BincangMuslimah.Com – Setiap pasangan yang ingin melakukan akad pernikahan tentu menginginkan momen bahagia tersebut dijalani dengan sempurna dan tanpa adanya hambatan. Akad pernikahan biasanya didahului dengan kegiatan meminang dan seserahan.
Di Indonesia, banyak berlaku adat yang beragam terkait pernikahan berdasarkan dari daerah yang ditinggali. Banyak daerah yang menetapkan harusnya ada uang seserahan atau uang adat yang diserahkan oleh calon mempelai pria jika ingin mempersunting sang perempuan.
Tak tanggung-tanggung, nominal uang adat ini beragam dan bahkan bisa mencapai nilai milyaran rupiah. Dan jika sudah diserahkan dan akad pernikahannya batal atau terdapat kendala, maka kecil kemungkinan uang tersebut akan kembali lagi.
Namun dalam kasus tersebut, bagaimana fikih menanggapinya? Apakah boleh bagi seseorang untuk menarik kembali uang adat, terutama jika pernikahan batal?
Hukum Menarik Kembali Uang Adat Secara Fikih
Dalam literatur fikih, menarik kembali uang adat atau seserahan bagi salah seorang mempelai boleh-boleh saja, hal ini sebagaimana yang ada di dalam kitab Fathul Mu’in, halaman 489;
لو خطب امرأة ثم أرسل أو دفع بلا لفظ إليها مالا قبل العقد: أي ولم يقصد التبرع ثم وقع الإعراض منها أو منه رجع بما وصلها منه كما صرح به جمع محققون.
Artinya: jikalau seorang laki-laki melamar seorang perempuan, kemudian memberikan atau menyerahkan suatu harta (barang) sebelum akad dilangsungkan. Dalam artian bukan dalam rangka tabarru’, lalu terjadi penolakan dari si perempuan atau walinya perempuan, maka boleh untuk menarik kembali barang yang diserahkan. Hal ini sebagaimana penjelasan yang disampaikan oleh sekelompok ulama muhaqqiq.
Dari penjelasan tersebut, calon mempelai pria sah-sah saja mengambil uang atau barang yang diserahkan kepada si mempelai wanita. Dengan syarat pemberian hadiah tersebut bukan dalam rangka tabarru’.
Namun dalam konteks zaman sekarang, hukum fikih bisa saja berubah dengan melihat kondisi, situasi, zaman, dan tempat yang terjadi kasus fikih tersebut. Hal ini sesuai dengan kaidah fikih;
لا ينكر تغير الأحكام بتغير الأزمان
Artinya: Tidak diingkari perubahan hukum-hukum sebab berubahnya zaman.
Hukum Menarik Kembali Uang Adat Menurut ‘Urf
‘Urf (adat) menjadi sumber hukum tersendiri dalam syariat. Namun dalam penerapannya, ‘urf menjadi mashadir (sumber) hukum yang masih diperselisihkan ulama tentang kehujjahannya. Perbedaan pendapat ini didasari karena terkadang ‘urf yang muncul bertentangan dengan syariat atau hanya mengikut kepada hawa nafsu.
Oleh karena itu, ‘urf yang menyalahi syariat atau menyebabkan pelanggaran di dalam hukum Islam tidak boleh untuk dilakukan.
Di Indonesia sendiri, uang adat atau uang panai terhitung sebagai hadiah dan bukan bagian dari mahar. Jadi berdasarkan prinsip ‘urf, mengambil kembali hadiah yang diberikan kepada orang lain tidak diperbolehkan. Karena memberi hadiah merupakan ‘urf yang shahih dan bukan perbuatan yang bertentangan dengan syariat.
Hal ini sebagaimana yang terdapat di dalam kitab Musthalahat Wa Ta’rifat Fi Al-Fiqh Wa Ushulihi halaman 131;
العرف الصحيح : هو ما تعارفه الناس ولا يخالف دليلا شرعيا ولا يحل محرما ولا يبطل واجبا. كتعارفهم أن ما يقدمه الخاطب إلى خطيبته من حلي وثياب هو هدية لا من المهر.
Artinya: urf shahih adalah sesuatu yang sudah populer dikalangan manusia dan tidak menyalahi dalil syariat serta tidak menghalalkan yang haram atau membatalkan kewajiban. Seperti populernya sesuatu yang diberikan oleh laki-laki ketika melamar perempuan berupa perhiasan, atau pakaian. Karena hal tersebut terhitung sebagai hadiah, bukan bagian dari mahar.
Itulah pandangan fikih dan ‘urf terkait uang adat yang diberikan sebelum akad. Solusi yang terbaik dari kasus tersebut adalah dipecahkan dengan musyawarah dan dengan kepala dingin di antara kedua calon mempelai. Sekian, semoga bermanfaat.