BincangMuslimah.Com – Ketika melangsungkan akad nikah sering kita jumpai pada saat serah-terima nikah, atau kita lebih kenal dengan kata “ijab-qabul” antara wali perempuan dan calon suami yang biasanya disimbolkan dengan “jabat tangan”. Bagaimana jadinya hukum akad nikah tanpa jabat tangan?
Melihat fenomena yang terjadi pada situasi pandemi virus covid-19 silam, pemerintah melarang kita untuk berkomunikasi dengan orang lain kecuali dengan memenuhi protokol kesehatan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Hal ini dilakukan sebagai bentuk tindakan preventif untuk mencegah terjadinya penularan virus yang semakin merebak di negara kita ini.
Perlu diketahui bersama bahwa ulama bersepakat bahwa rukun yang harus dipenuhi dalam akad nikah ada lima, yaitu: suami, istri, wali, dua orang saksi, sighat (redaksi ijab dan kabul).
Syekh Zainuddin al-Malibary di dalam kitabnya Fath al-Mu’in menyebutkan secara khusus bahwa akad nikah mempunyai syarat-syarat,
ﻭﺷﺮﻁ ﻓﻴﻬﺎ ﺇﻳﺠﺎﺏ ﻣﻦ اﻟﻮﻟﻲ ﻭﻫﻮ ﻛﺰﻭﺟﺘﻚ ﺃﻭ ﺃﻧﻜﺤﺘﻚ ﻭﻗﺒﻮﻝ ﻣﺘﺼﻞ ﺑﻪ ﻛﺘﺰﻭﺟﺘﻬﺎ ﺃﻭ ﻧﻜﺤﺘﻬﺎ ﺃﻭ ﻗﺒﻠﺖ ﺃﻭ ﺭﺿﻴﺖ ﻧﻜﺎﺣﻬﺎ
Pertama, penyerahan (ijab) dari wali nikah. Misal “saya nikahkan kamu. Kedua, penerimaan (qabul) secara langsung (tersambung tanpa jeda) dari calon suami, seperti “saya menikahinya”, “saya terima nikahnya” dan “saya rida menikahinya”.
Berjabat tangan atau bersalaman saat pelaksanaan akad nikah antara wali dan dengan mempelai pria adalah untuk menunjukkan makna langsung dari penyerahan (ijab) dan penerimaan (qabul). Meskipun tanpa jabat tangan oleh wali setelah melafalkan ijab nikah yang kemudian segera disusul dengan qabul nikah dari pihak calon suami, maka nikah sudah dikatakan sah. Karena dalam kitab-kitab fikih, baik yang klasik maupun yang kontemporer belum ada ulama yang menjelaskan secara sharih bahwa dalam akad nikah harus dengan jabat tangan.
Artinya, berjabat tangan pada saat akad nikah hanya bersifat tradisi saja. Hukum akad nikah tanpa jabat tangan boleh-boleh saja. Hal ini dikarenakan berjabat tangan adalah tradisi yang bisa saja ditinggalkan karena alasan tertentu.
Di dalam kitab Majmu’ Syarh Al-Muhaddzab, juz 16 hal. 268 Imam Nawawi menyebutkan perihal kebiasaan Rasulullah ketika membaiat,
ﻭﺭﻭﻯ ﺃَﻥَّ ﺭَﺟُﻼً ﺟَﺎءَ ﺇﻟَﻰ اﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﺻَﻠَّﻰ اﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻟﻴﺒﺎﻳﻌﻪ ﻓﺄﺧﺮﺝ ﻳﺪﻩ ﻓﺈﺫا ﻫﻲ ﺟﺬﻣﺎء، ﻓَﻘَﺎﻝَ ﻟَﻪُ اﻟﻨَّﺒِﻲُّ ﺻَﻠَّﻰ اﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺿﻢ ﻳﺪﻙ ﻗﺪ ﺑﺎﻳﻌﺘﻚ، ﻭﻛﺎﻥ ﻣﻦ ﻋﺎﺩﺗﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ اﻟﻤﺼﺎﻓﺤﺔ ﻓﺎﻣﺘﻨﻊ ﻣﻦ ﻣﺼﺎﻓﺤﺘﻪ ﻻﺟﻞ اﻟﺠﺬاﻡ
Telah diriwayatkakan bahwa ada seorang laki-laki yang datang kepada nabi hendak berbaiat. Ternyata pada tangan laki-laki tersebut terdapat penyakit Judzam (kusta). Lalu nabi bersabda, “Masukkan tanganmu. Aku sudah membaiatmu”. Nabi memang memiliki kebiasaan berjabat tangan. Namun, nabi tidak berkenan karena ada penyakit kusta.
