BincangMuslimah.Com- Adalah Sintong Tinggal, mahasiswa lapuk semester akhir yang nyaris drop out, ulah skripsinya yang tidak kunjung tuntas. Sudah tujuh tahun berlalu, dan ia belum juga lulus. Sintong bukannya bodoh. Ia pintar, tapi pemalas.
Bahkan Sintong tahu caranya menulis, meneliti, bahkan menghafal kutipan puisi, tapi hidupnya mandek, stagnan. Ia bekerja di toko buku bajakan, di mana menjadi sebuah kontradiksi yang menyakitkan. Seharusnya, sebagai mahasiswa sastra sekaligus penulis, Sintong menjadi penjaga nilai-nilai literasi dan kejujuran intelektual.
Di balik sosok tajam dan kritis dalam berpikir, pada dasarnya Sintong berhati lembut. Ia sangat sadar bahwa hidupnya tidak ideal, bahwa ada luka dalam dirinya yang belum sembuh. Hubungan masa lalunya yang gagal, masa kecil yang keras, dan kondisi ekonomi yang pas-pasan membuatnya terjebak dalam kenyamanan. Hingga berujung dengan tidak-jelasan kapan ia bakal lulus.
Namun Sintong tidak sok suci. Ia tahu pekerjaannya menjual buku bajakan adalah salah, tetapi ia juga tahu bahwa hidup tidak selalu memberi pilihan yang bersih. Mau tak mau, Sintong harus bekerja di sana demip bertahan hidup. Dan justru dari dalam lingkungan yang gelap itulah, proses pencerahan dimulai.
Menemukan buku yang tidak pernah terbit, karya Sutan Pane, menjadi titik balik Sintong untuk menyelesaikan semua kemelut di kehidupannya. Termasuk menyelesaikan skripsi. Perlahan-lahan ia mulai menggali lebih dalam makna kejujuran, keberanian, dan tanggung jawab. Dalam proses itu, ia bertemu dengan orang-orang baru seperti Jess dan Bunga yang menjadi cermin serta cahaya di tengah kelam pikirannya.
Mengupas tuntas soal pembajakan hingga ketidakjujuran di Sekitar Hidup Kita
Di tengah maraknya fenomena pembajakan karya intelektual dan budaya permisif terhadap ketidakjujuran, Tere Liye menghadirkan novel Selamat Tinggal (2020) sebagai refleksi tajam sekaligus ajakan introspektif. Menggunakan tokoh utama mahasiswa yang terjebak dalam sistem yang korup dan serba salah, Tere Liye menggugah kesadaran pembaca tentang pentingnya keberanian untuk berkata jujur dan meninggalkan masa lalu.
Novel ini bertumpu pada sosok Sintong Tinggal, seorang mahasiswa sastra yang tidak kunjung menyelesaikan studinya. Bekerja di toko buku bajakan, kepunyaan sang paman. Latar ini menjadi panggung utama bagi kritik sosial yang coba disampaikan Tere Liye: bagaimana manusia bisa terjebak dalam sistem yang buruk, dan bagaimana pilihan moral menjadi jalan keluar dari siklus tersebut.
Alur cerita bergerak lambat namun pasti, memperlihatkan transformasi Sintong dari seorang oportunis yang pragmatis menjadi pribadi yang memiliki kesadaran moral yang tinggi. Perubahan ini tidak terjadi dalam semalam, melainkan melalui rangkaian peristiwa, pertemuan dengan karakter-karakter lain seperti Jess dan Bunga, serta krisis batin yang mendorongnya untuk mengambil keputusan radikal: berhenti menjadi bagian dari sistem yang menindas dan memulai hidup baru.
Tere Liye menyusun narasi Selamat Tinggal seperti biasanya. Menggunakan bahasa yang sederhana, lugas, namun penuh makna. Penggunaan bahasa yang tidak berbelit-belit dan pembaca mudah mengakses dari berbagai usia.
Meski demikian, di balik kesederhanaan itu tersimpan kritik tajam terhadap realitas sosial, terutama praktik pembajakan yang kerap dianggap remeh. Toko buku bajakan dalam cerita tidak sekadar ruang fisik, tetapi juga simbol dari sikap permisif masyarakat terhadap pencurian hak intelektual.
Bukan Hanya Sekedar Bercerita, Melainka Sebuah Ajakan untuk Bertindak
Pesan moral dalam novel ini sangat eksplisit. Tere Liye tidak segan-segan menyatakan bahwa pembajakan adalah kejahatan, bahkan menyebutnya sebagai pencurian yang dilegalkan oleh ketidaktahuan. Sintong menjadi medium bagi penulis untuk menyampaikan kegeraman atas realitas ini.
Kisah cinta yang menyertai perjalanan Sintong juga menjadi elemen penting dalam cerita. Hubungannya yang kandas dengan mantan kekasih, dan kemudian pertemuannya dengan sosok baru, menjadi katalis dalam proses transformasinya. Namun cinta dalam novel ini bukanlah fokus utama, melainkan latar emosi yang mendukung perkembangan karakter dan pengambilan keputusan tokoh utama.
Daya tarik novel ini terletak pada keberaniannya mengangkat isu yang jarang disentuh secara serius dalam fiksi populer Indonesia. Tere Liye tidak hanya menyuguhkan cerita, tetapi juga mengajak pembaca untuk bertindak: merenung, mengubah, dan berkata “selamat tinggal” pada masa lalu yang penuh kepalsuan.
Selamat Tinggal adalah novel yang mengandung pesan kuat tentang pertobatan, keberanian moral, dan pentingnya memilih jalan yang benar meski harus menanggung risiko. Buku ini mungkin cocok bagi pembaca yang mencari bacaan ringan namun penuh makna, Selamat Tinggal adalah pilihan yang tepat. Ia mengingatkan kita bahwa dalam setiap keputusan hidup, selalu ada ruang untuk berkata ‘tidak’ dan ‘iya’. Meski jalan itu tidak mudah.