BincangMuslimah.Com-Isu tentang disabilitas belum banyak mendapat perhatian baik dari pemerintah, Non Government Organization (NGO), maupun kelompok organisasi lain di Indonesia. Menurut La Arpani dalam papernya, “Menanti Keadilan bagi Perempuan Difabel”, masalah disabilitas di Indonesia masih dipandang sebagai masalah individu, yang penyelesaiannya lebih ditekankan kepada penyelesaian kebutuhan praktis seperti keterampilan, modal usaha, dan alat-alat bantu.
Padahal teman-teman disabilitas terutama perempuan rentan sekali mengalami kasus kekerasan seksual, sehingga dia berhak dilindungi dan mendapatkan keadilan hukum. Masih banyak ditemukan sistem hukum yang diskriminatif terhadap perempuan disabilitas.
Stigma sosial yang mendiskriditkan posisi penyandang disabilitas mengilhami aturan perundangan di negeri ini untuk semakin tidak memberikan akses kaum disabilitas mendapat keadilan di ruang publik. Oleh karena itu, regulasi yang adil menjadi kebutuhan konstitusional bagi setiap warga negara, terlebih dalam melihat persoalan disabilitas. Sehingga, diskriminasi terhadap kaum disabilitas tidak dilanggengkan.
Menurut Muhammad Julijanto dalam papernya “Perempuan Difabel Berhadapan Hukum”, wacana disabilitas dalam Islam masih sangat jarang dikaji dan dibahas. Islam telah mengajarkan persamaan derajat dan persamaan peran untuk memakmurkan kehidupan dengan segala potensi dan kemampuannya. Allah swt berfirman dalam Surah At-Taubah [9]:91 sebagai berikut:
لَيْسَ عَلَى الضُّعَفَاءِ وَلَا عَلَى الْمَرْضَى وَلَا عَلَى الَّذِيْنَ لَا يَجِدُوْنَ مَا يَنْفِقُوْنَ حَرَجٌ إِذَا نَصَحُوا ِللهِ وَرَسُوْلِهِ مَا عَلَى الْمُحْسِنِيْنَ مِنْ سَبِيْلٍ وَاللهُ غَفُوْرٌرَّحِيْمٌ
Artinya: “Tidak ada dosa atas orang-orang yang lemah, atas orang-orang yang sakit, dan atas orang-orang yang tidak mendapatkan apa-apa yang dapat mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya, tidak ada jalan atas orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Q.S At-Taubah [9]:91).
Kajian hukum Islam tentang disabilitas sangat terbatas. Dalam kitab-kitab fiqih pun belum ada pembahasan yang memadai. Sumber rujukan yang ada belum dikaji mendalam. Disabilitas merupakan takdir yang tidak bisa dihindari masyarakat. Sehingga negara yang mempunyai kewajiban menjamin hak konstitusional bersama dengan masyarakat harus mempunyai perspektif kepedulian dan keadilan dalam melihat persoalan disabilitas.
Hasil pendampingan Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah Jawa Tengah pada 2018, kekerasan seksual terhadap perempuan difabel menunjukkan trend peningkatan dari tahun ke tahun. Ada tujuh kasus dengan spesifikasi berbeda di mana satu kasus terselesaikan dan yang lainnya terbengkalai karena kurangnya alat bukti. Sedangkan berdasarkan data Yayasan Cikal, ada 47 kasus kekerasan pada perempuan disabilitas.
Dalam wawancara Harjanti paralegal MHH PWA Jateng pada tahun 2016, secara lebih spesifik, kendala yang dihadapi dalam menangani kasus korban kekerasan, khususnya perempuan disabilitas, antara lain sumber daya manusia (pengacara maupun paralegal belum mempunyai pemahaman yang maksimal terhadap difabel), akses terbatas (dana, informasi, ekonomi, dan sebagainya), bukti terbatas, dan kesulitan komunikasi.
Faktor lain yang memengaruhi proses hukum dan masih bersifat diskriminatif terhadap perempuan disabilitas adalah ketidakstabilan penyandang tunagrahita. Sehingga menjadi hambatan dalam pengusutan kasus kekerasan. Keterangan yang berubah-ubah setiap saat, dianggap tidak sah menurut hukum. Meskipun mereka benar-benar menjadi korban tindak kekerasan.
Siti Kasiyati dalam Jurnal Al-Ahkam, Vol. 1 Nomor 1, “Problem Perlindungan Anak Berhadapan Hukum di Indonesia (Studi Pendampingan Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah Jawa Tengah)”, memaparkan bahwa kesulitan para difabel mencari keadilan mengalami kesulitan pada semua jenjang hukum.
Tidak adanya pendampingan saat pemeriksaan, ruang pemeriksaan tidak mudah diakses, dan minimnya informasi untuk korban di kepolisian. Jaksa tidak memberitahukan kepada pendamping hukum bahwa berkas sudah dilimpahkan karena korban sudah diwakili jaksa. Sedangkan di pengadilan, terkadang Undang-Undang kalah dengan pernyataan bahwa korban sudah diwakili jaksa dan hakim pun kesulitan berkomunikasi.
Semenjak diratifikasi konvensi PBB, Perlindungan hukum kaum difabel telah tertuang dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang pengesahan Convention on The Right of Person with Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas), tetapi kenyataannya di lapangan belum diatur secara detail, hanya secara garis besar saja. Ironisnya juga belum ada implementasi yang nyata.
Pada wawancaranya 12 Juli 2016, Siti Kasiyati, S.Ag., M.Ag, Ketua Majelis Hukum dan HAM PWA menjelaskan upaya yang dapat dilakukan untuk korban kekerasan seksual, antara lain:
Pertama, melakukan sinergitas semua pihak untuk membangun perspektif yang baik dari para aparat penegak hukum agar dapat membantu perempuan difabel korban kekerasan seksual dalam mendapatkan keadilan hukum. Misalnya melakukan FGD dengan aparat penegak hukum yang melibatkan pendamping dan masyarakat, audiensi ke Kementerian Hukum dan HAM, Workshop Organisasi Bantuan Hukum (OBH) yang terakreditasi dalam pemberi bantuan hukum bersama kakanwil.
Kedua, mengampanyekan pemenuhan hak difabel dalam mengakses keadilan. Misalnya: ada petugas hukum yang khusus dilatih untuk menangani persoalan difabel, karena memang diperlukan pengetahuan dan penanganan khusus. Aspirasi dapat disampaikan kepada DPR Provinsi dalam Reses, dan masukan untuk raperda dan RUU.
Ketiga, menfatwakan kesaksian difabel dalam pandangan Islam. Termasuk kesaksian anak terkait dengan diterima dan tidaknya kesaksian tersebut, dimana saksi tersebut menerangkan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan dialaminya sendiri.
Keadaan semakin parah bagi perempuan penyandangan disabilitas karena mengalami diskriminasi berganda. Satu sisi diskriminasi sebagai kaum disabilitas dan sisi lain sebagai kaum perempuan. Oleh karena itu, maka perempuan disabilitas hendaknya mendapatkan perhatian khusus, terlebih jika mereka harus memperjuangkan keadilannya dalam hukum.
Begitupun para penegak hukum harus memiliki persepsi yang sama terhadap disabilitas. Karena kenyataanya, disabilitas memang berbeda dengan orang able. Diperlukan pula penerapan hukum yang tidak diskriminatif terhadap perempuan disabilitas agar dapat mewujudkan hak asasi manusia yang setara di hadapan hukum.