BincangMuslimah.Com – Membincang hari raya Idul Adha, waktu umat muslim melaksanakan ibadah penyembelihan hewan kurban, kita pasti teringat kisah teladan Nabi Ibrahim, Siti Hajar, dan putranya Nabi Ismail. Melalui kisah ini kita bisa ikut merefleksikan arti tentang cinta dan pengorbanan secara bersamaan dalam momen Idul Adha ini.
Kisah Malaikat yang Iri dengan Ibrahim
Allah Ta’ala memberikan anugerah kepada sang Nabi dengan predikat khalilullah atau kekasih Allah. Padahal, disebutkan dalam kitab Misykatul Anwar, konon Nabi Ibrahim adalah seorang sultan atau miliarder pada zamannya. Ia memiliki kekayaan ribuan peternakan. Dalam riwayat dikatakan bahwa hewan ternaknya mencapai 12.000 ekor.
Lantas hal itu membuat para malaikat penasaran sehingga mereka memberanikan diri bertanya kepada Allah. “Kenapa Nabi Ibrahim bisa menjadi kekasih Engkau wahai Allah? Sementara beliau hari-harinya hanya disibukkan mengurusi gembala ternaknya?” tanya malaikat.
Allah kemudian berfirman, “Wahai malaikat, janganlah kalian menilai hambaKu Ibrahim hanya dengan ukuran lahiriyah saja, namun lihatlah apa yang ada di dalam hatinya!”
Untuk membuktikannya, Allah memberi izin para malaikat untuk menguji ketaatan Nabi Ibrahim yang ternyata meskipun sang Nabi adalah saudagar kaya raya memiliki ternak banyak, namun harta kekayaannya tidak disimpan di dalam hatinya, melainkan hanya kepada Allah hatinya melekat. “Milik siapa ternak sebanyak itu wahai Nabi?” tanya malaikat.
Dijawab oleh Nabi Ibrahim, “Saat ini ternak ini memang milikku, namun sejatinya semua adalah milik Allah, sewaktu-waktu bila Dia ingin mengambilnya, maka aku akan mengikhlaskannya, apapun yang menjadi milikku adalah milikNya”
Tatkala Ibrahim Diperintah Menyembelih Ismail
Ujian kedua diberikan kepada Nabi Ibrahim. Malaikat kemudian menyampaikan perintah dari Rabbnya, “Allah memerintahkanmu untuk menyembelih putramu Ismail.”
Sontak hal itu membuat Nabi Ibrahim gundah gulana. Putranya yang sudah menginjak usia remaja dan tentu sangat ia sayangi diperintahkan untuk dikurbankan, padahal telah lama ia menanti-nantikan untuk memiliki harus melewati berbagai ujian.
Nabi Ibrahim, setelah berpuluh-puluh tahun menikah dengan Siti Sarah yang dianggap sebagai wanita paling cantik setelah Siti Zulaikhah, akhirnya menikahi Siti Hajar, seorang budak berkulit hitam, untuk mendapatkan seorang anak.
Tidak hanya itu, karena sifat manusiawi Siti Sarah yang cemburu kepada Hajar, maka diperintahkan Nabi Ibrahim untuk membawa Sayyidah Hajar bersama Ismail putranya yang masih bayi ke sebuah tempat jauh, asing, nan sunyi. Tempat itu tak lain adalah sebuah lembah yang gersang tidak tumbuh sebatang pohon pun.
Baik Nabi Ibrahim maupun Siti Hajar tidak mengetahui maksud sebenarnya wahyu Allah yang turun kepadanya untuk mengasingkan ke suatu tempat yang sepi tidak berpenghuni. Tetapi, Nabi dan istrinya dengan ikhlas dan penuh tawakal menerima perintah Allah tanpa bergeming.
Siti Hajar membesarkan bayinya seorang diri tanpa ditemani suaminya hingga tujuh tahun lamanya di negeri asing, karena menjaga perasaan tuannya Siti Sarah. Ia sendiri yang merawat, mengajarkan, dan mendidik putranya Ismail. Hingga akhirnya setelah Ismail tumbuh besar, Nabi Ibrahim diperintahkan untuk menyembelih putranya sebagai kurban.
