BincangMuslimah.Com– Dalam fikih Islam, salah satu pembahasan yang menarik adalah hukum peminjaman barang (al-‘ariyah) untuk dijadikan jaminan dalam gadai (ar-rahn). Kasus ini terjadi ketika seseorang meminjam barang dari orang lain untuk dijadikan jaminan utangnya. Pertanyaannya, apakah tetap menganggap peminjaman tersebut sebagai akad yang fleksibel atau berubah menjadi jaminan yang mengikat? Dan bagaimanakah hukum gadainya?
Status Barang Pinjaman Untuk Gadai
Dalam Mazhab Syafi’i, ada dua pendapat yang membahasnya secara mendalam. Imam Syafi’i dalam kitab al-Bayan fi Madhhab al-Imam al-Shafi’i (6/526) Abu al-Husain Yahya bin Abi al-Khair bin Salim menyebutkan:
Pertama, Hukumnya seperti ‘ariyah (pinjaman biasa) dan bukan sebagai tanggungan (dhaman), karena ia telah mengambil kepemilikan orang lain dengan izinnya hanya untuk memanfaatkan barang tersebut. Maka, statusnya tetap sebagai ‘ariyah, seperti ketika seseorang meminjam budak untuk keperluan pelayanan. Selain itu, dhaman adalah sesuatu yang terkait dengan tanggung jawab utang di bawah beban si penjamin, sedangkan dalam kasus ini, tidak ada hak yang terkait dengan tanggung jawab pemilik budak. Oleh karena itu, tidak dapat menganggapnya sebagai dhaman.
Kedua, Hukumnya adalah dhaman (tanggungan), dan imam al-Syasyi memilih pendapat serta merupakan pendapat yang lebih kuat (ashah). Sebab, ‘ariyah adalah sesuatu yang memberikan manfaat kepada peminjam, sedangkan dalam kasus ini, manfaat dari budak tersebut tetap untuk pemiliknya.
Pendapat tentang Keabsahan Gadai pada Barang Pinjaman
Menurut Abu al-Abbas, akad rahan pada barang pinjaman tidak sah karena kontradiksi sifat antara ‘ariyah dan rahan. Barang ‘ariyah dapat dibatalkan sewaktu-waktu oleh pemiliknya, sedangkan rahan adalah akad yang tidak dapat dibatalkan kecuali dengan pelunasan utang. Oleh karena itu, tidak dapat mendasarkan akad yang bersifat tetap pada akad yang bersifat fleksibel.
قال أبو العباس: لا يصح الرهن؛ لأن العارية عقد جائز، والرهن عقد لازم، فلا يجوز أن يستباح بالعقد الجائز العقد اللاز
Artinya: Abu al-Abbas berkata: “Akad gadai (rahn) tidak sah karena ‘ariyah (pinjaman) adalah akad yang bersifat fleksibel (ja’iz), sedangkan rahn adalah akad yang bersifat mengikat (lazim). Oleh karena itu, tidak diperbolehkan mendasarkan akad yang bersifat fleksibel pada akad yang bersifat mengikat. (al-Bayan fi Madhhab al-Imam al-Shafi’i, 6/526).
Sedangkan mayoritas ulama Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa akad rahan pada barang pinjaman tetap sah. Karena menganggap ‘ariyah dalam hal ini sebagai akad yang tidak mengikat (ghair lazim). Sehingga pemilik barang tetap memiliki hak untuk menarik barang tersebut kapan saja.
Lebih jauh, dalam kondisi tertentu, ‘ariyah dapat menjadi mengikat. Misalnya saat menggunakan barang tersebut untuk kepentingan tertentu setelah hasil kesepakatan. Seperti meletakkan balok pada dinding yang pinjaman, yang kemudian menggunakannya untuk membangun struktur di atasnya.
Syarat Sah Menggadaikan Barang Pinjaman
Selain pada al-Bayan fi Madhhab al-Imam al-Shafi’I karya Abu al-Husain Yahya, pembahasan tentang keabsahan gadai pada barang pinjaman juga terdapat dalam kitab-kitab lain. Seperti: Fathul Mu’in karya Imam Zainuddin al-Malibari hal 344. Beliau menyatakan bahwa memperbolehkan rahan pada barang ‘ariyah jika pemilik barang memberikan izin. Dengan syarat barang tersebut memenuhi kriteria sah untuk dijadikan jaminan.
ويصح رهن بإيجاب وقبول من أهل التبرع ولو عارية؛ لأنه جعل عين يجوز بيعها وثيقة بدين يستوفى منها عند تعذر الوفاء
Artinya: Akad gadai (rahn) sah dengan adanya pernyataan (ijab) dan penerimaan (qabul) dari pihak yang memberikan (tanda persetujuan), meskipun barang tersebut adalah barang pinjaman (‘ariyah), Karena barang tersebut dijadikan sebagai objek yang dapat diperjualbelikan sebagai jaminan utang yang dapat dilunasi darinya ketika utang tidak dapat dibayar.
Hukum rahan pada barang pinjaman (‘ariyah) dalam Mazhab Syafi’i memiliki dua pendapat, tidak sah, Karena kontradiksi sifat antara ‘ariyah (boleh membatalkan) dan rahan (mengikat). Adapula yang menyatakan sah, Jika barang ‘ariyah memenuhi syarat, seperti adanya izin pemilik dan kesesuaian penggunaan.