dalaBincangMuslimah.Com – Di kalangan aktifis islam tentu tak asing lagi dengan karya monumental Imam al-Ghazali yang berjudul Ihya’ ‘Ulumuddin dan Bidayatul Hidayah, dua kitab yang sangat berperan penting dalam mengisi kajian adab dan etika dalam berperilaku. Penyebutan kitab Bidayatul Hidayah lebih akrab di telinga dibanding kitab syarahnya, Maraqil ‘Ubudiyyah, yang disusun oleh Syaikh Nawawi al-Bantani.
Dalam dua kitab ini terdapat banyak sekali doa-doa, di antaranya adalah doa ketika membasuh anggota tubuh ketika wudhu. Contohnya ketika membasuh wajah membaca,
اَللَّهُمَّ بَيِّضْ وَجْهِيْ بِنُوْرِكَ يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوْهَ أَوْلِيَائِكَ وَلَا تُسَوِّدْ وَجْهِيْ بِظُلُمَاتِكَ يَوْمَ تَسْوَدُّ وُجُوْهَ
Allahumma bayyidh wajhii binurika yauma tabyaddhu wujuuha auliyaika walatusawwidh wajhii bidzhulumatika yauma taswaddhu wujuuha
Artinya: Wahai Tuhanku, putihkan wajahku dengan cahaya-Mu pada hari Kauputihkan wajah para waliMu. Jangan Kauhitamkan wajahku dengan kegelapan pada hari Kauhitamkan wajah para musuhMu.
Ketika mengusap kepala membaca,
اَللَّهُمَّ غَشِّنِي بِرَحْمَتِكَ، وَأَنْزِلْ عَلَيَّ مِنْ بَرَكَاتِكَ، وَأَظِلِّنِي تَحْتَ ظِلَّ عَرْشِكَ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّكَ
Allahumma ghassyinii birahmatika waanzil ‘alayya min barakatika waadzillini tahta dzilli ‘arsyika yauma ladzilla illa dzillika
Artinya: Ya Allah, selubungilah aku dengan rahmatmu, turunkanlah keberkahan kepadaku, naungilah aku di bawah naungan ‘ArsyMu pada hari tak ada naungan kecuali hanya naunganMu.
Dalam kitab Bidayatul Hidayah dan Ihya’ ‘Ulumuddin Imam al-Ghazali memaparkan doa-doa tersebut secara lengkap untuk setiap basuhan anggota tubuh ketika wudhu.
Banyak ulama yang mengomentari doa ini khususnya mengenai status keshahihannya. Termasuk yang mengomentari doa-doa tersebut ialah Imam an-Nawawi dalam kitabnya al-Adzkar, beliau berpendapat,
وأما الدعاء على أعضاء الوضوء، فلم يجئ فيه شئ عن النبي صلى الله عليه وسلم وقد قال الفقهاء: يستحب فيه دعوات جاءت عن السلف، وزادوا ونقصوا فيها
Adapun doa membasuh anggota tubuh ketika berwudhu itu tidak terdapat sama sekali riwayat dari Nabi saw., sedangkan para ahli fiqih telah mengatakan, “Disunnahkan ketika berwudhu mengucap doa-doa yang berasal dari orang-orang salaf”, dan mereka menambah serta mengurangi lafaz-lafaz doa tersebut. (Al-Adzkar, hal. 29).