Syekh Hasanain Makhluf mufti Mesir dan ulama Al-Azhar pernah berfatwa tentang perihal menghindar berjabat tangan sebab penyakit menular dan virus. Berikut redaksinya,
ﺳﺄﻟﻨﻰ ﻛﺜﻴﺮ ﻣﻦ اﻟﻨﺎﺱ ﺑﻤﻨﺎﺳﺒﺔ ﺗﻔﺸﻰ ﻭﺑﺎء اﻟﻬﻴﻀﺔ ﻓﻰ اﻟﺒﻼﺩ ﻋﻦ اﻟﺤﻜﻢ اﻟﺸﺮﻋﻰ ﻓﻰ ﺗﺮﻙ اﻟﻤﺼﺎﻓﺤﺔ ﺑﺎﻟﻴﺪ ﻋﻨﺪ اﻟﻠﻘﺎء – ﻓﺄﺟﺒﺘﻬﻢ ﺑﺄﻥ ﺩﻓﻊ اﻟﻀﺮﺭ ﻭﺩﺭء اﻟﺨﻄﺮ ﻋﻦ اﻷﻧﻔﺲ ﻭاﺟﺐ ﻟﻘﻮﻟﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ {ﻭﻻ ﺗﻠﻘﻮا ﺑﺄﻳﺪﻳﻜﻢ ﺇﻟﻰ اﻟﺘﻬﻠﻜﺔ}
Telah banyak orang yang bertanya kepadaku mengenai penularan wabah virus yang banyak terjadi di beberapa negara terkait hukum meninggalkan jabat tangan saat bertemu. Kemudian aku menjawab bahwa menghindarkan keburukan pada jiwa adalah wajib hukumnya, karena berdasarkan firman Allah: “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke jurang kebinasaan..”
ﻭﻛﻞ ﻣﺎ ﻛﺎﻥ ﻭﺳﻴﻠﺔ ﺇﻟﻰ ﺫﻟﻚ ﻓﻬﻮ ﻭاﺟﺐ ﺷﺮﻋﺎ ﻭﻣﻦ ﺫﻟﻚ ﺗﺮﻙ اﻟﻤﺼﺎﻓﺤﺔ ﺑﺎﻷﻳﺪﻯ ﻋﻨﺪ اﻟﻠﻘﺎء ﻭﻋﻘﺐ اﻟﺘﺴﻠﻴﻢ ﻣﻦ اﻟﺼﻼﺓ ﻛﻤﺎ ﻳﻔﻌﻞ ﻛﺜﻴﺮ ﻣﻦ اﻟﻤﺼﻠﻴﻦ، ﻓﻘﺪ ﺗﻜﻮﻥ اﻟﻴﺪ ﻣﻠﻮﺛﺔ ﻭﻗﺪ ﺗﻨﻘﻞ اﻟﻌﺪﻭﻯ ﻭﻳﻨﺘﺸﺮ اﻟﻮﺑﺎء ﺑﻮاﺳﻄﺘﻬﺎ، ﻓﻤﻦ اﻟﻮاﺟﺐ ﺷﺮﻋﺎ اﺗﻘﺎء ﺫﻟﻚ ﺑﺘﺮﻙ اﻟﻤﺼﺎﻓﺤﺔ ﺻﻴﺎﻧﺔ ﻟﻷﺭﻭاﺡ ﻭﺃﺧﺬا ﺑﺄﺣﺪ ﺃﺳﺒﺎﺏ اﻟﺴﻼﻣﺔ ﻭاﻟﻨﺠﺎﺓ
Setiap hal yang menjadi perantara pada kebinasaan maka wajib dihindari. Diantaranya adalah berjabat tangan saat bertemu atau selepas shalat. Terkadang tangan masih masih dalam keadaan tidak steril atau kotor, kemudian menular dan menyebarkan wabah penyakit karena berjabat tangan. Maka yang wajib adalah menghindari penyebaran itu dengan cara meninggalkan berjabat tangan demi keselamatan jiwa dan sebagai tindakan preventif (mencegah). (Fatawi Al-Azhar, juz 7 hal. 240)
Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam..
4 Comments