BincangMuslimah.Com – Saat bulan Dzulhijjah, seorang muslim atau muslimah dianjurkan untuk berpuasa sunnah. Menurut ulama, puasa sunnah itu bisa dilakukan sebanyak 9 hari. Kendati tidak sanggup sampai 9 hari, bisa dilakukan kurang dari jumlah tersebut.
Namun, ada yang menjadi pertanyaan, bagaimana jika istri ingin puasa sunnah Dzulhijjah, haruskah izin suami? Pasalnya, banyak sekali perempuan muslimah yang telah memiliki suami ingin melakukan puasa sunnah 9 hari Dzulhijjah. Jika tidak minta izin, apakah puasanya sah? Atau ia berdosa?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, mari kita kutipkan pernyataan dalam kitab Hasyiatul Jamal yang mengatakan bahwa hukum istri puasa sunnah Dzulhijjah tidak memerlukan izin suami. Pasalnya, puasa tersebut tidak termasuk dalam puasa sunnah yang berulang-ulang.
أما ما لا يتكرر كعرفة وعاشوراء فلها صومها إلا إن منعها
Adapun puasa sunnah yang tidak terjadi berulang-ulang, seperti puasa Arafah dan Asyura, maka istri boleh mempuasainya kecuali jika suaminya melarangnya.
Ini berdasarkan penjelasan ulama Syafi’iyah, yang mengatakan bahwa puasa sunnah yang tidak berulang-ulang, maka seorang istri boleh puasa tanpa izin suaminya. Meski demikian, sah puasa, akan lebih arif jika istri meminta izin suaminya. Sebab waktu tersebut lumayan lama.
Penjelasan lengkap dari ulama 4 mazhab, dapat kita temukan dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah. Ulama Hanafiyah menyatakan makruh tahrim. Ulama lain mengatakan sah puasa, tetapi telah melakukan pekerjaan yang haram, sebab tak mendapatkan izin suami. Hanya ulama Syafi’i yang mengatakan sah dan pekerjaanya tidak haram.
ولو صامت المرأة بغير إذن زوجها صح مع الحرمة عند جمهور الفقهاء ، والكراهة التحريمية عند الحنفية ، إلا أن الشافعية خصوا الحرمة بما يتكرر صومه ، أما ما لا يتكرر صومه كعرفة وعاشوراء وستة من شوال فلها صومها بغير إذنه ، إلا إن منعها
Jika seorang istri puasa sunnah tanpa izin suaminya, maka puasanya tetap sah, namun istri tersebut telah melakukan keharaman. Itulah pendapat jumhur, ulama fiqih. Menurut ulama Hanafiyah menganggap puasa tanpa izin adalah makruh tahrim. Hanya saja ulama Syafi’iyah mengkhususkan keharaman jika puasa tersebut terjadi berulang kali. Adapun jika puasa tersebut tidak terjadi berulang-ulang, seperti puasa Arafah, puasa Asyura, puasa enam hari di bulan Syawal, maka dia boleh melakukannya tanpa izin suaminya, kecuali jika memang suaminya melarangnya.
Sementara itu ketika suami sedang berada di luar kota, maka tidak perlu izin dari suami. Penjelasan ini merupakan pendapat dari Syekh Abu Bakar Syatho, kitab I’anah Thalibin, bahwa suami sedang keluar kota, istri tidak perlu izin suaminya untuk melakukan puasa sunnah, termasuk 9 hari Dzulhijjah.
وخرج بكونه حاضرا في البلد ما إذا كان غائبا عنها فلا يحرم عليها ذلك بلا خلاف
Artinya: dikeluarkan dari keadaanya berada kampung (daerah tersebut), yaitu Ketika suami berada di luar kota, maka tindakan melakukan puasa tersebut tidak haram, pendapat ini tidak ada perselisihan di antara ulama.
1 Comment