Imam as-Suyuthi juga menambahkan catatan dalam karyanya Tuhfah al-Abrar bi Nukti al-Adzkar, sebuah kitab yang membahas keotentikan hadis-hadis yang terdapat dalam kitab al-Adzkar, beliau menyitir perkataan Ibnu Hajar,
قال الحافظ ابن حجر: كرر ذلك بنحوه في كثير من كتبه فقال في التنقيح: ليس فيه شيء عن النبي صلى الله عليه وسلم. وقال في الروضة: لا أصل له ولم يذكره الشافعيوالجمهور.وقال في شرح المهذب: لا أصل له، ولا ذكره المتقدمون وقال في المنهاج: وحذفت دعاء الأعضاء إذ لا أصل له
Ibnu Hajar berkata, Imam an-Nawawi mengulang terus komentar tersebut (bahwa hadis membasuh anggota tubuh tak memiliki sumber) di dalam banyak kitab-kitabnya, Imam an-Nawawi berkata dalam kitab at-Tanqih, “Doa-doa tersebut sama sekali tak bersumber dari Nabi saw.” dalam kitab ar-Raudlhah beliau berkata, “Tidak bersumber dan mayoritas pengikut Mazhab Syafi’i pun tidak menyebut doa ini.” sedangkan dalam kitab Syarh al-Muhadzzab ia mengatakan, “Tidak bersumber, dan ulama terdahulu pun tak menyebutkannya”, dan dalam kitab al-Minhaj, “Aku telah membuang doa membasuh anggota tubuh ketika wudhu karena tidak memiliki sumber’.” (Tuhfah al-Abrar bi Nukti al-Adzkar, hal. 141)
Dengan adanya komentar-komentar dari para ulama, lantas bagaimana kita menyikapinya? Apakah kita tidak diperbolehkan lagi mengamalkannya? Mari kita simak ulasan berikut:
Doa-doa itu memang tak mungkin disandarkan kepada Nabi karena memang tidak ditemukan secara eksplisit dalam hadis. Namun, tak ditemukan dalam hadis bukan berarti terlarang. Sebab, pada dasarnya redaksi kalimat doa bersifat fleksibel alias tidak terpaku pada susunan tertentu asalkan isinya positif. Bila kita cermati secara seksama, lafal doa yang diajarkan al-Ghazali tersebut memiliki kedalaman makna tentang nasib manusia kelak di akhirat.
Oleh karena itu, ini bukan hanya tentang boleh atau tidak boleh, melainkan masuk kepada pembahasan antara yang utama dan lebih utama. Apabila kita berdoa sesuai yang diucapkan Rasulullah saw. dalam hadits shahihnya maka itu lebih utama, jika tidak mengetahui lafaz doa dan kita sangat perlu untuk berdoa, maka boleh-boleh saja berdoa semampu kita.
Imam al-Adzra’i memberikan komentar mengenai doa-doa wudhu di atas dan ini penting untuk kita jadikan pijakan dalam menyikapi hal ini, beliau berkata,
لا ينبغي تركه، ولا يعتقد أنه سنة، فإن الظاهر أنه لم يثبت فيه شىء
Tidak seyogianya meninggalkan doa-doa terkait membasuh anggota tubuh ketika berwudhu, dan jangan meyakini bahwa ia bagian dari sunnah, sebab jelasnya doa-doa tersebut tidak memiliki sumber. (Tuhfah al-Abrar bi Nukti al-Adzkar, hal. 141)
Didalam komentar Imam al-Adzra’i ini, terdapat sebuah intruksi yang moderat dalam menanggapi doa itu, yaitu tetaplah mengamalkannya saat wudhu tapi tidak perlu menyandarkannya kepada Nabi. Dan yang terpenting untuk diketahui adalah doa-doa tersebut mengandung makna permohonan perlindungan kepada Allah, sehingga kita bisa berpijakan dengan hal ini, yaitu bahwa Nabi sendiri menganjurkan umatnya untuk senantiasa memohon perlindungan kepada Allah selaku Dzat Yang Maha Melindungi.
Dengan kata lain, lafal doa-doa tersebut boleh jadi tak punya sumber langsung dari hadis, namun secara substansi mengamalkan hadis lain tentang pentingnya berdoa, berendah diri di hadapan Allah, meminta pertolongan, dan sebagainya. Apalagi bila sang penyusun adalah ulama bereputasi tinggi, terpercaya, dan memiliki kedalaman batin melebihi orang kebanyakan.
Semoga bermanfaat. Wallahua’lam..