Mimpi yang memerintahkan Nabi Ibrahim untuk menyembelih putranya Ismail tidak hanya datang satu kali, melainkan tiga kali karena pada waktu itu sempat ada rasa takut khawatir dan keraguan sebagai seorang ayah. Akhirnya, dengan segenap kelapangan hati Nabi Ibrahim menceritakan mimpinya dan meminta putra yang sangat ia sayangi itu untuk menjalankan titah Tuhannya.
Ismail yang mendengar perintah itu tak ubahnya menunjukkan ekspresi ketabahannya dan tawakal menerima apa yang diperintahkan Allah, “Kalau itu memang perintah dari Allah, maka laksanakan wahai Ayahku.”
Namun tidak hanya di situ. Iblis dengan berbagai macam jelmaan selalu mencoba mengganggu sang Nabi dengan bujuk rayunya. Tetapi, hal itu tidak sama sekali menggoyahkan iman Nabi Ibrahim dan Ismail yang begitu kuat. Iblis pun menyerah dan pergi kalang kabut.
Hingga akhirnya Malaikat Jibril datang atas perintah Allah dan berseru, “Wahai sang kekasih Allah! Sungguh engkau telah siap untuk melaksanakan perintah Tuhanmu maka Dia akan mengampunimu dengan ketaatanmu itu. Wahai Nabi Ibrahim! Sembelihlah kibas ini sebagai pengganti Ismail! Makanlah dagingnya, jadikanlah hari ini sebagai hari raya bagi kalian dan sedekahkanlah sebagian daging darinya untuk fakir miskin sebagai kurban!” Seketika mendengar seruan itu, Nabi Ibrahim kaget dan rona wajahnya berubah menjadi bahagia bersama putranya.
Cinta dan Pengorbanan dari Kisah Sejarah Idul Adha
Siti Hajar yang menjadi role model bagi perempuan dalam jihadnya menjalani ujian kehidupan ia rela, ikhlas, dan berani terus menjalani dan mempertahankan kehidupan, ia dengan pasrah mendampingi Nabi Ibrahim menjalankan perintah Tuhannya.
Juga karena pengorbanan ibu yang seorang diri membesarkan dan mendidik Ismail kecil dengan kasih sayang. Nabi Ismail menjadi anak yang sangat berbudi dan berbakti. Ismail seorang anak yang rela mengerjakan perintah sebagai bentuk baktinya seorang hamba kepada Rabbnya, ia mengajarkan kita totalitas kepasrahan mengabdi kepada Allah.
Begitupula dengan Nabi Ibrahim yang tidak bergeming ketika mendapat berbagai ujian, meskipun banyak godaan-godaan dari nafsunya dan bisikan-bisikan setan, ia tetap teguh untuk menjalankan perintah Allah. Ia rela mengorbankan apapun yang ia miliki dan yang membuat dirinya berpaling dari Allah.
Kisah Nabi Ibrahim yang mengorbankan anaknya Ismail memberikan hikmah kepada kita bahwa Allah tidak membutuhkan hewan persembahan yang kita sembelih, Allah bukanlah Tuhan yang lapar atau haus darah dan daging, Allah juga melarang menjadikan manusia sebagai persembahan. Poin yang lebih penting lagi adalah Allah bukan menginginkan Ismail dikorbankan tak lain sebagai bukti ketidakmelekatannya pada selainNya.
Mendengar kisah teladan keluarga Nabi Ibrahim bersama istri dan putranya, kita hendaknya yang hidup di masa setelahnya bisa meneladani sifat-sifat mereka dalam menjalani kehidupan ini. Kita seharusnya menyadari bahwa apa yang kita miliki saat ini bukan sepenuhnya menjadi kepunyaan diri kita, melainkan semua ini merupakan titipan Yang Maha Kuasa.
Lantas, siapakah ismail yang harus kita kurbankan? Tentu ia adalah harta, jabatan, popularitas, status sosial, anak, bahkan nafsu diri kita sendiri. Apapun yang membuat kita terpikat kepadanya harus selalu kita berusaha korbankan sehingga jiwa kita akan terbebas dari apa-apa yang membelenggu kita.
Semoga kita semua dapat meneladani kisah di atas, melepaskan dan membuang keterikatan apapun yang kita miliki selain Allah dan mencintaiNya melebihi dari suatu apapun.Wallahu a’lam bisshowab.[]
1 Comment