BincangMuslimah.Com – Pesantren lahir dari proses asimilasi Hindu-Budha di Indonesia. Asal-usul Pondok pesantren yang kita kenal di Indonesia saat ini pada mulanya adalah pengambilalihan dari sistem pondok pesantren yang dianut Hindu-Budha. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa jauh sebelum datangnya Islam ke Indonesia, lembaga pondok pesantren pada kala itu dimaksudkan sebagai tempat mengajarkan pendidikan agama Hindu-Budha.
Hanun Asrohah dalam buku Sejarah Pendidikan Islam menyebutkan pengaruh Hindu-Budha bisa ditelusuri dari ciri pesantren yang berbentuk asrama. Bentuk asrama sendiri telah diterapkan oleh agama Budha sebelum masuknya Islam ke Indonesia.
Pendapat lain datang dari Sternberg, ditulis oleh A. Fattah Yasin dalam buku Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam. Ia menyebutkan ada dua pendapat mengenai pesantren pertama pesantren berasal dari Indonesia sendiri, yang dikaitkan dengan budaya Hindu-Budha yang kemudian diadopsi oleh Islam sebagai peralihan fungsi.
Kedua pesantren yang didasari atas sepenuhnya dari Islam sendiri, pendapat ini didasarkan atas ciri-ciri pesantren yang ditemukan sama pada masa Rasulullah SAW. Terlepas dari pendapat di atas, ada dua istilah yang menjadi bukti lahirnya pesantren yakni surau dan meunasah.
Kata dan penamaan Surau berasal dari Sumatera Barat tepatnya di Minangkabau, hal tersebut sesuai dengan pendapat Sidi Gazalba dalam Asrohah dalam buku Sejarah Pendidikan Islam. Sebelum menjadi lembaga pendidikan Islam, istilah surau dahulunya digunakan sebagai tempat penyembahan bagi agama Hindu-Budha, sebagai tempat penyembahan ruh nenek moyang yang biasanya terletak di tempat tinggi atau daratan yang memiliki puncak daripada lingkungannya.
Sedangkan kata surau dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai tempat (rumah) umat Islam melakukan ibadahnya (mengerjakan salat, mengaji, dsb); atau dengan sebutan lain bisa langgar.
Dalam sejarah Minangkabau, surau diperkirakan berdiri pada 1356 M yang dibangun pada masa Raja Adityawarman di tempat bernama bukit Gombak. Kata surau sendiri berasal dari bahasa sansekerta “Swarwa” yang berarti segala, semua, macam-macam, atau dengan kata lain seperti pusat pendidikan dan latihan yang ada saat ini.
Lebih lanjut, Tuanku Kayo Kadimullah, dalam buku Menuju Tegaknya Islam Di Minangkabau, orang di Minangkabau memaknai surau tidak hanya sebagai fungsi seperti dijelaskan di atas, namun juga sebagai fungsi budaya. Hal ini didasari karena surau adalah kepunyaan kaum suku yang menjadi pelengkap rumah gadang.
Setelah Islam datang, surau tidak hanya bisa ditemukan di bukit atau dataran tinggi sebagaimana tersebut di atas, tetapi surau bisa ditemukan di pemukiman desa hal ini didasari dengan fungsi surau yang beralih menjadi masjid atau tempat ibadah dan belajar Al Qur’an.
Surau juga digunakan untuk berbagai kegiatan keagamaan. Dalam budaya Minangkabau, surau bisa dimaknai menjadi dua, pertama, “surau gadang” (tempat untuk tuanku, ulama atau syekh) yakni sebagai induk. Kedua, “surau kete” yang juga terbagi atas dua macam surau, yakni surau yang didirikan oleh suku surau yang didirikan di sekitar surau gadang biasanya ini keberadaan seorang ulama ditentukan oleh pengakuan pemuka adat.
Sementara istilah “meunasah” yang dalam kebahasaan memiliki sebutan sama dengan meulasah, beunasah, beulasah. Istilah-istilah tersebut dikenal oleh sebagian kelompok etnis Aceh. Secara umum dikenal dengan arti manasah atau balai. A. Djalali dalam bukunya berjudul Meunasah Sebagai Pendidikan Islam Tradisional Aceh, secara etimologi meunasah adalah istilah dari Aceh dan telah lama dikenal. Akan tetapi sejak kapan ditemukan belum jelas secara historis, hal ini sama dengan ketika kita menelusuri jejak pesantren. Menurut beberapa ahli pengamat di Aceh, meunasah berasal dari kata madrasah bahasa Arab. Kemudian menjadi meunasah karena dialek orang Aceh yang sulit menyatakan madrasah.
Jika kita telisik lebih rinci tentang meunasah, secara historis fungsi dari pada meunasah sendiri sudah lama ada. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Snouck Hurgronje bahwa meunasah identik dengan langgar, balee atau tajug. Sehingga bangunan ini lebih tua dari nama meunasah yang berasal dari bahasa Arab (madrasah).
Taufik Abdullah yang juga penulis menemukan dalam Kementerian Agama Aceh Timur bahwa meunasah dalam arti terminologis adalah tempat berbagai aktivitas, baik masalah dunia (adat), maupun masalah agama, yang dikepalai oleh Teungku meunasah. Juga pada pengertian lain, meunasah adalah tempat penggemblengan masyarakat gampong atau desa, yang tujuannya tidak lain adalah supaya masyarakat tersebut bisa menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT.
Jadi surau dan meunasah secara fungsi telah membuktikan adalah cikal bakal pesantren di Indonesia. Demikian asal-usul pesantren yang ada di Indonesia yang berasal dari tradisi Hindu-Budha.
2 Comments