BincangMuslimah.Com – Film berjudul “Kim Ji-Young, Born 1982” sempat menghiasi layar lebar Indonesia beberapa minggu terakhir. Film yang diangkat dari novel fiksi karya Cho Nam-joo ini dibintangi oleh Jung Yu Mi yang berperan sebagai Kim Ji-Young, juga Gong Yoo sebagai Jung Dae Hyun.
Meskipun sama sekali tak menyebutkan istilah patriarki, film ini justru dengan jelas menggambarkan budaya patriarki yang cukup kental di Korea Selatan. Gambaran itu dimunculkan melalui sosok Kim Ji-Young, seorang ibu rumah tangga yang mengalami diskriminasi akibat budaya patriarki di sekitarnya.
Sejak kecil, hidup Kim Ji-Young senantiasa dibayang-bayang budaya patriarki dari keluarga dan orang-orang di sekitarnya. Saat ibu Kim kecil, ia rela mengubur cita-citanya karena harus menjadi tukang jahit demi membantu mewujudkan impian saudara laki-lakinya.
Saat Ji-Young lahir, ibunya sampai minta maaf kepada mertuanya lantaran melahirkan anak perempuan, sebab mereka mengharapkan anak laki-laki. Tidak hanya itu, ayah Ji-Young juga kerapkali lebih mementingkan anak laki-lakinya dibanding Ji-Young.
Puncak klimaks film ini tergambar saat Ji-Young mengalami depresi postpartum, depresi yang dialami perempuan pascamelahirkan. Ji-Young mengaku sering merasa hampa saat matahari terbenam. Hidupnya menjadi kosong dan tidak bersemangat. Ia bahkan beberapa kali menampakkan diri sebagai orang lain, bersikap seolah-olah menjadi ibu atau neneknya.
Setidaknya ada beberapa nilai yang ditampilkan dalam film ini:
Dilema menjadi ibu rumah tangga atau wanita karir
Menikah kerapkali menjadi momok menakutkan bagi perempuan korea. Pasalnya, pernikahan seringkali dianggap sebagai tembok penghalang karir mereka. Pada awalnya, Kim Ji-Young juga menolak untuk menikah, bahkan ia sempat berkeberatan diajak berhubungan badan oleh suaminya, sebab ia takut karirnya terhambat usai memiliki anak.
Setelah memiliki anak, Kim Ji-Young terpaksa berhenti bekerja dan fokus menjadi ibu rumah tangga. Sayangnya, ia justru mengidap depresi. Di tengah tekanan mentalnya, Ji-Young malah ingin kembali melanjutkan karirnya, tetapi ia dilanda dilema lantaran terbentur urusan rumah tangga.
Dilema menjadi ibu rumah tangga atau wanita karir seringkali menjerat para perempuan. Sebab keduanya acapkali dianggap mustahil dilaksanakan secara berbarengan. Kalaupun ada perempuan yang sukses berkarir, mereka menganggap diri mereka gagal dalam bidang domestik. Seperti yang ditampakkan melalui sosok Kim Eun-Sil, bos Ji-Young yang sukses berkarir, namun Eun-Sil selalu merasa tidak bisa menjadi istri dan ibu yang baik.
Pelecehan seksual di tempat kerja dan tempat umum
Film “Kim Ji-Young, Born 1982” ini juga memotret salah satu problematika perempuan pekerja, yaitu pelecehan seksual di tempat kerja dan tempat umum. Di kantor Ji-Young dahulu, ada seorang laki-laki usil yang memasang CCTV di toilet perempuan. CCTV ini digunakannya untuk mengintip para perempuan di toilet.
Ji-Young muda juga pernah mengalami pelecehan seksual di angkutan umum. Saat itu ia menaiki bus yang padat, seorang laki-laki berdiri di dekatnya dan terus saja mengikuti Ji Young hingga turun dari bus. Beruntung Ji-Young ditolong seorang ibu-ibu dan segera dijemput oleh ayahnya. Bukan menenangkannya, sang ayah justru menyalahkan Ji-Young karena menggunakan rok yang terlalu pendek, pulang malam, dan menaiki angkutan umum.
Scene ini menunjukkan bahwa kantor dan tempat umum masih menjadi kawasan rawan bagi para perempuan. Sehingga membuat mereka khawatir dan takut untuk beraktivitas di luar rumah.
Kesetaraan hak pekerja perempuan
Film ini juga menunjukkan kesenjangan hak antara pekerja perempuan dan laki-laki. Sayangnya, pelakunya tak hanya laki-laki saja, tetapi juga perempuan. Saat bekerja, Ji-Young tidak pernah terpilih sebagai tim khusus hanya karena dia perempuan. Padahal ia telah bekerja dengan sangat baik.
Saat menanyakan pada bosnya (yang padahal juga perempuan), bosnya mengatakan bahwa tim khusus diproyeksikan untuk jangka panjang. Sedangkan perempuan tidak dapat totalitas bekerja, karena jika ia menikah, maka ia akan cuti hamil, melahirkan dan mengurus anak.
Saat melamar kerja usai melahirkan, Ji-Young juga dihadapkan pada ketidakadilan, ia hanya ditawarkan gaji 80% dari total upah yang seharusnya. Meskipun diperbolehkan bekerja oleh suaminya, Ji-Young sempat pesimis lantaran penghasilannya tentu tidak akan bisa menandingi penghasilan suaminya.
Dalam bidang kerja, perempuan memang seringkali didiskriminasi, baik dalam perkara jumlah gaji hingga kesempatan mendapat posisi yang lebih baik.
Suami yang pengertian
Dalam film ini, Jung Dae Hyun, suami Ji Young, terlihat sangat perhatian dan pengertian. Bahkan sejak awal pernikahan, suaminya sudah berjanji akan mengurus perihal domestik bersama.
Jung Dae Hyun selalu menyegerakan pulang ke rumah seusai kerja agar bisa membantu istrinya, meskipun hanya sekadar mencuci piring atau memandikan anak mereka yang masih balita.
Dae Hyun adalah orang pertama yang menyadari depresi yang dialami istrinya. Namun ia selalu sabar dan tak menyerah menghadapi Ji Young. Ia bahkan rela mengambil cuti orangtua (cuti untuk mengurus anak) agar Ji Young bisa kembali bekerja, sedangkan Dae Hyun menggantikan posisi istrinya, mengurus perkara domestik.
Dae Hyun tentu saja menjadi sosok penguat Ji Young, sebab ia lah yang selalu mendukung dan mengerti keinginan Ji Young. Melalui figur Dae Hyun, film ini memberikan pesan bahwa keberadaan suami yang pengertian sangat penting. Sebab untuk membangun rumah tangga, dibutuhkan kerjasama yang baik antara suami dan istri.