BincangMuslimah.Com – Terdapat beberapa tradisi yang biasanya diadakan khusus untuk ibu hamil seperti tradisi Mapati dan Mitoni. Mapati ialah upacara syukuran yang diselenggarakan pada saat kehamilan telah berusia empat bulan. Sedangkan Mitoni adalah upacara syukuran yang diselenggarakan pada saat kehamilan telah berusia tujuh bulan. Kedua tradisi ini sama-sama bertujuan untuk mendoakan keselamatan bayi dalam kandungan dan sang ibu yang mengandung. Lalu, bagaimana hukum tradisi Mapati dan Mitoni dalam Islam?
Pelaksanaan tradisi Mapati dan Mitoni sebenarnya sangat menjunjung tinggi nilai-nilai Jawa, hal ini dapat diketahui dengan budaya dan pengadaan sesajen yang dilakukan dalam Mitoni ini. Akan tetapi selain nilai-nilai Jawa, terdapat ajaran Islam yang masih menyertai pelaksanaan acara tersebut. Ada sebagian masyarakat muslim yang menyikapi bahwa tradisi tersebut bersifat sunnah.
Mengapa harus Mapati dan Mitoni? Pada upacara Mapati di dalam Islam, saat usia kandungan memasuki usia empat bulan, sang jabang bayi mulai ditiupkan ruhnya. Saat janin berusia 120 hari atau 4 bulan dimulailah kehidupan dengan ruh, dan saat itulah ditentukan bagaimana ia berkehidupan selanjutnya, di dunia sampai di akhirat. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim hadis Nabi Muhammad saw :
إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا ثُمَّ يَكُونُ فِي ذَلِكَ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يَكُونُ فِي ذَلِكَ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يُرْسَلُ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيهِ الرُّوحَ وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيدٌ
Artinya : “Sesungguhnya seorang manusia mulai diciptakan dalam perut ibunya setelah diproses selama empat puluh hari. Kemudian menjadi segumpal daging pada empat puluh hari berikutnya. Lalu menjadi segumpal daging pada empat puluh hari berikutnya. Setelah empat puluh hari berikutnya, Allah pun mengutus seorang malaikat untuk menghembuskan ruh ke dalam dirinya dan diperintahkan untuk menulis empat hal; rezekinya, ajalnya, amalnya, dan sengsara atau bahagianya.”
Kemudian terus berjalan kehamilan tersebut hingga menginjak usia 7 bulan. Diketahui bahwa paling sedikitnya kehamilan itu usianya 6 bulan, sehingga apabila sudah mencapai 7 bulan bayi dalam kandungan sudah bisa dilahirkan. Di sinilah Mitoni ada untuk mendoakan agar proses persalinan lancar dan bayi serta ibunya sehat.
Pada dasarnya, dalam upacara syukuran Mapati atau Mitoni memiliki banyak step atau langkah. Tetapi pada zaman sekarang, banyak yang sudah meninggalkan seluruh rangkaian tersebut dan diganti dengan yang lebih sederhana namun tidak merubah esensi Mapati atau Mitoni itu sendiri.
Biasanya, pada zaman sekarang bentuk upacara syukuran ini hanya berupa pembacaan doa, khataman Alquran, sedekah dengan mengundang tetangga dan kerabat sanak keluarga, dan lain sebagainya. Namun, meskipun rangkaian-rangkaian yang panjang dihilangkan dan diringkas, hal tersebut tidak membatalkan atau mengurangi kesakralan tradisi ini.
Lalu, bagaimana pandangan Islam mengenai tradisi Mapati dan Mitoni? Pada hakikatnya, tradisi ini merupakan pengajuan permohonan kepada Allah agar anak yang lahir nanti menjadi manusia yang utuh, sehat, dianugerahi rezeki yang baik dan lapang, berumur panjang yang penuh dengan nilai-nilai ibadah, serta bahagia dunia dan akhirat.
Tradisi Mapati dan Mitoni ini sama dengan yang ada dalam Islam yakni biasanya disebut walimatul haml. Antara mapati atau mitoni dan walimatul haml memiliki tujuan dan esensi yang sama yakni untuk mendoakan keselamatan dan memanjatkan rasa syukur kepada Allah Swt.
Dari hadits di atas pula, banyak para ulama berpendapat supaya mendapatkan ruh dan rupa tubuh yang sempurna selayaknya manusia pada umumnya. Juga mendapatkan rezeki, ajal, amal, dan kebaikan atau keberkahan hidup untuk janin tersebut. Para ulama berinisiatif untuk memanjatkan doa kepada Allah. Tujuannya agar keinginan-keinginan yang diharapkan untuk janin tersebut dapat terkabul.
Agama Islam tidak pernah melarang penganutnya untuk berdoa memohon kepada Allah dengan wasilah-wasilah yang baik. Tradisi Mapati dan Mitoni salah satu bentuk atau cara berdoa memohon kepada Allah dengan wasilah tradisi dan adat yang sudah ada. Sebagian besar masyarakat muslim berpendapat bahwa hukum tradisi Mapati dan Mitoni adalah boleh dan dapat dilakukan selama tidak mengganggu keimanan Islam. Ulama Nusantara sepakat bahwa tradisi ini diperbolehkan selama tidak mengandung unsur kesyirikan dan tidak melanggar syariat Islam.