BincangMuslimah.Com – Dalam budaya kita pernikahan merupakan hal yang sangat sakral. Akad nikah yang dilakukan di depan wali dan saksi-saksi berlaku tanpa batas waktu sampai ada hal yang menyebabkan akad itu gugur.
Pernikahan adalah penentu kehidupan rumah tangga dalam waktu yang tak terbatas. Maka, sebagian masyarakat menentukan waktu pelaksanaan akad nikah dengan memilih bulan, hari atau tanggal tertentu dengan menggunakan metode perhitungan yang mereka yakini. Salah satunya dengan memilih untuk melaksanakan pernikahan di bulan Dzulhijjah. Hal ini dilakukan tak lain agar kehidupan rumah tangga yang dibangun oleh kedua mempelai selalu tentram dan penuh kebaikan.
Bulan Dzulhijjah adalah bulan yang sangat diistimewakan dalam agama Islam. Dalam kalangan masyarakat Indonesia, bulan Dzulhijjah biasa disebut dengan bulan haji. Bulan Dzulhijjah ini termasuk salah satu asyhurul hurum, yaitu bulan-bulan yang diagungkan oleh Allah. Secara keseluruhan, ada empat bulan yang disebut dengan asyhurul hurum dalam Islam, yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab.
Selain merupakan bulan yang sangat mulia untuk melakukan ibadah haji, ternyata bulan Dzulhijjah adalah bulan yang tepat untuk di langsungkan adanya pesta pernikahan, para masyarakat beranggapan bahwa pada bulan ini adalah bulan yang baik untuk mengadakan pernikahan.
Namun pada prinsipnya, tak ada larangan menikah di bulan tertentu dalam syariat Islam termasuk larangan melaksanakan pernikahan di bulan Dzulhijjah. Kita dapat melihat keterangan ini dalam riwayat tentang pernikahan Rasulullah dengan Sayyidah Aisyah. Ketika itu, orang-orang menganggap makruh/mendatangkan kesialan jika menikah di bulan Syawal. Untuk menepis kepercayaan mereka Rasulullah menikahi Sayyidah Aisyah pada bulan Syawal.
Imam Nawawi Ketika mengomentari hadis yang menerangkan peristiwa tersebut beliau menjelaskan dalam kitab Syarh Al-Nawawi Ala Muslim,
وَقَصَدَتْ عَائِشَةُ بِهَذَا الْكَلَامِ رَدَّ مَا كَانَتِ الْجَاهِلِيَّةُ عَلَيْهِ وَمَا يَتَخَيَّلُهُ بَعْضُ الْعَوَامِّ الْيَوْمَ مِنْ كَرَاهَةِ التَّزَوُّجِ وَالتَّزْوِيجِ وَالدُّخُولِ فِي شَوَّالٍ وَهَذَا بَاطِلٌ لَا أَصْلَ لَهُ وَهُوَ مِنْ آثَارِ الْجَاهِلِيَّةِ كَانُوا يَتَطَيَّرُونَ بِذَلِكَ لِمَا فِي اسْمِ شَوَّالٍ مِنَ الْإِشَالَةِ والرفع
Siti Aisyah dengan perkataan ini, bermaksud menjawab apa yang terjadi pada masa jahiliyah dan apa yang dibayangkan sebagian orang awam pada saat itu bahwa makruh menikah, menikahkan atau berhubungan suami istri di bulan syawal, ini sebuah kebatilan yang tidak memiliki dasar. Ini adalah peninggalan orang jahiliyah yang menganggap sial bulan tersebut karena kata Syawal yang diambil dari Isyalah dan Raf̕’i (mengangkat). (Syarh Al-Nawawi Ala Muslim, hal: 209)
Kendati demikian, orang yang tidak mau melangsungkan pernikahan di bulan tertentu dan memilih waktu yang menurutnya tepat sesuai dengan kebiasaan yang berlaku tidaklah sepenuhnya salah. Asalkan, keyakinannya tetap bertumpu pada kepercayaan bahwa yang memberi pengaruh baik atau buruk adalah Allah. Perihal hari, tanggal dan bulan tertentu yang ditentukan itu hanya diperlakukan sebagai adat kebiasaan yang diketahui oleh manusia.
Dalam kitab Ghayatu Talkhishi Al-Murad min Fatawi ibn Ziyad, disebutkan,
مسألة: إذا سأل رجل آخر: هل ليلة كذا أو يوم كذا يصلح للعقد أو النقلة؟ فلا يحتاج إلى جواب، لأن الشارع نهى عن اعتقاد ذلك وزجر عنه زجراً بليغاً، فلا عبرة بمن يفعله، وذكر ابن الفركاح عن الشافعي أنه إن كان المنجم يقول ويعتقد أنه لا يؤثر إلا الله، ولكن أجرى الله العادة بأنه يقع كذا عند كذا، والمؤثر هو الله عز وجل، فهذا عندي لا بأس به، وحيث جاء الذم يحمل على من يعتقد تأثير النجوم وغيرها من المخلوقات،
Permasalahan: Apabila seorang bertanya kepada orang lain, apakah malam tertentu atau hari tertentu cocok untuk akad nikah atau pindah rumah? Maka tidak perlu dijawab, sebab syariat melarang meyakini hal yang demikian itu bahkan sangat menentang orang yang melakukannya. Dari Imam Syafii, Ibnul Farkah menyebutkan apabila ahli nujum berkata dan meyakini bahwa yang memengaruhi adalah Allah, dan Allah yang menjalankan kebiasaan bahwa terjadi di hari tersebut sedangkan yang memengaruhi adalah Allah, maka hal ini menurut saya tidak apa-apa, karena yang dicela apabila meyakini bahwa yang berpengaruh adalah nujum dan makhluk-makhluk. (Ghayatu Talkhishi Al-Murad min Fatawi ibn Ziyad, hal: 206)
Kita harus tetap berasumsi bahwa yang menentukan semuanya adalah Allah, lebih-lebih dalam hal ini yakni menentukan waktu pernikahan. Menikah di bulan Dzulhijjah diperbolehkan dalam Islam.
Dengan demikian, sebagaimana juga di bulan-bulan asyhurul hurum yang lain, pada bulan Dzulhijjah seluruh umat Muslim sangat dianjurkan untuk mengagungkan dengan memperbanyak melakukan ibadah kepada Allah, baik ibadah wajib maupun sunah, dan menjauhi segala bentuk perbuatan dosa yang dapat mengotori keagungan bulan Dzulhijjah tersebut. Termasuk ibadah tersebut salah satunya adalah menikah di bulan Dzulhijjah. Semoga bermanfaat.