BincangMuslimah.Com- Salah satu adat istiadat pernikahan yang terkenal di Indonesia ialah kewajiban memberikan uang panai dalam adat Bugis. Ketika menikahi perempuan, Islam mewajibkan pemberian mahar kepada perempuan sebagai simbol kesiapan untuk menanggung nafkah. Namun di Indonesia juga terdapat adat yang dilakukan laki-laki untuk pesta pernikahan misalnya uang panai. Lantas bagaimana hukum uang panai di dalam Islam?
Uang panai atau uang panaik ini adalah uang adat suku bugis dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan untuk pesta pernikahannya. Sejatinya uang adat tidak hanya berlaku bagi suku bugis saja, namun angka standar yang cukup tinggi dari uang panai membuat perempuan bugis dikenal dengan uang adat yang sangat mahal.
Nominal dari uang panai juga berdasarkan pendidikan dan nasab perempuan. Sehingga semakin tinggi pendidikan perempuan atau semakin tinggi derajat keluarganya maka uang panai yang menjadi standar untuk menikahi perempuan tersebut menjadi semakin tinggi.
Menurut suku bugis, nominal uang panai yang cukup besar ini memiliki banyak manfaat. Salah satunya untuk melihat kesungguhan laki-laki untuk menikahi perempuannya. Akan tetapi dalam beberapa kasus, nominal uang panai yang besar ini membuat laki-laki mengurungkan hajatnya untuk meminang perempuan bugis. Hal tersebut karena laki-laki tidak mampu membayar uang panai dari pihak perempuan.
Uang Panai dalam Islam
Sebagaimana yang dalam pembahasan sebelumnya, yang dalam Islam hanya mewajibkan mahar yang nominalnya biasanya tidak terlalu besar atau sesuai dengan kesepakatan. Sebagaimana firman Allah di dalam QS. An-Nisa’ [4]:25:
…فَٱنكِحُوهُنَّ بِإِذۡنِ أَهۡلِهِنَّ وَءَاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِ…
“…oleh karena itu nikahilah mereka dengan izin keluarga (tuan) mereka dan berilah mereka maskawin dengan cara yang pantas…”
Sedangkan uang panai merupakan uang adat yang bagi sebagian kalangan terkadang cukup memberatkan. Kendati demikian, tidak lantas bisa mengabaikan uang panai seenaknya. Karena Islam juga tidak menutup kemungkinan bahwa uang panai merupakan hal yang wajib secara adat. Sebagaimana sebuah kaidah fikih mengatakan:
العَادةُ مُحَكَّمَةٌ
“Suatu adat bisa menjadi dasar dalam penetapan hukum”
Berdasarkan kaidah ini, uang panai bisa menjadi sebagai hal yang wajib karena sudah sebuah adat yang berlaku turun menurun. Akan tetapi kewajiban ini hanya berkaitan dengan adat saja. Dengan kata lain ketika ada laki-laki yang menikahi perempuan bugis kemudian tidak membayar uang panai sesuai dengan nominal yang berlaku, ia tidak berdosa hanya menyalahi adat saja.
Terlebih jika laki-laki sudah mengerahkan kemampuannya namun hasilnya belum bisa menunaikan uang panai. Ada baiknya jika kedua belah pihak saling mengerti dan saling memberi pengertian agar bisa tetap melanjutkan pernikahan. Meskipun dengan uang adat yang tidak sesuai dengan uang panai yang ditentukan.
Selain itu, uang panai yang wajib secara adat ini merupakan uang yang nantinya sebagai modal pesta pernikahan. Sehingga jika menghubungkan dengan syariat, hukum uang panai adalah boleh karena di dalam Islam, pesta pernikahan (walimah al-‘Urs) tidak harus mewah.
Oleh karena itu, dalam praktiknya jika laki-laki ingin melakukan negosiasi kepada pihak perempuan bugis sangat bisa sesuai menurut syariat. Karena ketika seorang laki-laki memang serius untuk menikahi perempuan bugis, ia masih memiliki kesempatan untuk meminta keringanan dari uang panai jika memberatkan.
Dengan demikian, jika kaitannya dengan hukum syariat Islam, sejatinya hukum uang panai adalah boleh. Karena tidak ada dalil secara pasti yang menyatakan uang adat harus bernilai fantastis dan pesta pernikahan harus berlangsung mewah. Sedangkan secara adat, uang panai adalah wajib menurut suku bugis. Namun tidak menutup kemungkinan untuk meminta keringanan jumlah dari nominal uang panai.