BincangMuslimah.Com – Sudan, merupakan salah satu kawasan Timur Tengah yang berada di kawasan Afrika bagian Utara. Sudan terletak di pertemuan dua sungai Nil, sungai Nil biru dan sungai Nil putih. Maka dari itu, Sudan merupakan salah satu negara dengan sungai Nil terbesar.
Berdasarkan struktur sosio-kultur masyarakat, Sudan terdiri dari beberapa suku atau kabilah yang berbeda-beda. Islam datang ke Sudan sejak abad ke-7, di mana para saudagar Arab melewati jalur-jalur Sungai Nil untuk berniaga. Tepatnya, ketika Mesir dikuasai oleh Bani Umayyah menjalin hubungan perdagangan dengan Sudan yang melewati Laut Merah dan masuk ke daerah Nubiah. Sejak saat itu, arus perdagangan Sudan dan Negara Islam semakin intens.
Seperti penyebaran Islam pada umumnya, masyarakat Sudan mengenal Islam melalui beberapa jalur; perdagangan, perkawinan dan dakwah langsung. Alhasil, budaya Sudan merupakan campuran dari Islam dan Afrika. Karena pengaruh Islam sangat kuat, sistem hukum yang diusung Sudan menggunakan hukum Islam, dan mayoritas masyarakatnya beragama Islam dengan mazhab Maliki.
Di sisi lain, semua kendali dipegang oleh negara, baik individu-kelompok maupun privat-publik. Salah satunya adalah perempuan. Karena pengaruh Islam kuat, layaknya masyarakat Arab yang masih sering salah memahami kemerdekaan bagi perempuan.
Dalam ranah privat maupun publik, perempuan Sudan terkungkung oleh aturan-aturan yang mereka buat sendiri. Seperti halnya larangan memakai celana, mewajibkan memakai hijab, memakai abaya atau sejenis gamis berwarna hitam, pembatasan suara perempuan di ranah publik, minimnya sekolah bagi perempuan dan masih banyak contoh lainnya.
Lahirnya Fatima Talib sebagai pendobrak kungkungan bagi perempuan Sudan. Fatima Talib, atau yang sering disapa Fatima lahir pada 1 Januari, 1928 di Renk, Sudan Selatan. Fatima lahir dari keluarga dengan dedikasi terhadap negara tinggi, ayahnya merupakan seorang pewira militer pada tahun 1924.
Berbeda dengan sebayanya, sejak kecil, Fatima kecil berkecimpung pada dunia pendidikan, Fatima mengenyam pendidikan di Al-Wahda, Khartaum. Setelah itu melanjutkan pendidikannya di Universitas London dan mendapatkan gelar perempuan pertama dari Sudan yang menyelesaikan pendidikannya di jenjang tinggi.
Bagi perempuan Sudan, Fatima adalah sosok ‘Kartini’. Pada 1949, bersama temannya di Gordon Memorial College, ia mendirkan Masyarakat Budaya Wanita (Jam’ee’yat Alfata’yat Althaqa’fia) di Omdurman. Organisasi tersebut dirancang untuk mendidik dan memberdayakan perempuan serta memberikan dukungan sosial bagi mereka. Organisasi ini dirancang untuk mendidik dan memberdayakan perempuan serta memberikan dukungan sosial bagi perempuan Sudan. Sayangnya, organisasi ini berumur pendek karena mampu bertahan selama dua tahun saja.
Tak berhenti di situ, pada 1949, Fatima mengepakkan sayapnya dengan bergabung di Ikhwanul Muslimin, ia menjadi anggota perempuan pertama yang bergabung. Di tahun berikutnya, pada 1952, bersama Khalida Zaher, Fatima Ahmed mendirikan Persatuan Wanita Sudan (Al-ettihad An-Nisaa’i Assudani). Organisasi ini dirancang untuk mempromosikan isu-isu keperempuanan. Pembentukan organisasi ini merupakan peristiwa terpenting dalam perjuangan melawan kolonialisme penjajah di Sudan, karena dengan demikian, memungkinkan para perempuan untuk memobilisasi penguasa agar memahami, melindungi hak-hak sosial dan ekonomi mereka.
Beliau juga perempuan pertama yang pernah menjabat sebagai pimpinan di sebuah sekolah menengah atas di Sudan. Perannya sebagai seorang aktivis perempuan di Sudan, kerap membuatnya menjadi narasumber terkait perannya dalam feminisme Sudan.
Fatima Talib sosok perempuan Sudan yang sangat menginspirasi. Seperti para wanita pada umumnya, gambaran perempuan di Sudan sama halnya dengan sosok beliau. Terlihat biasa namun sangat bersemangat, tentang kesederhanaan, kebaikan, ramah, dan sikap penerimaannya terhadap sesama.