BincangMuslimah.Com – Sifat adalah bagian yang tidak terpisahkan dari dzat sehingga pemhaman terhadap sifat adalah cabang dari pemahaman terhadap dzat. Ketika ada frasa “nyiur melambai-lambai”, orang Indonesia yang memahami bahwa dzat “nyiur” adalah pohon kelapa akan memahami juga bahwa “melambai-lambai” di sana hanyalah personifikasi yang maknanya adalah bergoyang-goyang tangkainya sebab ditiup angin. Akan tetapi bagi orang yang tidak dapat memahami apa sebenarnya “nyiur” yang dimaksud, bisa jadi dia membayangkan bahwa nyiur adalah manusia atau hewan yang sedang melambaikan tangannya. Kesalahan dalam menggambarkan sifat “melambai” disebabkan oleh kesalahan menggambarkan dzat “nyiur” itu tadi.
Demikian juga ketika frasa yang dimaksud adalah tentang sifat-sifat ketuhanan, cara memahaminya hanya bergantung pada pemahaman yang benar terhadap hakikat Dzat Tuhan itu sendiri. Akan tetapi, dapatkah manusia mengetahui hakikat Dzat Tuhan? Jawabannya adalah tidak mungkin sebab Allah adalah sosok yang sama sekali tidak dapat dibayangkan dan tidak ada yang serupa jenisnya dengan apa pun. Allah berfirman:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Artinya: “Tidak ada satu pun yang serupa dengan-Nya dan Dia adalah Yang Maha Mendengar dan Maha Melihat.” (QS. Al-Syura: 11)
Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah berbeda dengan segala hal yang ada di alam semesta. Dia tidak seperti manusia, hewan, benda padat, benda cair, benda gas, energi, atau apa pun. Para mutakallimin Ahlussunnah wal Jama’ah biasanya mengklasifikasi semesta menjadi tiga kategori, yakni: jauhar (materi tunggal), jisim (materi yang tersusun) dan ‘aradl’ (aksiden yang melekat pada jauhar atau jisim). Dengan demikian, para mutakallim Ahlussunnah wal Jama’ah sepakat menyimpulkan bahwa Allah bukanlah jauhar, jisim atau ‘aradl. Inilah hakikat tertinggi yang dapat dipahami manusia dari Dzat Allah, yakni bahwa Allah berbeda dari segalanya.
Lalu apa dan bagaimana sosok Dzat Allah itu sendiri? Sama sekali tidak ada informasi tentang itu sehingga manusia sama sekali tidak mungkin mengetahuinya, bahkan sekedar membayangkan saja tidak mungkin. Dengan demikian, maka gambaran tentang sifat Allah juga mustahil diketahui manusia kecuali sebatas kepastian bahwa sifatnya berbeda dengan sifat semesta dan seluruh isinya. Sebab itu, ulama salaf sama sekali tidak memaknai sifat-sifat tersebut sebab makna yang tepat mengharuskan tahu terhadap hakikat Dzat. Berikut akan penulis jelaskan bagaimana cara ulama salaf dalam memahami teks sifat Allah dalam Alquran ataupun hadis.
Menyucikan Allah dari segala atribut yang dimiliki oleh makhluk.
Langkah ini dilakkukan dengan cara membuang tafsiran-tafsiran yang berlaku pada makhluk pada teks-teks sifat sehingga pembaca tidak salah paham. Imam al-Hafidz al-Baihaqi al-Asy’ary menjelaskan langkah ini dalam kesimpulannya sebagai berikut:
وَفِي الْجُمْلَةِ يَجِبُ أَنْ يُعْلَمَ أَنَّ اسْتِوَاءَ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى لَيْسَ بِاسْتِوَاءِ اعْتِدَالٍ عَنِ اعْوِجَاجٍ وَلَا اسْتِقْرَارٍ فِي مَكَانٍ، وَلَا مُمَّاسَّةٍ لِشَيْءٍ مِنْ خَلْقِهِ، لَكِنَّهُ مُسْتَوٍ عَلَى عَرْشِهِ كَمَا أَخْبَرَ بِلَا كَيْفٍ بِلَا أَيْنَ، بَائِنٌ مِنْ جَمِيعِ خَلْقِهِ، وَأَنَّ إِتْيَانَهُ لَيْسَ بِإِتْيَانٍ مِنْ مَكَانٍ إِلَى مَكَانٍ، وَأَنَّ مَجِيئَهُ لَيْسَ بِحَرَكَةٍ، وَأَنَّ نُزُولَهُ لَيْسَ بِنَقْلَةٍ، وَأَنَّ نَفْسَهُ لَيْسَ بِجِسْمٍ، وَأَنَّ وَجْهَهُ لَيْسَ بِصُورَةٍ، وَأَنَّ يَدَهُ لَيْسَتْ بجَارِحَةٍ، وَأَنَّ عَيْنَهُ لَيْسَتْ بِحَدَقَةٍ، وَإِنَّمَا هَذِهِ أَوْصَافٌ جَاءَ بِهَا التَّوْقِيفُ، فَقُلْنَا بِهَا وَنَفَيْنَا عَنْهَا التَّكْيِيفَ
Secara global harus diketahui bahwa istiwa’-nya Allah swt. bukanlah istiwa’ yang bermakna lurus dari bengkok ataupun bermakna menetap di suatu tempat. Juga bukan bermakna menyentuh satu dari sekian makhluk-Nya. Akan tetapi Allah istiwa’ atas Arasy seperti yang Allah beritakan tanpa ada tata cara dan tanpa ada pertanyaan “di mana”, dan Ia terpisah dari seluruh makhluk-Nya.
