BincangMuslimah.Com – Al-insan ‘abdul ihsan, begitu kiranya kata pepatah Arab, manusia adalah budak dari kebaikan. Jika seorang anak menyadari betul siapa yang paling baik berkorban untuk dirinya, pasti dia akan melakukan apapun untuk kedua orangtuanya.
Diterangkan dalam sebuah hadis, ada seorang sahabat yang meminta nasehat tentang jihad dan kesimpulan dari jawaban Rasulullah tersebut ialah berbakti kepada orangtua sama nilainya dengan jihad.
Menurut al-Qurthubi dalam tafsirnya, juz 2, halaman 229 mengatakan bahwa berbakti kepada orangtua merupakan sebuah amal perbuatan yang sangat agung dalam ajaran Islam. Allah bahkan memberikan maklumat untuk berbakti pada orangtua bergandengan dengan nama-Nya. Alasan Allah menyandingkan urusan tauhid dengan berbakti kepada orangtua dikarenakan betapa besar pengorbanan dan jasa orangtua terhadap seorang anak.
Berbakti kepada orangtua merupakan perjuangan yang amat mulia bagi seorang anak. Sebuah perjuangan yang diperintahkan oleh Rasulullah untuk lebih dijadikan prioritas daripada berjuang di medan perang. Dengan demikian, berbakti pada orangtua merupakan salah satu bentuk jihad yang paling utama.
Perjuangan sesungguhnya berbakti seorang anak adalah ketika dewasa, sebab pastilah orangtua memasuki masa tua yang lebih membutuhkan perhatian darinya. Dalam tafsir asy-Sya’rawi, juz 14, halaman 105, dikatakan bahwa seseorang tidak dapat memasuki surga sebab dia mendapati masa renta orangtuanya, namun tidak berusaha untuk berbakti kepadanya.
Namun mirisnya, di masa ketika orangtua lemah, sakit-sakitan, dan kesepian ini, justru dalam realitas sekarang ditinggalkan oleh anak mereka. Di saat orangtua tidak memiliki siapapun, anak satu-satunya yang mereka miliki bahkan enggan sekedar menjenguk. Mereka berdalih akan kesibukan pekerjaan, ketiadaan waktu, jauh, dan pahitnya perjalanan.
Berbakti kepada Orangtua Bukan Hanya Sekadar Tidak Menyakiti
Dalam suatu kesempatan, Gus Baha menjelaskan tafsir Surat Al-Ahqaf [46] ayat 15 yang artinya: “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya.” Berbuat baik menurutnya adalah tidak sekedar tidak membuat sakit hati. Misalnya, seorang anak tidak pernah memarahi atau memukul orangtuanya, akan tetapi dia tidak membahagiakannya seperti memberikan hadiah yang membuat orangtuanya senang. Berarti seseorang tersebut hanya tidak menyakiti, tetapi tidak berbuat baik.
Ulama ahli tafsir dengan kesederhanaannya yang khas ini mengatakan, “Kalian saya ajarkan menjadi mujtahid. Cara berpikir seorang yang berijtihad itu jika yang dimaksud dengan berbuat baik yaitu tidak sekedar tidak menyakiti. Jadi misalnya kamu tidak pernah marah atau memukul orangtua itu namanya tidak menyakiti. Tetapi kalau tidak memberi uang itu juga masih keliru, karena seharusnya memberi. Memberi dilakukan seadanya yang kamu punya kalau tidak punya juga ya mencari hingga berhasil.”
Lebih lanjut ia memberikan ibarat, “Kamu punya sepeda motor saja sampai kredit, sedangkan usahamu untuk masuk surga tidak ingin kredit. Kredit itu tegang atau tidak, misal tegangnya sebulan sekitar 200-300 ribu. Masa kredit surga, memberi kredit 300 ribu kepada orangtua tidak sanggup. Karena kalau ingin surga ya harus dikredit.” Maksudnya tersebut memberi kepada orangtua secara rutin.
