BincangMuslimah.Com – Lewat kejernihan pemikirannya, Imam Abul Hasan al-Asy’ari mampu menggaungkan kembali nilai-nilai akidah yang diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para Sahabat, di saat kelompok-kelompok Islam ekstrimis dan rasionalis sangat gencar menyiarkan ajarannya saat itu. Dengan kecerdasan yang dimiliki, beliau dapat membalikkan keadaan kala itu. Paham Mu’tazilah yang secara telak menguasai wilayah pemerintahan, akhirnya dibuat lemah oleh Imam Abul Hasan al-Asy’ari lewat argumentasinya yang berhasil mengoyak-ngoyak pemahaman masyarakat muslim di sana.
Di antara hal yang menjadikan pemikiran atau pun argumentasi Imam Abul Hasan al-Asy’ari begitu kuat dan tak terbantahkan, adalah kepiawaiannya dalam mengkolaborasikan nas-nas agama dan akal sehat manusia sebagai landasan pengambilan hukum. Sebagaimana yang terjadi saat itu, pendapat kelompok-kelompok Islam dalam hal akidah selalu saja bias pada salah satu di antara akal dan nas. Sehingga kesimpulan-kesimpulan yang dihasilkan selalu menuai perdebatan. Selalu ada saja kritik hebat yang dijatuhkan pada kesimpulan tersebut sebab bersinggungan dengan dalil-dalil lainnya.
Imam Abul Hasan al-Asy’ari (sekaligus Ahlussunnah wal Jamaah) meyakini bahwa dalil-dalil naqliyyah (nas-nas agama)secara esensial sebenarnya juga mengandung nilai-nilai aqliyyah (logis). Seperti dalam Surat al-Thur ayat 35 yang berbunyi,
أم خلقوا من غير شيء أم هم الخالقون
“Apakah mereka tercipta tanpa asal-usul, ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?”
Kalimat pertama dari ayat tersebut berupaya menegaskan, bahwa manusia tidak mungkin tiba-tiba ada tanpa ada yang menciptakan. Atau jika ditarik lebih umum, maka tidak ada satu hal pun di dunia ini yang keberadaannya tanpa pencipta/pembuat. Sedangkan kalimat yang kedua, ingin mengatakan bahwa mustahil manusia dapat menciptakan dirinya sendiri.
Nah, pemahaman demikian tentu saja diperoleh lewat penalaran dari nas ayat tersebut. Setiap insan yang berakal sehat dan memiliki keterampilan berlogika, pasti akan menemukan pemahaman yang sama terkait nas ayat tersebut. Oleh karenanya, hal ini menjelaskan bahwa dalil-dalil naqliyyah (nas-nas agama)secara esensial sebenarnya juga mengandung nilai-nilai aqliyyah (logis).
Barangkali selama ini kelompok Ahlussunnah wal Jama’ah acap kali mendapat kecaman, sebab mendahulukan dalil aqliyyah di saat dalil naqliyyah dan aqliyyah bertentangan. Akan tetapi, jika ditelisik maka kita akan menemukan bahwa hal tersebut bukanlah sesuatu yang menyalahi ketentuan syariat. Mengapa demikian? Sebab sekalipun melibatkan akal dalam menetapkan usul-usul keimanan dan kebenaran kabar-kabar tentang Ketuhanan, penalaran-penalaran kelompok Ahlussunnah wal Jama’ah hakikatnya terilhami atau terinspirasi dari kandungan dan nilai-nilai yang ada dalam nas-nas itu sendiri. Karena dalam banyak kasus, saat hanya bersandar pada nas tanpa akal justru akan kesulitan menemui kesimpulan.
Hal yang perlu diperhatikan adalah, dalam keterlibatan akal tersebut tidak kemudian Ahlussunnah wal Jama’ah secara ceroboh membenarkan setiap hasil pemikiran seseorang. Hal ini tidak benar adanya. Melainkan sebagaimana ulama hadis dalam menentukan kriteria perawi, dalam hal akidah Ahlussunnah wal Jamaah juga demikian. Artinya, yang dimaksud dalil-dalil aqliyyah tersebut tidak lain merupakan hasil dari pemikiran dan penalaran sekelompok ulama besar yang telah terverifikasi kealimannya.
Jika ulama hadits dikenal sebagai kelompok ulama yang paling membatasi manusia dalam hal mendahulukan akal dibanding nas, maka kita perlu tahu hal ini. Imam al-Khatib al-Baghdadi mengatakan demikian, “Jika seorang terpercaya (tsiqah) meriwayatkan sebuah kabar muttashil, maka kabar tersebut bisa ditolak salah satunya jika ia bertentangan dengan akal atau nalar. Sebab syariat diturunkan berdasarkan nilai-nilai yang dapat dinalar. Jika tidak, maka bukan bagian dari syariat.”
Oleh karena itu, telah jelas bagaimana Imam Abul Hasan al-Asyari serta Ahlussunnah wal Jamaah memposisikan akal dan nas dalam pengambilan hukum.
3 Comments