BincangMuslimah.Com – Tindikan pada telinga dan pemakaian anting di telinga merupakan salah satu pembeda antara perempaun dan laki-laki. Jika dipertanyakan, siapakah perempuan pelopor pertama yang menindik telinganya dan memakaikannya anting? Jawabannya adalah Hajar, istri Nabi Ibarahim. Tradisi tersebut sudah lama berkembang di hampir mayoritas perempuan Muslimah.
Dalam kitab al Awail, Abu Hilal al Askar menceritakan bahwa Hajar adalah perempuan pertama yang melakukan tradisi tersebut. Diriwayatkan dari Abdullah bin Amar bin al-‘Ash, dikisahkan bahwa Nabi Ibrahim AS konon sangat menghormati Hajar. Sikap yang dinilai berat sebelah tersebut membuat Sarah, istri pertama Nabi Ibrahim keberatan. “Apakah engkau akan mencontohkan yang seperti ini untuk umatmu (wahai Ibrahim)?” kata Sarah. Sebagai bentuk protes, Sarah lantas mencukur rambutnya dan menjadikannya tiga bagian. Nabi Ibrahim lantas khawatir langkah Sarah tersebut akan diikuti Hajar.
Kemudian, Nabi Ibrahim menyarankan aksi lain yang bisa membebaskan sumpah Hajar, tanpa harus mengikuti jejak memotong rambut sebagaimana dicontohkan Sarah. “Lubangilah daun telinga bagian bawah dari Hajar,” kata Nabi Ibrahim. Perintah tersebutpun dilaksanakan oleh Sarah kepada Hajar dan memasangkan dua anting-anting. Lalu Sarah berkata,”Tidaklah aku melihat aksi ini (melubangi dan memasang anting-anting kecuali membuat Hajar tampak lebih cantik.”
Tradisi menindik telinga dan memakaikan anting untuk perempuan masih banyak dilakukan hingga tahun millennial ini. Para ulama menyatakan bahwa hukum menindik telinga dan memakai anting bagi anak perempuan dibolehkan. Hal tersebut ditunjukan oleh adanya iqrar atau pengakuan dari Rasulullah terhadap tradisi perempuan tersebut. Dari Jabir bin ‘Abdillah menceritakan bahwa Rasulullah bersabda:
فجعلْنَ يتصدقْنَ من حليِّهِنَّ . يُلقِين في ثوبِ بلالٍ من أقرطتهِنَّ وخواتمهِنَّ
“Maka para wanita menyedekahkan perhiasan-perhiasannya, mereka meletakkan anting-anting dan cincinnya pada baju Bilal” (HR. Al Bukhari Muslim)
Keterangan tentang kebolehan bagi perempuan untuk menindik telinga dan memakai anting juga diperjelas oleh Ibn Qayyim dalam Tuhfatul Maudud. Beliau mengatakan bahwa “Cukuplah perbuatan dan persetujuan (para sahabat) akan hal tersebut sebagai dalil diperbolehkannya masalah ini. Kalau hal itu dilarang, tentu dijelaskan dalam Al Qur’an dan As Sunnah”. Artinya, jika memang penindikan telinga pada perempuan dan memakai anting itu terlarang, tentu Allah akan menghadirkan firman-Nya yang akan mengabarkan akan keharamannya. Pandangan ini berlandaskan pada firman Allah yang berbunyi:
وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِلَّ قَوْمًا بَعْدَ إِذْ هَدَاهُمْ حَتَّىٰ يُبَيِّنَ لَهُمْ مَا يَتَّقُونَ ۚ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka sehingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Syeikh Ibnu Utsaimin juga berpendapat tentang hal tersebut dalam fatwanya Fatawa dan Rasa’il Syeikh Ibnu Utsaimin yang menyatakan bahwa menindik telinga bagi anak perempuan adalah dibolehkan (laa ba’sa bihi) karena hal tersebut sebagai perantara untuk memakai perhiasan yang diperbolehkan.
Alhasil, tidak ada larangan bagi perempuan untuk menindik telinga dan memakai anting di telinganya. Pembolehan tersebut cukup berlaku untuk perempuan, tidak bagi kaum laki-laki. Karena menurut Imam Ahmad, laki-laki hukumnya dibenci untuk melakukan tradisi tersebut. Laki-laki tidak membutuhkan perhiasan, sehingga menindik telinga adalah bukan kebutuhan baginya. Berbeda dengan kaum perempuan.