Gus Baha kemudian mengomentari orang-orang zaman ini yang beranggapan bahwa merawat orangtua khususnya yang tengah sakit adalah ladang masalah untuk dirinya, sekalipun dalam hal finansial dapat menggerogoti kekayaannya. “Berbanggalah kalian ketika diberi kesempatan bisa berbakti kepada orangtua. Jangan sekali-kali kamu menganggap merawat orangtua itu sebagai upaya menguras hartamu.”
Dia bercerita pernah dicurhati seorang tamu yang sowan kepadanya dan mengeluh kehabisan harta benda disebabkan untuk perawatan orangtuanya yang lumpuh selama bertahun-tahun. Akhirnya Gus Baha menasihati dan meluruskan pola pikir parah itu.
“Kamu itu kapitalis. Merawat ibu selama tujuh tahun yang pikiranmu menghabiskan banyak biaya. Karena kamu hanya menghitung; habis biaya berapa. Seharusnya kamu bangga! karena sudah merawat ibumu bukan sekadar satu atau dua hari, namun ini tujuh tahun. Apa sih susahnya jadi orang waras!”
Bagi Gus Baha, pola pikir yang salah kaprah seperti itu harus diubah. Adalah penyakit bagi manusia masa kini yang terkadang menganggap orangtua yang renta atau sakit sebagai beban berat baginya. Mestinya mindset ini dibenahi, bukan dikalkulasi secara kapitalistik yaitu menimbang hanya berdasarkan untung rugi. Namun, seharusnya dimaknai sebagai sarana amal baik dan prestasi anak. Bakti kedua orangtua itu sebenarnya jimat keberuntungan dan kesuksesan seorang anak di dunia maupun di akhirat.
Di dalam kesempatan yang lain, Kiai kenamaan asal Rembang ini menjelaskan seorang anak yang berbakti harus bangga. Bahkan menurutnya, kesalahan yang dinilai sebagai keburukan ketika anak merawat orangtuanya, di akhirat kelak akan diganti sebagai kebaikan. Orang shaleh tidak pernah bermaksiat sekalipun akan menyesal karena tidak berbuat kesalahan demikian.
Gus Baha memberi contoh dari penjelasannya tersebut, “Karena hanya saya yang satu rumah dengan ibu maka saya yang merawat Ibu, semisal saya punya kakak yang tinggal jauh, maka mereka tidak merawat ibu. Tentu yang sering salah terhadap ibu adalah saya, karena dekat. Padahal kita sudah mau melayani ibu karena tinggal di satu kawasan yang membuat akan lebih mudah membantunya. Tapi justru karena dekat, sering berbuat yang salah.” Kesalahan semacam inilah kelak di akhirat diganti menjadi kebaikan oleh Allah. Sebab itu adalah kesalahan dalam lingkaran kebenaran.
Pelajaran Penting dari Uwais Al-Qarni
Saat menjelaskan tafsir surat di atas, Gus Baha juga berkisah tentang bakti seorang Uwais al-Qarni. Uwais yang hidup satu periode dengan Rasulullah, melihat orang-orang semua sudah berkunjung dan mengaji kepada beliau saw. Dirinya juga ingin sowan kepada Nabi, tetapi ternyata tidak bisa sowan, sebab memiliki Ibu yang lumpuh dan cerewet. Ibunya tidak mengizinkannya untuk menemui Rasulullah.
Walhasil, sampai Ibunya meninggal dan Nabi Muhammad juga sudah meninggal, Uwais tidak pernah bertemu dengannya. Namun Rasulullah menyebut Uwais al-Qarni sebagai sebaik-baiknya orang, karena telah mengamalkan apa yang beliau perintahkan, yaitu berbakti kepada orangtua.
“Dari Uwais al-Qarni kita belajar, dirinya belum pernah sowan kepada Nabi, tapi filosofi ajaran Nabi yakni berbakti kepada ibu dilakukan. Yang penting urutan pertama itu melakukan perintah baiknya kiai. Bukan malah sowan terus menerus ke kiai. Sowan itu urusan kedua, ketiga dan seterusnya,” pungkas Gus Baha.
1 Comment