BincangMuslimah.Com – Dalam kajian fikih, ada beberapa najis yang apabila mengenai tubuh, tempat, pakaian, atau benda lainnya dianggap ma’fu ‘anhu (tolerir). Artinya, najis tersebut tidak perlu dibersihkan dan dianggap diamaafkan. Tapi sejauh mana kadar najis ma’fu ‘anhu yang berimbas tidak wajibnya untuk dibersihkan?
Dalam tulisan ini, mari kita mengetahui kadar najis yang ma’fu anhu dari perspektif empat mazhab yang telah dirangkum oleh Syekh Wahbah Zuhaili dalam Mausu’atu al-Fiqh al-Islamiyah wa al-Qadha al-Mu’ashiroh.
Pertama, ulama mazhab Hanafi membatasi najis ma’fu ‘anhu pada dua jenis najis yaitu, mugholladzoh dan mukhoffafah. Kadar yang dimaafkan adalah kadar yang sedikit untuk najis yang padat maupun cair. Ukuran untuk najis benda padat seperti feses anjing atau babi adalah kurang dari satu dirham atau setara dengan 2 gram. Sedangkan najis yang berbentuk cair seperti air seni atau air liurnya berukuran kurang dari cekungan telapak tangan, yaitu saat telapak tangan menampung benda cair. Akan tetapi shalat bersama dengan najis mugholladzoh yang ma’fu ‘anhu dihukumi makruh tahrim.
Sedangkan najis muhkoffafah yang ma’fu ‘anhu adalah seukuran kurang dari seperempat benda yang terkena najis. Misal, najis tersebut mengenai anggota tangan, maka untuk bisa dihukumi ma’fu ‘anhu kadarnya harus kurang dari seperempat tangan. Sebagaimana diampuninya najis muthawassithoh yang sedikit seperti air kencing, sedikit cairan muntah yang mengenai baju karena darurat.
Hal yang perlu diperhatikan dari najis yang dima’fu anhu ini adalah keadaan yang darurat atau sulit untuk membersihkan. Karena membersihkan najis meskipun sedikit tetaplah diutamakan. Misal, najis yang sudah terlanjur terinjak kaki lalu menyebar ke beberapa tempat yang sulit diketahui. Karena ketidakjelasan tempat, kadarnya pun sedikit, dan kesulitan membersihkannya maka hal itu dimaafkan.
Kedua, ulama mazhab Maliki mengkategorikan darah, baik darah hewan, sekalipun babi atau darah manusia dalam kadar kurang dari satu dirham baghli atau setara dengan titik hitam di kaki keledai. Dan semua najis yang sulit dihindari di tempat shalat atau saat hendak melaksanakan shalat.
Begitu juga ditolerir dan diampuni bagi seseorang yang memiliki kelainan seperti penyakit beser atau istihadhoh. Misal, seseorang yang terus-menerus mengeluarkan air seni yang kemudian mengenai bajunya atau tubuhnya saat hendak atau sedang shalat. Contoh lainnya juga bagi perempuan yang terus-menerus mengalami keputihan. Hal itu ditolerir karena kesulitan menghindarinya.
Najis lainnya yang ditolerir dalam kalangan ulama mazhab Maliki adalah najis yang mengenai seorang dokter, tukang sembelih hewan, atau tukang jagal karena sulitnya menghindari najis dari tubuh dan bajunya. Selama najis tersebut dalam kadar yang sedikit. Tapi disunnahkan ia menyiapkan baju khusus untuk shalat.
Ketiga, ulama mazhab Syafi’i mentolerir darah-darah yang sedikit dari bisul, jerawat, atau luka-luka kecil yang ada di tubuh dan sulit dihindari. Begitu juga darah serangga yang darahnya tidak sampai mengalir seperti nyamuk, lalat, atau serangga lainnya. Akan tetapi, tidak seperti ulama mazhab Maliki dan Hanafi, ulama mazhab Syafi’i secara mutlak tetap mengharamkan najis yang berasal dari anjing dan babi walaupun sedikit.
Adapun kadar sedikit dalam ketentuan mazhab Syafi’i tidak diukur dengan satuan lain, tetapi dengan menurut kebiasaan masyarakat (‘urf) saja. Maka ketentuan sedikit atau banyak ditentukan menurut kebiasaan saja, tanpa ada ukuran pastinya.
Keempat, ulama mazhab Hanbali lebih ketat lagi. Najis yang ditolerir hanyalah darah yang sedikit, nanah, atau bekas luka pada tubuh karena sulit untuk membersihkannya. Begitu juga darah dalam jumlah sedikit dari manusia atau hewan yang halal atau tidak boleh dimakan. Kecuali bila darah-darah tersebut mengenai benda cair untuk bersuci, atau makanan dan minumam, maka hal itu tidak menjadi najis yang ditolerir.
Begitu juga lumpur-lumpur di jalanan yang mengenai baju atau badan karena sulitnya menjaga diri dari najis tersebut. Begitu juga najis yang berasal dari orang beser atau istihadhoh karena sulitnya menjaga diri atau pakaian dari najis-najis itu.
Demikian beberapa jenis dan kadar najis yang dima’fu ‘anhu atau ditolerir. Menjaga diri dari najis terutama saat hendak beribadah adalah wajib. Namun dalam kondisi dan syarat tertentu, hal tertentu bisa ditolerir jika mengalami kesulitan. Wallahu a’lam.