BincangMuslimah.Com- Puasa ramadhan yang belum terlaksana pada ramadhan sebelumnya akan tetap terhitung menjadi hutang. Sehingga seseorang memiliki kewajiban untuk qada atau mengganti. Meski terdapat beberapa kelompok yang mendapat rukhsah atau keringanan, kelompok tersebut juga masih memiliki syarat dan kewajiban dalam menggantinya. Namun akan terdapat ketentuan mengganti puasa saja atau dengan membayar fidyah.
Sebagaimana Allah telah menjabarkan dalam firman-Nya surat Al-Baqarah ayat 184:
…فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَۗ وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍۗ َ..…
“.…Maka siapa di antara kamu yang sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin….”
Kemudian terdapat polemik yang muncul saat ini perihal bagaimana jika sudah bertemu ramadhan selanjutnya tapi masih memiliki qada puasa tahun lalu yang belum terlaksana? Apakah hanya mengganti puasa saja, atau dengan membayar fidyah sesuai ketentuan di Al-Qur’an ?
Kelompok Yang Melaksanakan Qada dan Fidyah
Dalam mengganti hutang puasa, perlu adanya pertimbangan antara illat hukum dengan kondisi dan konsekuensi yang ada pada suatu orang atau kelompok. Hal ini akan mempengaruhi hasil hukum bagi seseorang tersebut akan hanya mengganti dengan puasa saja, atau dengan kewajiban membayar fidyah. Beberapa dari mereka terbagi menjadi dua kelompok:
Pertama, orang yang memiliki udzur syar’i (halangan)
Kelompok ini adalah orang-orang yang diperbolehkan untuk tidak berpuasa dengan halangan yang diperbolehkan dalam hukum Islam. Maka kelompok ini masih harus mengganti hutang puasa dengan “mengqada puasanya saja, tidak perlu membayar fidyah”.
Allah telah menyebutkan beberapa di antara mereka dalam surat Al-Baqarah ayat 184. Kemudian Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani merincikannya kembali dalam Kasyifatussaja:“Enam orang berikut ini diperbolehkan berbuka puasa di siang hari bulan Ramadhan. Mereka adalah pertama musafir, kedua orang sakit, ketiga orang jompo (tua yang tak berdaya), keempat wanita hamil (sekalipun hamil karena zina atau jimak syubhat [kendati wanita ini berjimak dengan selain manusia tetapi ma’shum])”.
Kedua, orang yang tidak memiliki udzur syar’i
Kelompok yang kedua adalah orang-orang yang tidak memiliki halangan mendesak dalam kacamata hukum islam. Salah satunya adalah orang yang menunda atau menangguhkan mengganti puasa hingga bertemu lagi dengan ramadhan selanjutnya. Maka kelompok ini wajib “menqada puasa dan sekaligus menunaikan fidyah”. beberapa di antaranya juga seperti wanita hamil dan menyusui, yang tidak berpuasa karena khawatir akan anaknya saja. Maka ia tetap mengganti puasa dan membayarkan fidyah, karena sejatinya ia sendiri masih mampu melaksanakan puasa.
Dalam hal ini yang perlu menjadi highlight adalah fidyah menjadi bentuk sanksi dan tanggung jawab baginya. Karena tidak melaksanakan puasa padahal tidak sedang ada hal yang menyulitkan dari diri sendiri.
Seperti misalnya ibu yang masih dalam masa kehamilan dan harus menyusui berturut-turut. Juga sakit kronis berkepanjangan, sakit yang tidak ada harapan sembuh dan lain sebagainya. Sehingga ia tidak memiliki kesempatan berpuasa hingga tiba Ramadhan selanjutnya.
Dalam kitab Fathul Muin, Syekh Zainuddin Al-Malibari menjelaskan bahwa seseorang yang tidak sempat menqada puasa hingga bertemu ramadhan berikutnya, maka hukumnya dirincikan (tafsil). Jika tanpa adanya udzur maka wajib untuk qadla’ puasa dan membayar fidyah: “Wajib bagi orang yang menunda qadha Ramadhan hingga datang Ramadhan berikutnya tanpa ada udzur yang mengharuskan penundaan itu terjadi, sebagaimana orang yang masih mempunyai waktu senggang dari sakit dan bepergian yang cukup untuk melaksanakan qadhanya, membayar fidyah satu mud untuk satu hari qadha dari bulan Ramadhan setiap tahun. Lalu fidyah dilipatkan sejumlah berapa kali Ramadhan terlewati. Demikian menurut pendapat yang mu’tamad.”
Ulama’ Empat Madzhab tentang Orang Yang Menunda Qada
Jumhur ulama mengatakan orang yang demikian hendaknya mengganti puasanya dan membayar fidyah sesuai dengan jumlah hari ia tidak berpuasa. Namun masih terdapat perbedaan pendapat di kalangan Imam al-Arba’ah:
Pendapat Madzhab Hanafiyah adalah seorang yang menunda qada hingga telah masuk ke ramadhan berikutnya, tidak wajib membayar fidyah dan hanya qadha” puasanya saja. (al-Mabsuth, jilid 3).
Pendapat Madzhab Malikiyah adalah wajib menqadla’ hari-hari yang ditinggalkan puasanya dan memberi makan orang miskin setiap hari sebanyak 1 mud, sesuai dengan hari-hari puasa yang ditinggalkan (Bidayatul Mujtahid, jilid 1).
Madzhab Syafi’iyah berpendapat orang yang tidak membayar puasa hingga masuk ramadhan selanjutnya dengan tanpa udzur, maka orang tersebut wajib menqada puasanya dan membayar fidyah sesuai jumlah hari yang ditinggalkan.namun, terlebih dahulu berpuasa untuk ramadhan kedua baru menqada untuk ramadhan yang lalu (Raudlatut Thalibin, jilid 2).
Pendapat Madzhab Hanabilah adalah wajib qada bagi orang yang mengakhirkan qada bukan karena udzur hingga melewati dua ramadhan (Al-Mughni, jilid 4).
Dari sini kita mampu menarik kesimpulan bahwa orang yang menunda atau belum sempat mengganti puasanya hingga tiba ramadhan berikutnya, “dengan tidak adanya alasan syar’i atau mendesak”. Maka ia memiliki kewajiban menqada puasanya sekaligus membayar fidyah.
Demikian referensi pendapat dari para Ulama yang dapat menjadi pedoman bagi kita. Hal ini untuk mengupayakan yang terbaik dalam pemenuhan ibadah yang kita jalankan. Hingga sampai pada Ridho Allah SWT, Amiin.
Rekomendasi

10 Comments