BincangMuslimah.Com – Imam Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menjelaskan bahwasanya tetangga itu berhak atas segala sesuatu yang menjadi hak seluruh muslim.
Dalam Islam, status tetangga mempunyai hak yang sedikit lebih dari lainnya, bahkan tetangga non muslim mempunyai hak dalam kapasitas sebagai tetangga atau untuk menegakkan hak bertetangga. Dalam kitabnya, Imam Ghazali kemudian menukil hadis berikut ini
عَن رسول الله -عليه الصلاة والسلام- أنه قال: (الجيرانُ ثلاثةٌ: جارٌ له حقٌّ واحدٌ وهو أدنَى الجيرانِ حقًّا، وجارٌ له حقَّان، وجارٌ له ثلاثةُ حقوقٍ وهو أفضلُ الجيرانِ حقًّا؛ فأمَّا الجارُ الَّذي له حقٌّ واحدٌ فالجارُ المُشرِكُ لا رحِمَ له وله حقَّ الجِوارِ، وأمَّا الَّذي له حقَّان فالجارُ المُسلمُ لا رحِم له وله حقُّ الإسلامِ وحقُّ الجِوارِ، وأمَّا الَّذي له ثلاثةُ حقوقٍ فجارٌ مسلمٌ ذو رحِمٍ له حقُّ الإسلامِ وحقُّ الجوارِ وحقُّ الرَّحِمِ، وأدنَى حقِّ الجِوارِ ألَّا تُؤذيَ جارَك بقُتارِ قِدرِك إلَّا أن تقدَحَ له منها)
Artinya: Rasulullah saw. bersabda, “Tetangga ada tiga macam, yaitu: 1) tetangga yang mempunyai satu hak, itu hak tetangga paling dasar. 2) Tetangga yang mempunyai dua hak dan 3) tetangga yang mempunyai tiga hak yaitu tetangga yang memiliki hak paling utama. Tetangga yang mempunyai satu hak adalah non muslim yang bukan kerabat ia hanya mendapat hak tetangga saja. Tetangga yang punya dua hak adalah tetangga muslim ia mendapatkan hak sebagai tetangga dan hak sebagai muslim. Tetangga yang mempunyai tiga hak ialah tetangga muslim yang masih kerabat, ia mendapatkan hak sebagai tetangga, sebagai muslim dan sebagai kerabat. Termasuk Hak tetangga yang paling dasar adalah jangan sampai engkau menyakiti tetanggamu dengan bau harum pancimu kecuali engkau memberinya sebagian darinya” (HR. Abu Nu’aim)
Dalam kitab Takhrij Ahaadist Ihya ‘Ulumuddin, Mustadha Az-Zabidi menjelaskan bahwa menurut Imam al-Iraqi hadis ini dhaif dan ditemukan dalam beberapa riwayat di antaranya dalam kitab Makarimi al-Akhlaq karya al-Kharaithi, kitab al-Kamil karya Ibn ‘Adi.
Selain itu hadis ini diriwayatkan juga oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya, dimana kandungan hadis ini termasuk dalam fadhail al-A’mal, maksudnya adalah hal yang dianjurkan syariat untuk diamalkan. Menurut Imam Nawawi dalam kitab al-Adzkar, boleh mengamalkan hadis dhaif dalam fadhail al-a’mal. Apalagi jika kandungan hadis tersebut tidak bertentangan dengan hadis shahih lainnya.
Seperti dalam hadis lainnya yang disebutkan oleh Imam Ghazali dari riwayat berikut ini
قال مجاهد كنت عند عبد الله بن عمر رضي الله عنهما وغلام له يسلخ شاة فقال يا غلام إذا سلخت فابدأ بجارنا اليهودي حتى قال ذلك مراراً فقال له كم تقول هذا فقال إن رسول الله – صلّى الله عليه وسلم – لم يزل يوصينا بالجار حتى حسبنا أنَّهُ سيورِّثُهُ
Artinya: Mujahid berkata, “Aku berada disamping Abdullah bin Umar, sedangkan seorang hamba sahayanya menguliti kambing miliknya. Lalu ia berkata: “Hai nak, apabila kamu telah selesai menguliti, dahulukan tetangga kita yang Yahudi”, sehingga ia berkata begitu berulang-ulang. Lalu anak itu berkata: “Berapa kali tuan berkata begitu pada saya?” Lalu ia berkata: “Sesungguhnya Rasulullah Saw selalu berwasiat kepada kami tentang tetangga sehingga kami mengira bahwa tetangga termasuk dalam kelompok yang berhak menerima harta waris..” (HR. Abu Daud)
Menurut Imam al-‘Iraqi, hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Imam Tirmidzi tersebut hasan gharib. Berdasarkan hadis ini pula, para ulama berpendapat bahwa boleh memberikan tetangga Yahudi dan Nasrani hewan kurban yang kita sembelih sebagai bentuk muamalah yang baik.
Apa Hak Tetangga yang Wajib Kita Tunaikan?
Hak tetangga yang paling dasar yaitu bersikap baik dan tidak menyakiti mereka. Rasulullah melarang seseorang menyakiti tetangga bahkan menjadikan sifat itu sebagai tanda dari kurangnya iman seseorang. Sebagaimana dalam hadis riwayat Imam Bukhari, Rasulullah bersabda,
فقال -عليه الصلاة والسلام: (واللَّه لا يؤمِنُ، واللَّه لا يؤمنُ، واللَّه لا يؤمنُ. قيلَ: ومن يا رسولَ اللَّه؟ قالَ: الَّذي لا يأمنُ جارُه بوائقَه
Rasulullah Saw bersabda, “Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman.” Beliau ditanya (oleh seorang sahabat),”Siapa gerangan wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Yang tetangganya tidak aman dari keburukan-keburukannya.” (HR. Bukhari)
Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menyebutkan bahwa maksud dari keburukan disini diartikan dari kata bawaaiq yaitu bentuk plural dari kata baaiqah yang artinya adalah kelicikan-kelicikan yang dapat merusak dengan tiba-tiba.
Dalam hadis ini, Rasul sampai mengulang kalimat sumpah hingga tiga kali secara tegas tentang alpanya keimanan seseorang jika sampai berbuat buruk pada tetangganya. Kecaman ini dalam riwayat Imam Ahmad dan Imam Malik disebutkan dengan tambahan redaksi laa yadkhul al-Jannah, tidak akan masuk surga.
Setiap tetangga berhak diperlakukan baik oleh tetangganya, dan sebagai tetangga kita wajib memperlakukan tetangga kita dengan baik. Inilah yang dimaksud sebagai hak dan kewajiban bertetangga menurut Imam Ghazali.
Dari hadis-hadis serta penjelasan ulama yang telah disebutkan di atas, dapat kita simpulkan bahwa serendah-rendahnya menunaikan hak tetangga adalah dengan berbuat baik dan tidak menyakitinya. Tidak ada perbedaan, baik itu kepada muslim ataupun non muslim. Wallahu’alam.