BincangMuslimah.Com – Radha’ah adalah hubungan mahram yang diakibatkan oleh persusuan oleh seorang perempuan kepada bayi yang bukan anaknya. Orang yang menyusu kepada ibu susuan dikatakan menjadi mahram apabila memenuhi beberapa syarat. Mengenai hal ini, terdapat lima syarat radha’ah menurut KH Ahmad Syakir.
Kebutuhan ASI dari ibu susuan
Dalam keadaan normal, seorang ibu yang telah melahirkan biasanya mengeluarkan Air Susu Ibu (ASI). Namun, terkadang ada ibu yang tidak bisa memberikan ASI kepada bayinya. Ada yang beralasan untuk menjaga keindahan payudaranya dan ada juga karena alasan medis yang tidak membolehkannya menyusui bayinya, sehingga dibutuhkan ASI pengganti.
Sebetulnya, pengganti ASI untuk bayi tidak masalah jika hanya dengan susu formula. Namun, akan menjadi masalah jika diharuskan mengonsumsi ASI dari ibu lain. Hal ini akan menimbulkan hukum dalam Islam, yaitu radha’. Radha’ ialah seorang bayi yang menghisap puting payudara seorang wanita pada waktu tertentu. Dalam hukum Islam, hal ini menyebabkan adanya saudara sepersusuan dengan anak-anak lain yang menyusu pada ibu tersebut.
Beda pendapat ulama mengenai radha’ah
Para ulama berbeda pendapat mengenai tata cara menyusu yang dapat mengharamkan. Mayoritas ulama menyatakan bahwa yang paling utama adalah sampainya air susu tersebut ke dalam perut bayi, sehingga membentuk daging dan tulang, baik dengan cara menyusu langsung dari payudara si perempuan, as su’uth (memasukkan susu ke lubang hidungnya), al-wujur (menuangkannya langsung ke tenggorakannya) dengan menggunakan dot atau botol, maupun dengan cara yang lainnya.
Lima syarat radha’ah menurut KH Ahmad Syakir
Alasan medis menjadi pertimbangan para pakar kesehatan dalam memberikan solusi bagi penyusuan para bayi, yakni dengan mendirikan Bank ASI. Donor ASI biasanya diberikan untuk bayi prematur, bayi dan anak sakit (gagal ginjal kronik, penyakit metabolik, alergi). Perihal penampungan ASI oleh pihak rumah sakit ini mendapat perhatian dari K.H. Ahmad Syakir, sebagaimana yang tercantum dalam Kitab al-Hikmah:
“Susu atau Puwan yang berasal dari para penyumbang (pendonor) yang dikumpulkan oleh pihak rumah sakit untuk minum para bayi yang dirawat di sana, dapat menimbulkan Radha’ah yang menyebabkan mahram. Tetapi juga harus memenuhi lima syarat radha’ah, diantaranya:
Pertama, wanita yang menyusui dalam keadaan masih hidup
Maksudnya yaitu seorang ibu penganti penyusuan menyusui secara langsung tanpa menggunakan botol atau alat lain.
Kedua, wanita yang menyusui harus jelas identitasnya
Hal ini dimaksudkan guna mengetahui keluarga sang ibu, apakah wanita tersebut juga memiliki nak-anak sepersusuan lainnya, baik itu anak kandung maupun anak orang lain. Ibu serta saudara saudara sepersusuan menjadi mahram yaitu orang yang haram dinikahi.
Ketiga, wanita yang menyusui harus telah berumur 9 tahun atau lebih
Usia tersebut merupakan batasan usia minimal yang ditetapkan oleh Imam Syafi’i dalam menetapkan batasan usia minimal wanita haid. Hal ini menjadi wajar, sebab K.H. Ahmad Syakir yang juga merupakan seorang tokoh NU, mengikuti mazab Syafi’i pula.
Keempat, anak yang diberi ASI harus berusia dibawah 2 tahun
Para ulama berbeda pendapat mengenai batasan usia maksimal bayi. Sebagian besar ulama menyatakan bahwa batasan usia bayi menyusu dapat mengakibatkan kemahraman, yakni jika seorang bayi berusia di bawah dua tahun. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam surat Al Baqarah [2]: 233:
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.“
Kelima, harus lima kali susuan, dari pisahnya susu selama lima kali
Pendapat tersebut sebagaimana yang dikatakan oleh Yusuf Qardawi, bahwa bayi yang meminum lima kali susu dari ibu menyebabkan menjadi mahramnya si anak dengan keluarga si ibu susuan. Artinya, anak mereka tidak boleh menikah. Masalah menyusu secara langsung atau tidak langsung tidak menjadi maalah karena hal itu sekedar persoalan teknik mengeluarkan susu saja. Secara hukum, tetap sama.
Berdasarkan uraian tersebut, K.H. Ahmad Syakir tidak mempermasalahkan adanya Bank ASI, dalam artian diperbolehkan. Yang menjadi perhatian adalah selama anak yang meyusui tersebut mengonsumi ASI dari ibu susuan, baik secara langsung maupun memakai dot atau alat lainnya, hukumnya tetap sama. Konsekuensi yang didapat adalah anak dan ibu tersebut menjadi mahram. Selain itu, kasus ini juga menyebabkan saudara sepersusuan yang dilarang untuk dinikahi.
Sumber
Samidi. “Fikih Kontemporer Bahasa Lokal (Studi Kitab al-Hikmah Karya KH. Ahmad Syakir Lasem)”. Jurnal SMaRT. Vol. 01, No. 02. 2015.
Hasan, M. Ali. Masail Fiqhiyah Al Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam.