BincangMuslimah.Com – Istilah “tunangan” banyak dianggap sama dengan khitbah dalam Islam. Khitbah sendiri berasal dari bahasa Arab yang berarti meminang. Proses khitbah adalah pengajuan lamaran kepada pihak perempuan yang berkemungkinan ditolak atau ataupun diterima. Apabila pihak wanita menerima dan berstatus makhtubah (sudah dilamar), barulah diadakan proses tukar cincin yang biasa disebut tunangan.
Melihat realitanya, tidak sedikit yang rencana pernikahannya gagal karena beberapa alasan. Jika kasusnya seperti ini, apakah perempuan harus mengembalikan cincin tunangan kepada pihak laki-laki?
Menurut Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah halaman 20, Bahwa lamaran itu hanya janji perkawinan, bukan akad yang mengikat. Masing-masing pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut berhak untuk mengurungkan rencananya yang telah disepakati. Pembuat syariat, Allah, tidak menetapkan sanksi material bagi pihak yang menyalahi janji karena pembatalannya meskipun tindakan demikian dianggap sebagai akhlak tercela dan pelakunya disifatkan sebagai orang munafik. Kecuali jika ada sejumlah hal situasi darurat yang memaksanya untuk menyalahi janji tersebut.
Dari pernyataan tersebut bisa kita simpulkan bahwa seserahan atau barang yang dibawa saat lamaran (khitbah) atau pertunangan itu sejatinya bisa ditarik kembali karena pertemuan tersebut hanya gerbang menuju pernikahan dan belum mengikat kedua pasangan.
Lebih jelasnya Syekh Wahbah Az-Zuhayli menjelaskan dalam Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu halaman 25,
لا يترتب على انفساخ الخطبة أي أثر ما دام لم يحصل عقد
Artinya: “Tidak ada apapun atas rusaknya lamaran, yaitu tiada konsekuensi hukum apapun selama belum ada akad nikah”.
قال الحنفية: هدايا الخطبة هبة، للواهب أن يرجع في هبته إلا إذا وجد مانع من موانع الرجوع بالهبة كهلاك الشيء استهلاكه. فإذا كان ما أهداه الخاطب موجوداً فله استرداده. وإذا كان قد هلك أو استهلك أو حدث فيه تغيير، كأن ضاع الخاتم، وأكل الطعام، وصنع القماش ثوباً، فلا يحق للخاطب استرداد بدله
Artinya: “Ulama Mazhab Hanafi mengatakan bahwa hadiah saat lamaran adalah hibah. Pihak yang memberikan hibah berhak menarik kembali barang hibahnya kecuali bila terdapat uzur yang menghalangi penarikan hibah kembali, yaitu kerusakan barang hibah atau habisnya barang hibah karena telah digunakan.
Kalau barang hibah yang diberikan pihak pelamar masih ada, maka ia berhak memintanya kembali. Jika barang hibah itu sudah rusak, sudah habis dipakai, atau terjadi perubahan padanya, yaitu cincin hilang, makanan telah dimakan, kain sudah bentuk menjadi pakaian oleh pedagang kain, maka pihak pelamar tidak berhak meminta kembali dalam bentuk kompensasi.”
Jadi, di sini ulama Hanafi menganggap seserahan tersebut termasuk sebagai hibah/hadiah dan mereka membolehkan untuk menarik kembali seserahan tersebut. Adapun Mazhab Maliki membolehkan menarik kembali seserahan tersebut dengan melihat siapa yang menginisiasi pembatalan pernikahan tersebut. Jika inisiatif datang dari pihak wanita, maka diperbolehkan menarik kembali seserahan. Apabila inisiatif datang dari pihak laki-laki, maka seserahan tersebut tidak berhak ditarik kembali oleh pihak laki-laki.
Sedangkan ulama Mazhab Syafi’i dan Hanbali bersepakat bahwa seserahan tersebut tidak berhak untuk ditarik atau dikembalikan karena sudah sampai pada akad ijab qobul hibah dan barang yang dihibahkan tidak boleh ditarik kembali kecuali hibahnya ayah kepada anaknya sendiri. Sebagaimana Hadis dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
لاَ يَحِلُّ لِرَجُلٍ أَنْ يُعْطِىَ عَطِيَّةً أَوْ يَهَبَ هِبَةً فَيَرْجِعَ فِيهَا إِلاَّ الْوَالِدَ فِيمَا يُعْطِى وَلَدَهُ
Artinya: “Tidak halal bagi seseorang yang memberi hadiah atau hibah, lalu dia menariknya kembali. Kecuali pemberian orang tua kepada anaknya.” (HR. Abu Daud 3541, Ibnu Hibban 5123 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).
Semua pendapat di atas berlaku bagi barang seserahan yang tidak dimaksudkan sebagai mahar. Sebagian seserahan yang dimaksudkan sebagai mahar selagi belum akad merupakan hak laki-laki. (Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, Beirut, Darul Fikr: 1985 M/1405 H, cetakan kedua, juz VII).
Perbedaan pendapat dari Imam empat Mazhab tersebut bukan semata untuk mengunggulkan diri satu sama lain, melainkan mereka berijtihad untuk merespon setiap kasus yang ada sesuai dengan tempat, situasi, kondisi, serta adat yang berkembang di kalangan masyarakat. Tidak lain dan bukan, visi mereka akan tetap sama yakni mencapai kemaslahatan umat agar tidak ada perpecahan.
Dalam kasus ini, apakah perempuan harus mengembalikan cincin tunangan dan semacamnya atau tidak, dikembalikan lagi kepada keluarga dan kedua belah pihak pasangan untuk bisa sama-sama rela dan sepakat sesuai dengan ketentuan syariat Islam.
2 Comments