BincangMuslimah.Com – Shalat jum’at adalah ibadah yang wajib dilaksanakan oleh seorang muslim secara berjamaah. Shalat jum’at dilaksanakan setiap hari jum’at tepatnya pada waktu dzuhur. Sebagaimana ibadah-ibadah yang lain shalat jum’at juga mempunyai syarat-syarat yang harus dipenuhi agar shalat jum’at dikatakan sah. Menarik untuk kita ketahui apa saja syarat sah melaksanakan shalat jum’at,
Pertama, Shalat harus dilaksanakan pada waktu dzuhur. Hal ini berdsarkan hadis hadis nabi yang berbunyi,
أَنَّ النَّبِيَّ كَانَ يُصَلِّي الْجُمُعَةَ حِيْنَ تَمِيْلُ الشَّمْسُ
“Sesungguhnya Nabi Saw melakukan shalat Jumat saat matahari condong ke barat (waktu zhuhur)”. (HR. Bukhari(
Maka melaksanakan shalat jum’at di luar waktu dzuhur hukumnya adalah tidak sah. Habib Muhammad bin Ahmad al-Syatiri di dalam kitabnya Syarh Al-Yaqut An-Nafis, hal.236 mengatakan,
فَلَوْضَاقَ الْوَقْتُ أَحْرَمُوْا بِالظُّهْرِ وَلَوْ خَرَجَ الْوَقْتُ وَهُمْ فِيْهَا أَتَمُّوْا ظُهْراً وُجُوْباً بِلَا تَجْدِيْدِ نِيَّةٍ
“Jika waktu dzuhur sudah sempit, maka wajib melakukan takbirotul ihram dengan niat dzuhur. Jika waktu dzuhur sudah keluar, sedangkan jamaah berada dalam shalat, maka mereka wajib menyempurnakannya menjadi shalat dzuhur tanpa harus mengulangi niat.”
Kedua, Shalat harus dilakukan di area pemukiman warga. Shalat jum’at wajib dilakukan di tempat pemukiman warga, sekiranya tidak diperbolehkan melakukan rukhshah di dalamnya bagi musafir. Tempat pelaksanaan jum’at tidak disyaratkan harus berupa bangunan atau masjid. Namun, juga boleh dilakukan di lapangan dengan syarat masih dalam batas lingkungan warga.
Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali di dalam karyanya Al-Wasith, juz 2, hal. 263, berpendapat,
وَلَا يُشْتَرَطُ أَنْ يُعْقَدَ الْجُمُعَةُ فِي رُكْنٍ أَوْ مَسْجِدٍ بَلْ يَجُوْزُ فِي الصَّحْرَاءِ إِذَا كاَنَ مَعْدُوْداً مِنْ خِطَّةِ الْبَلَدِ فَإِنْ بَعُدَ عَنِ الْبَلَدِ بِحَيْثُ يَتَرَخَّصُ الْمُسَافِرُ إِذَا انْتَهَى إِلَيْهِ لَمْ تَنْعَقِدْ اَلْجُمُعَةُفِيْهَا
“Shalat Jum’at tidak disyaratkan dilakukan di surau atau masjid, bahkan boleh di tanah lapang apabila masih tergolong bagian daerah pemukiman warga. Bila jauh dari daerah pemukiman warga, sekira musafir dapat mengambil rukhshah di tempat tersebut, maka Jumat tidak sah dilaksanakan di tempat tersebut.”
Ketiga, Shalat jum’at harus dilakukan secara berjamaah. Imam An-Nawawi di dalam kitabnya Majmu’ Syarh Al-Muhadzab, juz 4, hal. 504, mengatakan,
أجمع العلماء على أن الجمعة لا تصح من منفرد , وأن الجماعة شرط لصحتها
“Para ulama bersepakat bahwa shalat jum’at tidak sah dikerjakan dalam kondisi sendirian. Berjamah merupakan syarat sah dilaksanakannya shalat jum’at.”
Keempat, Jamaah shalat jum’at merupakan orang yang dikenai taklif/kewajiban dalam melaksanakan shalat jum’at. Jamaah shalat jum’at yang dapat mengesahkan adalah penduduk yang bermukim di daerah tempat pelaksanaan jum’at. Sedangkan, jumlah standart jamaah shalat jum’at adalah 40 orang termasuk imam. Pendapat ini adalah yang kuat dalam Mazhab Syafi’i. Menurut pendapat yang lain cukup dilakukan 12 orang, dan ada yang mengtakan boleh dengan 4 orang saja.
Syaikh Abu Bakar Syatha’ Ad-Dimyati dalam karyanya Jam’u Al-Risalatain, hal. 18, beliau menyitir pendapat Syaikh Al-Jamal Al-Habsyi,
قَالَ الْجَمَلُ الْحَبْشِيُّ فَاِذَا عَلِمَ الْعَامِيُّ أَنْ يُقَلِّدَ بِقَلْبِهِ مَنْ يَقُوْلُ مِنْ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ بِإِقَامَتِهَا بِأَرْبَعَةٍ أَوْ بِاثْنَيْ عَشَرَ فَلَا بَأْسَ بِذَلِكَ إِذْ لَا عُسْرَ فِيْهِ
“Syaikh Jamal Al-Habsyi berkata; Bila orang awam mengetahui di dalam hatinya bertaklid kepada ulama dari Ashab as-Syafi’i yang mencukupkan pelaksanaan jum’at dengan 4 atau 12 orang, maka hal tersebut boleh-boleh saja, karena tidak ada kesulitan dalam hal tersebut.”
Kelima, Tidak didahului atau berbarengan dengan shalat jum’at lain dalam satu desa. Dalam suatu daerah, shalat jum’at hanya boleh dilakukan satu kali. Oleh karenanya, bila terdapat dua jum’atan dalam satu desa, maka yang sah adalah jum’atan yang pertama kali melakukan takbiratul ihram. Sedangkan jum’atan kedua hukumnya tidak sah.
Syaikh Abu Bakar Syatha’ Ad-Dimyati menjelaskan perihal tidak sahnya didirikan dua shalat jum’at dalam satu desa. Beliau berpendapat,
وَالْحَاصِلُ أَنَّ عُسْرَ اجْتِمَاعِهِمْ اَلْمُجَوِّزَ لِلتَّعَدُّدِ إِمَّا لِضَيْقِ الْمَكَانِ اَوْ لِقِتَالٍ بَيْنَهُمْ اَوْ لِبُعْدِ أَطْرَافِ الْمَحَلِّ بِالشَّرْطِ
“Kesimpulannya, sulitnya mengumpulkan jamaah jum’at yang memperbolehkan berbilangnya pelaksanaanshalat jum’at adkalanya karena faktor sempitnya tempat, pertikaian di antara penduduk daerah atau jauhnya tempat sesuai dengan syaratnya.”
Keenam, Shalat jum’at harus didahului dua khutbah. Sebelum shalat jum’at didirikan, terlbih dahulu harus dilaksankan dua khutbah. Hal ini dilakukan karena berdasarkan sabda nabi,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَخْطُبُ قَائِمًا ثُمَّ يَجْلِسُ ثُمَّ يَقُومُ فَيَخْطُبُ قَائِمًا
Rasulullah berkhutbah dengan berdiri kemudian duduk, kemudian berdiri lagi melanjutkan khutbahnya. (HR. Muslim)
Demikian enam syarat yang harus dipenuhi dalam melaksanakan shalat jum’at semoga bermanfaat. Wallahua’lam..