Dan bahwasanya sifat ityân (kedatangan) Allah bukan datang dalam arti perpindahan dari satu tempat ke tempat yang lain; sifat majî’ (kehadiran) Allah bukan suatu gerakan; sifat nuzûl (turun) bukan suatu perpindahan; sifat nafs (diri) bukan suatu jisim, sifat wajh (wajah) bukan sebuah bentuk fisik; dan bahwa yad (tangan)-Nya bukan sebuah organ bertindak; ‘ain (mata)-Nya bukan sebuah organ penglihatan; tetapi Ini semua adalah sifat yang disebutkan oleh Nabi Muhammad tanpa bisa dipertanyakan (tawqîf), maka kami menetapkan keberadaannya dan meniadakan tata cara atau makna leksikal (kaifiyah) darinya. (al-Baihaqi, al-I’tiqâd, 117)
Memasrahkan makna hakikatnya kepada Allah
Langkah ini dilakukan dengan cara tidak menafsirkan teks-teks sifat dan membiarkannya dibaca apa adanya tanpa perlu dibahas maknanya. Misalnya saja kata “yad” atau “tangan” menurut Imam Ibnu Hajar al-Asqalani mempunyai 25 makna, baik makna denotatif mau pun konotatif (Ibnu Hajar al-’Asqalani, Fath al-Bari, XIII, 394). Ulama salaf akan menolak seluruh 25 makna ini sebab kesemuanya adalah makna yang berlaku pada realitas makhluk, bukan pada realitas Allah. Keengganan memberi memberi pemaknaan spesifik ini disebut sebagai istilah tafwidh (pemasrahan makna pada Allah).
Imam Ibnu Uyainah menjelaskan langkah ini sebagai berikut:
مَا وَصَفَ اللَّهُ تَعَالَى بِهِ نَفْسَهُ فَتَفْسِيرُهُ قِرَاءَتُهُ، لَيْسَ لِأَحَدٍ أَنْ يُفَسِّرَهُ إِلَّا اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى، أَوْ رُسُلُهُ صَلَوَاتُ اللَّهِ عَلَيْهِمْ
Artinya: “Tidak ada yang dapat menafsirkan sifat-sifat yang Allah Ta’ala gambarkan untuk diri-Nya kecuali Allah sendiri Yang Maha Suci dan Maha Tinggi, atau Rasul-rasul-Nya, semoga Allah memberikan shalawat atas mereka.” (al-Baihaqi, al-Asma’ wa al-Shifat, II, 338-339)
Senada dengannya, Syaikh Ibnu Qudamah menjelaskan bahwa yang ditetapkan hanya lafznya saja tanpa boleh memaknainya:
وكلُّ ما جاءَ في القرآنِ أو صَحَّ عنِ المصطفى عليه السلامُ منْ صفاتِ الرحمنِ وَجَبَ الإيمانُ بِهِ وتَلَقِّيهِ بالتَّسْليمِ والقَبُولِ، وتَرْكِ التَّعَرُّضِ لَهُ بالرَّدِّ والتَّأْويلِ، والتَّشْبِيهِ والتَّمْثِيلِ. وما أَشْكَلَ مِنْ ذلك وَجَبَ إثْباتُه لفْظا، وتَرْكُ التَّعَرُّضِ لِمعْناه، ونرُدُّ عِلْمَه إلى قائله
Artinya: “Setiap ayat yang ada di dalam Al-Qur’an atau hadits yang sahih dari Nabi yang terpilih shallallaahu ’alaihi wa sallam tentang sifat-sifat Allah yang Maha Pengasih, maka wajib mengimaninya dan menerimanya dengan sikap tunduk dan pasrah, serta meninggalkan sikap penentangan terhadapnya dengan ditakwil, atau diserupakan dengan makhluk. Sedangkan hal-hal yang tidak dimengerti dari sifat-sifat tersebut, maka wajib menetapkannya secara lafaz dan tidak menyinggung maknanya, serta menyerahkan pengetahuan atas makn tersebut kepada yang memberitakannya (yaitu Allah dan Rasul).” (Ibnu Qudamah, Lum’at al-I’tiqad, 6)
Mengambil maksud kontekstual dari penyebutan sifat tersebut untuk diyakini atau diamalkan
Langkah ini dilakukan dengan cara mengambil pesan inti yang akan disampaikan oleh teks ayat atau hadis yang menyebut tentang sifat Allah lalu meyakininya serta mengamalkannya. Misalnya saja ayat yang menyebutkan bahwa di hari kiamat langit digulung oleh “tangan Allah”, maka makna kontekstual yang dapat diambil adalah bahwa Allah adalah penguasa mutlak semesta yang dapat dengan mudah menghancurkannya. Ketika membaca hadis yang menjelaskan turunnya Allah di sepertiga malam terakhir, maka makna kontekstual yang diambil adalah bahwa kaum muslimin diperintah bangun di sepertiga malam terakhir untuk bermunnajat kepada Allah. Ketika membaca hadis yang menjelaskan bahwa hati manusia dibolak-balik oleh “jari Allah”, maka makna kontekstual yang dapat diimani adalah bahwa hati manusia ada dalam kontrol Allah.
Demikianlah beberapa cara dari para ulama salaf dalam memahami teks baik dalam Alquran maupun hadis yang membicarakan sifat Allah. Mereka tidak membaca teks tersebut seolah sedang menjelaskan tentang “organ Tuhan” yang berupa tangan sebab sudah maklum bahwa Tuhan bukan jisim yang dengan demikian tidak berorgan atau pun berbadan. Pemaknaan yang serba menjisimkan (mengatakan Tuhan beranggota tubuh) Tuhan ini adalah pemaknaan yang melampaui batas dan melanggar sikap ulama salaf. Wallahu A’lam.
Editor: Zahrotun Nafisah
1 Comment