BincangMuslimah- Isu Kekerasan di Pesantren semakin masif dan ramai di atmosfer pemberitaan. Telaah mendalam terkait sebab hingga solusi dari problematika ini tak mundur dari meja ke meja diskusi. Bersamaan pula dengan Hari Santri Nasional 22 Oktober 2024, banyak pihak yang bersinergi dan mengusung harapannya untuk mencegah berkembangnya kekerasan di lembaga keagamaan.
Maka dari itu, tim Bincang Muslimah mengadakan dialog eksklusif dengan Ibu Ciput Eka Purwianti, selaku Asisten Deputi Perlindungan Khusus Anak (DPKA) dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA). Hal ini sebagai bentuk keikutsertaan masyarakat dan media dalam mewujudkan pesantren ramah anak dan pencegahan segala bentuk kekerasan terutama pada instansi keagamaan. Berikut hasil wawancara khusus bersama beliau.
Bu, Apakah Kementerian PPPA mempunyai data kasus santri korban kekerasan seksual di pesantren?
Terdapat dua jenis data yang masuk kepada kami. Pertama, data pengaduan maupun penanganan korban di seluruh Indonesia melalui SIMFONI-PPA. Yang mana belum ada pemilahan data secara spesifik perihal kekerasan di Pesantren. Namun lokus yang disebutkan antara lain di rumah, sekolah, tempat pendidikan maupun tempat publik.
Kedua, adalah melalui Hotline SAPA 129. Di mana terdapat laporan dan penanganan 14 kasus kekerasan di Pesantren oleh tim KPPPA, dan totalnya sebanyak 93 korban untuk yang terlapor.
Bagaimana peran KementerianPPPA dalam menangani kasus kekerasan yang menimpa santri? Sudahkah ada regulasi atau protokol khusus yang diterapkan? Dan apakah ada upaya rehabilitasi bagi santri yang menjadi korban?
Peraturan dasar telah memastikan adanya pemenuhan hak-hak anak dan perlindungannya. Sebagaimana yang diatur dalam UU Perlindungan anak yang telah diperbaharui dua kali.
Amandemen pertama Undang-Undang 35 tahun 2014 pasal 59, bahwa terdapat 15 kategori anak yang memerlukan perlindungan khusus, di mana diantaranya adalah anak kroban kekerasan fisik, psikis, maupun penelantaran. Anak korban eksploitasi ekonomi dan seksual, juga 12 lainnya termasuk penyandang disabilitas.
Di dalamnya juga dilengkapi hukum acara bagi pelaku, ditetapkan hukuman minimalnya, denda, kepastian hukum dan termasuk hak restitusi bagi anak korban tindak pidana.
Kemudian ditambahkan oleh Undang-Undang 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang membahas perlindungan anak dan hak-haknya untuk berkembang, martabat kemanusiaan dan status kewarganegaraan. Disebutkan juga 9 bentuk kekerasan seksual dan lokasi-lokasi terjadinya kekerasan tersebut.
Setelah itu, menjadi lengkap juga dengan adanya peraturan operasional lainnya. Salah satunya terdapat Dana Alokasi Khusus (DAK) kepada 250 Kabupaten Kota, minimal 400-800 juta diberikan ke Pemerintah Daerah, yang menunjukkan komitmen kuat untuk memberikan perlindungan pada anak. Termasuk upaya pencegahan dan penguatan kapasitas pemerintah daerah sendiri dalam menyediakan layanan itu.
Kemudian terkait mekanisme, selain otoritas atau otonomi pemerintah dari kabupaten kota untuk melaksanakan layanan itu, terdapat juga mekanisme rujukan. Jadi, DAK yang ada di Provinsi itu untuk melayani rujukan dari Kabupaten Kota.
Sedangkan KPPPA adalah sebagai rujukan akhir, yang siap dengan segala sumber daya termasuk menyediakan rumah aman jika diperlukan korban dan rehabilitasi yang diperlukan. Juga sebagai koordinasi penanganan kasus lintas provinsi atau negara, yang memberikan fasilitas anggaran, penasehat hukum, tes DNA dan sebagainya apabila dari pemerintah kota belum mampu memfasilitasinya.
Berdasarkan penanganan kasus, modus apa saja yang dilakukan oleh pelaku dalam menjerat korban?
Pertama perihal kekerasan fisik atau perundungan yang bersinggungan dengan budaya senioritas. Sebetulnya memang niat baik untuk membentuk bonding antar siswa, namun terjadi penyalahgunaan kekuasaan, kemudian terbentuklah relasi kuasa yang tidak setara.
