di masyarakat bahwa hal tersebut merupakan sesuatu yang dialami.( Meriam Webster:Nurture).
Perbedaan konstruk sosial dalam masyarakat mengakibatkan relatifitas tolak ukur atribut maskulin dan feminin antar budaya. Sifat tertentu yang dilekatkan pada suatu gender di suatu komunitass belum tentu sama dengan yang lainnya. Dari sini feminis dan pegiat gender dengan definisi barunya bisa berubah dan dipertukarkan antar jenis kelamin. Perbahan dan pertukaran tersebut menjadi mungkin karena perbedaan tempat, waktu, tingkat pendidikan, kondisi fisik, orientasi seksual, dan sebagainya.
Definisi baru tersebut juga menjurus pada dekontruksi norma dan tatanan yang ada. Peraturan, kebiasaan, penilaian, dan perlakuan yang di dalamnya terdapat pembedaan antara lak-laki dan perempuan mulai dikaji ulang dengan sudut pandang feminisme dan kesetaraan gender, dari sinilah kemudia muncul istilah muncul istilah-istilah semacam ketimpangan gender, bias gender, hegemoni patriarki, sexissme dan misogini.
Konsep nature sekilas mengakui adanya fitrah yang membedakan laki-laki dan perempuan, baik secara biologis maupun sosial, namun konsep yang ada tidak terintegrasi dengan worldview tentang Tuhan serta agama sehingga memungkinkan terjadinya miskonsepsi. Konsep ini memang mengakui adanya kekuatan alam berupa kodrat biologis serta pengaruhnya dalam pembedan peran serta perilaku antara laki-laki perempuan, meskipun konsep ini tidak memberikan batasaan yang jelas.
Dalam Islam tidak memisahkan gender dengan jenis kelamin dan agama tidak seharusnya disamakan dengan budaya. Menurut para feminis dan pegiat gender, doktrin agama berupa hal-hal yang mengatur hubungan antar gender atau ketentuan hukum yang berbeda antara laki-laki dan perempuan harus disesuaikan dengan sudut pandang kesetaraan gender. Tidak jarang tuntutan tersebut disertai tuduhan bahwa syariat yang sampai pada kita sekarang bukan sebagaimana yang dikehendaki Tuhan, melainkan rekayasa budaya patriarki melalui para mufassir dan fuqaha untuk melanggengkan hegemoninya.
Padahal, tidak semua orang dapat menjadi mujtahid, ada syarat yang ketat berupa ilmu dan juga akhlak, itulah mengapa dalam tradisi Islam sebelumnya meski terkadang ditemukan beberapa perbedaan pendapat antar mujtahid, namun tidak pernah ada tuduhan-tuduhan semacam itu sebelumnya.
Akhirnya, karena syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi oleh para feminis dan pegiat gender, maka tidak mengherankan bila hasil “ijtihad” dengan dalih pembaharuan yang mereka lakukan selain melenceng jauh dari ijtihad ulama terdahulu ternyata juga lebih sarat kepentingan, terlalu memaksakan dalil-dalil agama sebagai pembenaran atas wacana feminisme dan humanisme yang mereka usung.(Hamid Fahmi:Liberalisasi Pemikiran).