BincangMuslimah.Com – Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS) yang hingga kini masih menjadi polemik yang belum bisa dipahami oleh beberapa kelompok. Bahkan kampanye menolak RUU-PKS ini semakin menggema seiring dengan eksisnya akun-akun anti feminis di berbagai feed instagram dan linimasa facebook. Alasannya tetap sama, sebab RUU PKS tidak lain adalah jalan dalam melegalkan LGBT, menyimpang dari ajaran Islam dan memberi ruang halal pada aborsi serta berbagai cacat berfikir lainnya.
Tidak berhenti dengan kampanye penolakan RUU-PKS di media sosial, tulisan Zikra Asril yang berjudul “Tak Pantas Muslim Berharap pada RUU-PKS” melalui Muslimahnews.com pada 27 Januari 2021, menyerukan bahwa RUU PKS adalah awal dari kehancuran umat muslim. Bertolak pada gagasan Sexual and Reproductive Health and Rights (SRHR). Asril menyebutkan bahwa gagasan tersebut adalah gagasan kontroversial, dan tidak bisa diterima, sebab hal tersebut tidak sejalan dengan semangat ajaran Islam, dibawa oleh orang-orang sekuler dll.
Tulisan-tulisan lain yang ikut serta meramaikan penolakan RUU PKS, turut diterbitkan oleh Muslimahnews.com diantaranya: “RUU-PKS Masuk Prolegnas Prioritas, Liberalisasi Sistemis Siap Mengganas” oleh Nindhira Aryudhani, “Ilusi Pemberantasan Kekerasan Seksual dalam Sistem Sekuler”, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS) Kembali Dibahas, Apa Bahaya Terbesarnya? Oleh Ummu Naira Asfa.
Pada akhirnya, tulisan-tulisan yang dihimpun oleh berbagai kelompok yang menolak RUU-PKS ini berakhir pada dalil bahwa Islam-lah yang seharusnya menjadi tumpuan manusia, hukum buatan manusia adalah tidak bisa menjadi representasi untuk kemashlahatan umat, ajaran-ajaran barat tidak bisa diterapkan oleh umat muslim, sebab pedoman umat muslim adalah Al-Quran dan hadis.
Ini yang harus kita sadari agar tidak kecolongan oleh sebagian kelompok yang menolak RUU-PKS agar tidak masuk pada ruang-ruang sebagian orang yang masih ambigu dengan RUU PKS, alih-alih belum memahami betul isi RUU PKS justru ikut-ikutan kelompok sebelah. (Wallahu a’lam.)
Jika menilik alasan bahwa RUU PKS ini tidak sejalan dengan semangat ajaran Islam, mari kita lihat dalam buku “Tanya jawab seputar RUU-PKS dari Pandangan Kongres Ulama Perempuan Indonesia” (KUPI).
Bagaimana Islam memandang kasus kekerasan terhadap perempuan?
Islam itu artinya “selamat”, agama yang memberikan keselamatan pada seluruh alam, makhluk Allah. Sudah seharusnya semangat untuk memberikan ruang memanusiakan manusia nharus terpatri dalam diri kita sebagai umat Islam.
Sedangkan persoalan saat ini yang terjadi adalah kekerasan seksual. Hal tersebut adalah bentuk kejahatan dan kezaliman, yang mengakibatkan keburukan dan kerusakan fisik dan psikis kepada para korban– nya.
Islam memiliki prinsip dasar untuk menolak segala bentuk kerusakan, keburukan, dan kekerasan. Sebagaimana sabda Nabi:
“Dari Ibn Abbas ra berkata: Rasulullah Saw bersabda: tidak (boleh) ada perusakan pada diri sendiri (dharar), mauapun perusakan pada orang lain (dhirar)”. (Sunan Ibn Majah, no. 2431).
Secara literal hadis ini menegaskan “Tidak ada pengrusakan pada diri maupun orang lain (dibenarkan dalam Islam)”. Artinya, sebagaimana ditegaskan para ulama, segala bentuk kerusakan, keburukan, dan kekerasan harus ditolak (dar’ul mafasid).
Ditolak artinya diusahakan sedemikian rupa agar tidak terjadi, di satu sisi, dan di sisi lain memberi perlindungan, pendampingan, serta pemulihan kepada korban kekerasan, agar dampak kerusakannya bisa dikurangi.
RUU Pungkas ini mengambil peran prinsip dar’ul mafasid dalam hukum Islam, agar setiap warga negara tidak menjadi pelaku dan tidak juga menjadi korban kekerasan seksual. Dalam kaidah fiqh, dar’ul mafasid muqadammun ‘ala jalbul mashalih, atau melindungi warga dari kerusakan lebih diutamakan daripada menghadirkan kebaikan untuk mereka.
Melalui satu dari sekian banyak hadis, kita bisa menela’ah dan mewakili jawaban dari pertanyaan seperti apa RUU PKS dalam mengurangi kerusakan-kerusakan yang terjadi. Apalagi korban kekerasan seksual tidak hanya mengalami cidera fisik semata, lebih dari itu trauma berkepanjangan bahkan bertahun-tahun bisa dialami oleh dirinya.
Semangat ber-Islam dengan melihat kontekstual, kejadian yang terjadi dalam kehidupan seharusnya bisa menjadi nalar kritis sebagai muslimah yang berakal, peka terhadap kondisi lingkungan, sehingga memahami ajaran Islam tidak terbatas pada ritual spiritual semata.