Kemudian pengaruh lainnya, pelaku memiliki permasalahan dalam pengendalian emosi. Atau terdapat kemungkinan pelaku adalah korban pada masa lalu, yang belum pernah melapor dan mendapatkan rehabilitasi. Sehingga terdapat motif balas dendam atau salah pemahaman bahwa perilaku tersebut adalah hal yang wajar dilakukan menurutnya.
Kedua perihal kekerasan seksual juga bersumber dari relasi kuasa dan kepatuhan penuh kepada pelaku. Juga dari mispersepsi mitos-mitos yang dilakukan untuk grooming korban.
Bagaimana Kementerian PPPA memastikan hak-hak korban terpenuhi, terutama santri yang masih di bawah umur?
Dikembalikan ke Undang-Undang pengasuhan bahwa mereka masih menjadi tanggung jawab orang tua atau wali. Pada situasi tersebut maka para pekerja sosial atau petugas layanan dari daerah akan melakukan asesmen dan mendengarkan pandangan anak.
Maka langkah pertama adalah reunifikasi anak dengan orang tua atau walinya, jika anak berada di daerah luar di mana pesantren itu berada. Atau dipulangkan ke rumah.
Perihal penanganan proses hukum, dapat melakukan pemeriksaan anak secara daring (tidak harus berada di lokasi kejadian). Setelah mengevakuasi anak, asesmen kemudian rehabilitasi bisa dilakukan di kota asal anak. Supaya masih mendapatkan dukungan penuh dari orang tua.
Apa saja tantangan terbesar yang dihadapi Kementerian PPPA dalam menangani dan mencegah kekerasan di lingkungan pesantren? Dan bagaimana strategi untuk mengatasi tantangan tersebut?
Dalam penanganan kasus ini tentu akan banyak tantangan. Terutama penerapan sistem yang sudah ada. Untuk itu, kami akan mengajak banyak pihak untuk aware atau sadar perihal pendidikan anak. Salah satunya berkolaborasi dengan 7 kementerian lembaga (Kemendikbudristek, Kementerian Agama, dan lain-lain). Juga menggandeng para tokoh agama yang berpengaruh di beberapa daerah, dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI), hingga Komisi Perempuan, Keluarga, dan Anak dalam penerapan pengasuhan positif.
Bagaimana Kementerian KPPPA melibatkan masyarakat, terutama komunitas pesantren dan tokoh agama, dalam menciptakan lingkungan yang aman dan bebas dari kekerasan seksual bagi santri?
Kami berharap para pemilik pesantren, guru, pendamping santri atau wali, hingga santri itu sendiri, bersama-sama memahami hak anak dan pengasuhannya. Pesantren yang menerapkan jarak santri dan orang tuanya, agar memastikan anak bisa patuh, mandiri atau lainnya. Tetapi hal ini tidak setara dengan kerugian anak yang nantinya kehilangan kelekatan dengan orang tuanya sendiri.
Kami mengapresiasi keputusan Dirjen Pendidikan Islam yang mengeluarkan keputusan terkait pengasuhan ramah anak di lingkungan pesantren sebagai fondasi bagi warga pesantren agar digunakan bersama-sama. Kemudian semua pihak hendaknya berpartisipasi dan memahami peran masing-masing dalam megimplementasikannya.
Harapan kedepan, pesantren di Indonesia menjadi ramah anak. Tidak hanya dari segi fasilitasnya saja tetapi juga pola pengasuhan dan disiplin pada anak. Dan menyelipkan forum-forum partisipasi anak untuk selanjutnya mendengarkan pandangan dari anak.
Kolaborasi ini juga harus memperhatikan masing-masing pihak itu memiliki kecakapan untuk memahami, bagaimana First Psychological Aid atau pertolongan psikologis pertama. Untuk merangkul anak dan membuka kelekatan komunikasi dengannya. Tidak semua bisa memahami mana saja anak yang memiliki pengelolaan emosi yang terganggu. Karena dia perpotensi melakukan kekerasan pada temannya
Dalam hal ini, pesantren bisa berkolaborasi dengan kampus setempat yang memiliki jurusan Psikologi, ataupun bermitra dengan lembaga masyarakat atau pemerintah lainnya. Dan terkait bagaimana kedepannya, semua pondok Pesantren berafiliasi dengan pendidikan formal. Karena seperti Pesantren Salafiyah, akan menjadikan anak berstatus tidak sekolah padahal mereka di sana juga pasti mendapatkan pendidikan.
Terakhir, anak itu masa proses untuk belajar mana yang benar dan salah. Maka dari itu, jangan sampai ia tidak mendapat hak pendidikan dan pengasuhan. Tak hanya dari fasilitasnya, tetapi juga pemahaman dan pola pengasuhannya. Kemudian, tidak bisa melakukan hal ini sendiri, tetapi harus melalui sinergi atau kesalingan dari banyak pihak sekelilingnya, pungkas Bu Ciput.
1 Comment