BincangMuslimah.Com – Di era media sosial dan kompetisi hidup yang tinggi, banyak orang mempunyai rasa takut tertinggal, atau yang dikenal dengan FOMO (Fear of Missing Out). Namun, ada bentuk FOMO yang lebih dalam: takut tertinggal dalam hidup itu sendiri. Bukan sekadar soal tren atau hiburan, tetapi dalam hal karier, menikah, pencapaian, dan bahkan ibadah.
Tanpa sadar, kecemasan ini sering muncul diam-diam, memengaruhi pikiran dan hati.. Berbeda dengan growth mindset, yang mendorong pertumbuhan positif, FOMO versi ini lebih dekat dengan kecemasan eksistensial: ketakutan bahwa kita belum cukup, belum mencapai standar hidup yang “ideal”, dan belum menunaikan tanggung jawab secara sempurna.
Mengejar Dunia Adalah Sia-Sia
Dalam perspektif Islami, Allah mengingatkan manusia akan kefanaan dunia:
“Ketahuilah, kehidupan dunia hanyalah permainan dan kesenangan semata.” (QS. Al-Hadid [57]: 20)
Ayat ini menegaskan bahwa mengejar dunia tanpa batas dan merasa tertinggal darinya adalah sia-sia. Hidup bukan perlombaan membandingkan diri dengan orang lain, tetapi proses menata iman, amal, dan tujuan hidup yang sejati. Kesadaran ini membantu menenangkan hati dari kecemasan berlebihan terhadap pencapaian duniawi.
Selain FOMO, masalah lain yang sering muncul adalah overthinking, yang bisa menimpa aspek apa saja dalam hidup: cinta, karier, masa depan, bahkan ibadah. Banyak orang mencoba healing untuk mengatasi stres dan kecemasan, tetapi sayangnya, tidak semua metode healing benar-benar menyembuhkan. Beberapa justru menjadi pelarian dari masalah yang sebenarnya harus dihadapi.
Menghabiskan waktu untuk meditasi, journaling, atau self-care yang berlebihan tanpa menghadapi akar masalah bisa membuat seseorang merasa lebih nyaman sementara, tetapi tidak menyelesaikan kecemasan yang mendasar.
Islam mengajarkan bahwa menghadapi masalah lebih baik daripada lari darinya. Allah berfirman:
“Maka apabila engkau telah selesai (dari suatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain).” (QS. Asy-Syarh [94]: 5–6)
Ayat ini mengingatkan bahwa terlalu banyak memikirkan sesuatu sampai lupa menjalani adalah hal yang kontraproduktif. Pikiran yang berlebihan tanpa aksi nyata justru membuat hati lelah dan kehidupan terasa tidak terarah. Overthinking bukan hanya soal cinta atau hubungan sosial, tetapi bisa muncul pada iman, masa depan, dan identitas diri sendiri.
Berusaha dan Tawakal
Dalam konteks Islami, kunci untuk menenangkan pikiran adalah tawakal: bersandar kepada Allah setelah melakukan usaha terbaik. Rasulullah menegaskan bahwa setelah berusaha, kita menyerahkan hasil kepada Allah dengan hati yang tenang. Allah berfirman:
“Barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupinya.” (QS. At-Talaq [65]: 3)
Tawakal bukan berarti pasif, tetapi menjadi penyeimbang antara usaha dan ketergantungan hati kepada Allah. Dengan tawakal, bisa meredam kecemasan FOMO dan overthinking, karena fokus berpindah dari membandingkan diri dengan orang lain menjadi menyelaraskan diri dengan tujuan hidup yang hakiki.
Penting juga untuk menilai ulang praktik healing. Healing yang benar dalam Islam bukan sekadar pelarian dari kesibukan atau stres, tetapi upaya menyembuhkan hati dengan cara menghadapi masalah, memperkuat iman, dan menenangkan pikiran dengan zikir, doa, dan amal saleh. Aktivitas seperti meditasi, journaling, atau self-care bisa menjadi bagian dari healing, asalkan digunakan untuk introspeksi, bukan pelarian.
Kesimpulannya, rasa takut tertinggal dan overthinking adalah dua sisi dari kecemasan modern yang bisa menggerogoti hati. Keduanya bisa diatasi dengan kombinasi kesadaran diri, pengelolaan pikiran, niat yang benar, dan tawakal kepada Allah. Hidup yang terlalu fokus pada pencapaian duniawi, perbandingan sosial, atau kesempurnaan diri akan membuat hati lelah dan tidak pernah puas. Sebaliknya, dengan menyelaraskan aktivitas, ibadah, dan healing yang tepat, Muslimah bisa menjalani hidup dengan lebih tenang, produktif, dan bermakna.

3 Comments