BincangMuslimah.Com – Berikut kisah Khalifah Muawiyah menikahi perempuan non muslim. Kiah jamak dijumpai dalam pelbagai literatur tarikh Islam. Dalam sejarah Islam, Muawiyah bin Abi Sufyan, merupakan salah satu khalifah yang dikenal sebagai orang yang memiliki toleransi cukup besar.
Karena sikapnya itu, ia diberi julukan al-Mustanir as-Samah (khalifah yang tercerahkan nan toleran). Pasalnya, dalam pengelolaan pemerintahan, keterlibatan non-muslim memegang peran penting dalam kemajuan pemerintahan. Sosoknya yang tangguh dan pemberani, membuat ia memiliki kepandaian dalam mengatur strategi pemerintahan (Abdul Syukur al-Azizi, Kitab Sejarah Peradaban Islam Terlengkap, (Yogyakarta: Saufa, 2014).
Jika di Indonesia masih banyak sekali perkembangan politik identitas yang dimainkan oleh sebagain masyarakat muslim dengan dalih menolak keterlibatan non-muslim, kiranya kita bisa menjadi Muawiyah sebagai referensi utama dalam menjalankan roda pemerintahan di dalamnya.
Dilihat dari sepak terjang pemerintahannya, berdasarkan sejarah singkat tentang proses pemindahan kekuasaan dari Hasan bin Ali kepada Mu’awiyah, banyak sekali cerita-cerita masa lalu yang bisa diambil hikmahnya.
Muawiyah dikenal sebagai orang yang rasional dan negarawan sejati. Hal ini karena, pengalamannya menjadi gubernur provinsi. Dalam proses awal kepemimpinan bani Umayyah, ada beberapa kelebihan yang dimiliki oleh Muawiyah, diantaranya:
Pertama, basis wilayah dukungan dari keluarga Umayyah, khususnya keluarga masyarakat Suriah. Alasan mengapa pendukungnya sangat kuat, yakni wilayah tersebut merupakan wilayah kekuasaan Muawiyah. Suriah telah lama diperintah oleh Muawiyah yang mempunyai pasukan yang kokoh, terlatih, dan disiplin di garis depan dalam melawan peperangan.
Kedua, ia mampu menjadi administrator pemerintahan dan sangat bijaksana dalam menempatkan setiap orang menjadi pembantu pemerintah. Ketiga, Muawiyah memiliki tingkat hilm. Sifat penting yang dimiliki oleh pembesar Mekkah pada zaman dahulu. Hilm merupakan sifat yang dapat menguasai diri sehingga dapat menentukan pilihan, meskipun ada tekanan dan intimidasi.
Berdasarkan kelebihan yang dimiliki tersebut, banyak sekali keputusan yang ditetapkan oleh Muawiyah, termasuk pemindahan kekuasaan ke Damaskus yang merupakan wilayah kekuasaannya. Tidak hanya itu, dalam memberikan peran pemerintahan kepada para pendukung maupun masyarakat yang menolak terhadap kepemimpinannya. Ia memberi porsi keduanya untuk memiliki peran penting dalam ranah pemerintahan.
Ini artinya, strategi politik yang dimainkan oleh Muawiyah dalam mengatur kekuasaanya sangat cantik. Hal tersebut bisa dilihat bagaimana relasi yang terjalin antara para pendukung dan penolak kepemimpinannya bisa bekerjasama dalam roda pemerintahan yang dilakukan.
Tidak hanya itu, kebijakan yang juga tidak kalah penting dalam kepemimpinan Muawiyah yakni melibatkan orang-orang non-muslim di dalam pemerintahan. Tidak hanya itu, Konon dalam catatan sejarah juga, istrinya yang bernama Maysun binti Bahdal al-Kalbiyyah adalah wanita Kristen.
Muawiyah tampil sebagai pemimpin yang meletakkan dasar pemerintahan dan membangun kebudayaan Islam. Upaya untuk menyebarluaskan wilayah kekuasaannya dilakukan dalam rangka menyelamatkan negara.
Perubahan yang dilakukan oleh Muawiyah dengan perubahan yang cukup drastis dan tidak inklusif memandang latar belakang orang lain, membuat pemerintahannya dikenal oleh negara Barat (Philip K Hitty, History of the Arabs, Terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2013).
Dalam menjalankan strategi pemerintahannya, ia memainkan soft power untuk mengaplikasikan pemikiran dalam kebijakan yang diterapkan. Alasan mengapa pemerintahan dipindah ke Damaskus tidak lain posisi strategis sebagai pusat pemerintahan. Selama kepemimpinannya menjadi gubernur, ia memiliki pengaruh besar di kota tersebut.
Ketika tonggak kepemimpinan ia miliki, dan berhasil memindah pusat pemerintahan ke Damaskus, ia bisa membangun pemerintahan yang ideal dan stabil. Hal ini karena banyak pendukung di daerah tersebut, tidak sulit untuk memberikan kepercayaan kepada masyarakat dan membangun kebijakan agar bisa diterima oleh masyarakat secara luas.
Upaya yang dilakukan oleh Muawiyah dalam membangun peradaban Islam, nyatanya tidak terpaku kepada eksklusifitas peran pemerintahan yang harus dilakukan oleh umat Islam.
Ia justru menjadikan Islam sebagai rahmat bagi seluruh semesta dengan strategi ciamik melibatkan non-muslim untuk berperan dalam pemerintahannya. Sehingga yang ditampilkan justru bukan corak simbolisasi Islam yang kental dalam pemerintahannya.
Akan tetapi, mengenalkan konsep Islam sebagai sistem yang bisa merangkul semua kalangan, khususnya kalangan yang non-muslim. Langkah ini kiranya menjadi pembelajaran dan bekal utama untuk melawan narasi kelompok Islam yang menolak non-muslim dalam menjalankan roda pemerintahan Indonesia.
Demikian penjelasan terkait kisah Khalifah Muawiyah menikahi perempuan non muslim. Semoga bermanfaat.
Tulisan ini pernah diterbitkan di Bincangsyariah.com.
1 Comment