BincangMuslimah.Com – Puasa Ramadhan di era kemajuan zaman ini menjadi penuh dengan problematika sosial keagamaan yang berkembang. Namun seakan hal lazim, masifnya kemajuan teknologi memang akan menjadi tantangan bagi tiap aspek kehidupan.
Salah satu problematika yang marak dipertanyakan akhir-akhir ini adalah aktivitas kirim pesan stiker makanan saat bulan puasa. Apakah akan mengganggu hingga membatalkan keabsahan puasa seseorang atau tidak. Tak hanya itu, khalayak juga ramai mengunggah foto atau video makanan di sosial media dengan berbagai kemasan candaannya.
Lalu, bagaimana Islam menyikapi perkara ini?
Makna Puasa Sebagai Latihan Kontrol Diri
Puasa Ramadhan selalu menjadi momentum belajar dalam pembiasaan atau pemeliharaan hal-hal baik dan penyingkiran terhadap hal buruk. Hal ini bisa kita rangkum dalam kata ‘kontrol atau pengendalian diri.
Melansir dari NU Online Jabar, makna bahasa dari shiyam atau puasa sendiri adalah menahan. Yang kemudian dibagi menjadi dua makna, yaitu puasa lahiriyah dan puasa bathiniyah. Puasa lahiriyah berarti meninggalkan atau menahan diri dari 3 aspek: makan, minum dan hubungan seksual.
Sedangkan puasa bathiniyah atau ruhaniyah berarti meninggalkan hal yang dapat merusak pahala dan keabsahan puasa. Seperti berbohong, riya’ (kebaikannya ingin dilihat orang lain), angkuh, hasad atau iri, dan ujub (merasa paling baik).
Ibnu Hajar al-Asqalani, dalam kitab Fathul Bari berpendapat perihal maksud pensyariatan puasa bukan sekadar menahan lapar dan dahaga, bahkan poin pentingnya adalah mengekang syahwat, mengendalikan jiwa yang selalu mengarahkan pada yang buruk, menuju jiwa yang tenang (muthmainnah).
Kita memahami bahwa rahmat Allah pasti mengalir pada bulan suci ini, sebagaimana Allah membuktikan rasa kasihnya dengan membelenggu setan demi ketenangan hambanya bulan suci ramadhan. Sebagaimana hadis Nabi:
إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ، وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ
Artinya, “Jika bulan Ramadhan datang, maka pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, dan setan-setan dibelanggu.” HR. At-Tirmidzi
Meski disebutkan dalam hadis bahwa setan tidak bisa mengganggu manusia saat ramadhan, namun termuat dalam kitab Kasyful Musykil min Haditsis Shahihain bahwa dalam diri manusia sendiri masih terdapat pemicu maupun pendorong keburukan yakni nafsu dan kebiasaan buruk.
Dalam hal ini, sebagai seorang hamba sepatutnya tetap menunaikan kewajiban dan berusaha melewati ujian ketaatan.
Perspektif Fikih
Dalam ilmu Fikih sendiri, tidak ada ketentuan eksplisit terkait hukum mengirim pesan stiker makanan atau mengunggah video makanan terutama saat bulan puasa. Namun, di dalamnya terdapat hukum taklifi sebagai salah satu hukum syara yang telah ditetapkan oleh titah syari’at yaitu dari Alquran dan Hadis.
Di antara 5 jenis hukumnya yakni wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram. Masing-masing darinya dapat digunakan sesuai dengan objek, waktu, dan kadar perkara yang ada.
Dalam isu ini, sebelum memberikan hukum terhadap perkaranya, perlu kita ketahui niat dari si pengirim dan respon penerima. Dapat kita rangkum sebagai berikut:
Pertama, apabila niat si pengirim adalah untuk mempromosikan produk atau mengedukasi dalam pembuatannya (makanan atau minuman), maka mubah atau boleh.
Kedua, apabila niat si pengirim hanya untuk melontarkan gurauan dan sengaja untuk menggoda orang lain maka hal tersebut makruh hukumnya, bahkan dilarang.
Sebagaimana teori ushul fikih yang menjelaskan bahwa segala perbuatan yang menyebabkan orang lain melakukan yang dilarang, maka hukumnya juga dilarang.
أَنَّ مَا أَدَّى إِلَى الْمَشْرُوْعِ فَهُوَ مَشْرُوْعٌ، وَمَا أَدَّى إِلَى الْمَمْنُوْعِ فهوَ مَمْنُوْعٌ
“Sesungguhnya, setiap media (mubah) yang berujung pada sesuatu yang dianjurkan maka hukumnya juga dianjurkan, dan setiap media yang berujung pada sesuatu yang dilarang maka hukumnya juga dilarang,” (Taisîri ‘Ilmi Ushûlil Fiqhi lil Jadi’, juz II, halaman 58).
Begitu pula bagi tiap individu yang menyimak atau dalam hal ini si penerima stiker, foto atau video makanan dan minuman. Hendaknya dapat mengontrol diri dan menjauhkan diri dari hal yang dapat memicu syahwatnya. Sebagaimana yang termuat dalam kitab Fathul Mu’in dan kitab I’anatu al-Thalibin:
سن (كف) نفس عن طعام فيه شبهة، و (شهوة) مباحة. من مسموع، ومبصر، ومس طيب، وشمه.
Artinya, “Sunah menyingkirkan makanan yang syubhat dan menahan diri dari menuruti kehendak hawa nafsu yang mubah, baik berupa suara, pandangan mata dan menyentuh atau menghirup wewangian.”
Sejatinya, puasa Ramadhan dapat kita analogikan sebagai rem depan pada motor. Yang mana akan menahan kita untuk menghindari hal-hal yang tidak bermanfaat dan buruk. Namun perlu juga adanya sinergi dari rem belakang yang bersumber dari diri tiap individu, agar lajunya lebih stabil dalam memilih jalan yang baik. Sehingga terhindar dari terjalnya jalan keburukan.
1 Comment