BincangMuslimah.Com – Sebagai muslim yang diwajibkan oleh Allah untuk melaksanakan shalat lima waktu, kita harus mengetahui betul aturan-aturan pelaksanannya. Selain mengetahui dan memahami syarat serta rukun shalat, hal yang perlu diketahui dan dipahami adalah mengerti ketentuan alternatifnya. Misal, mengenai shalat di kendaraan saat sedang melakukan perjalanan. Sebab tak memenuhi syarat dan rukun yang sempurna, seperti tidak berwudhu, tidak menghadap kiblat, tidak menutup aurat secara sempurna, dan lain-lain. Apakah shalat dalam kendaraan wajib diulang sebab ketidak sempurnaan itu?
Mengenai hal ini, ada beberapa perbedaan pendapat di kalangan ulama, terutama ulama dari empat mazhab yang menjadi rujukan banyak pemeluk Islam. Sebagian mengatakan tidak wajib untuk al-I’adah (mengulang) shalat yang dilakukan di dalam kendaraan sebab tidak menghadap kiblat. Asalkan ia memenuhi syarat lainnya seperti bertayammum dan menutup aurat. Sebagian mengatakan wajib mengulang setelah sampai dan berada pada waktu yang bisa melakukan shalat dengan sempurna.
Abdurrahman Aljaziri, salah seorang ulama Mesir (w. 1941) dalam karyanya, al-Fiqh ‘ala Madzahib al’Arba’ah mengatakan tidak wajib untuk melakukan al-I’adah jika melakukan shalat di dalam kendaraan seperti kapal laut, kereta, bus, maupun pesawat. Asalkan ia memenuhi syarat menutup aurat dan menghilangkan hadas kecil. Adapun yang menjadi tidak sempurnanya shalat, yaitu tidak menghadap kiblat karena pergerakan dan perubahan arah kendaraan menjadi rukhsoh bagi seorang muslim shalat di dalam kendaraan:
وجب عليه أن يدور إلى جهة القبلة حيث دارت فإن عجز عن استقبالها صلى إلى جهة قدرته ويسقط عنه السجود أيضا إذا عجز عنه ومحل كل ذلك إذا خاف خروج الوقت قبل أن تصل السفينة أو القاطرة إلى المكان الذي يصلي فيه صلاة كاملة ولا تجب عليه الإعادة ومثل السفينة القطر البخارية البرية . والطائرات الجوية . ونحوها
Artinya: Wajib baginya (seorang yang shalat di dalam kendaraan) untuk menghadap kiblat saat kendaraan berjalan. Jika ia tak mampu menghadap kiblat, maka shalatlah dengan menghadap ke arah manapun sesuai kemampuannya. Dan gugurlah kewajibannya sujud (secara sempurna) jika sulit melakukannya. Kebolehan tersebut dilakukan saat seseorang takut kehabisan waktu shalat (jika harus menunggu tempat yang sempurna) sebelum ia melaksanakan shalat di kapal laut atau kereta, atau tempat manapun yang tidak bisa melakukan shalat secara sempurna. Dan tidak wajib baginya mengulang shalatnya, baik ia shalat di kapal laut atau pesawat.
Pendapat di atas dipegang oleh ulama dari tiga mazhab, kecuali Mazhab Syafi’i. Artinya, selama bisa memenuhi syarat bersuci dan menutup aurat, maka shalat tidak menghadap kiblat saat di kendaraan menjadi rukhsoh dan tidak perlu mengulang.
Adapun jika syarat yang tak dipenuhi adalah tidak bisa bersuci baik dengan berwudu atau tayammum, maka shalatnya wajib diulang menurut ulama Mazhab Syafi’i dan Hanafi. Sedangkan ulama Mazhab Hanbali dan Maliki tidak mewajibkan untuk melakukan pengulangan dalam shalat. Artinya shalat tanpa bersuci saat di dalam kendaraan telah dianggap sah dan mendapatkan rukshoh, dalam perspektif Mazhab Maliki dan Hanbali.
Demikian perbedaan pendapat dalam hal shalat di kendaraan. Adapun pilihan yang lebih hati-hati adalah pendapat ulama Mazhab Syafi’i untuk mengulang shalat sekalipun hanya tak bisa menghadap kiblat. Jika memenuhi seluruh syarat seperti menutup aurat, bersuci baik wudhu ataupun tayammum, dan menghadap kiblat, maka sah shalatnya dan tidak perlu diulang. Wallahu a’lam bisshowab.