BincangMuslimah.Com- “Terkadang kita hanya butuh satu alasan kecil untuk menunda bunuh diri. Satu piring mie ayam, mungkin.”
Ale, seorang laki-laki bertubuh tambun di usia matang merasa jika hidup yang ia jalani selama ini tidak bermakna. Pria besar itu berpikir jika hidupnya tiada guna dan jauh dari sentuhan hangat tali kasih. Setiap hari, bak kerbau yang ditautkan pedati, hari-harinya hanya diisi dengan bekerja lalu pulang ke apartemen yang suram dan penuh dengan puntung rokok.
Batinnya bergumam jika tiada yang peduli dengan keberadaannya. Tidak ada yang mau dekat dan akrab dengan Ale yang punya perawakan tinggi dan besar. Orang tuanya pun jarang menanyakan kabar. Sekalinya bertelepon, hanya ada desakan menikah dan membandingkan dengan ‘anak tetangga’ yang sudah memiliki pencapaian ini dan itu.
Kisah Sederhana yang Menghantam
Merasa tidak pernah dicinta dan buang-buang massa, terbersitlah satu akal gila jelang ulang tahunnya. Ale, pria besar—secara harfiah dan batiniah— itu memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Bukan karena ia putus cinta, atau gagal dalam karier. Tapi karena semuanya terasa kosong. Seperti hidup ini tak lagi layak untuk ditunggu pagi harinya.
Tekad Ale sudah bulat, dalam 24 jam ke depan ia akan menghabisi nyawanya. Ale sudah mengambil obat yang memang diresepkan oleh psikolog langganan. Bedanya, ia mengambil obat tersebut dalam jumlah banyak. Tak akan ada yang curiga, karena ia beralasan obat ini digunakan untuk stok berminggu-minggu lamanya, Ale berbohong jika ia akan pulang ke kampung halaman.
Rencana tuntas, tinggal eksekusi. Namun, yang menarik Ale menunda kematiannya karena ia ingin makan mie ayam langganan favoritnya untuk terakhir kali. Ketika dihampiri, mie ayam tersebut tutup, penjualnya pun tak tampak walau sudah ditunggu beberapa saat. Rasa kecewa sekaligus geram pun muncul menjadi satu di dada Ale.
Ia pun bertekad tidak akan mencabut nyawanya sampai menyantap seporsi mie ayam langganan tersebut. Lantas bagaimana akhir kisah hidup Ale? Untuk mengetahui lebih lanjut, alangkah eloknya jika membaca sendiri buku ini.
Novel “Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati” karya Brian Khrisna menawarkan kisah yang sederhana namun menghantam: tentang seorang pria yang memutuskan untuk bunuh diri, tapi menundanya demi semangkuk mie ayam.
Dengan alur yang berlangsung dalam kurun waktu 24 jam, novel ini mengajak pembaca menyelami sudut pandang Ale, tokoh utama berusia 37 tahun, bertubuh besar, yang mengalami depresi akut. Ia merasa hidupnya stagnan, sunyi, dan kehilangan makna. Dalam kondisi mental yang goyah, Ale memutuskan akan mengakhiri hidupnya.
Namun sebelum itu, ia ingin melakukan satu hal, yaitu menyantap mie ayam favoritnya. Hal sepele itu menjadi momentum reflektif yang justru menyeretnya dalam serangkaian keputusan tak terduga dalam sehari penuh.
Kesehatan Mental dalam Balutan Cerita Ringan
Dalam buku ini, Brian Khrisna tidak berpretensi menggurui atau memberikan solusi instan terhadap masalah kesehatan mental. Penggunaan narasi dengan bahasa sehari-hari yang ringan, penuh humor gelap, dan kerap kali satir. Meski demikian, pesan yang ingin disampaikan tetap terasa kuat dan relevan.
Mengangkat tema besar depresi penyakit mental yang sering kali tak terlihat, namun nyata dampaknya. Melalui tokoh Ale, memperlihatkan kepada pembaca bagaimana seseorang yang tampak “baik-baik saja” bisa menyimpan gejolak batin yang dalam.
Di sisi lain, ini juga seakan menarik kita untuk berhenti sejenak dari hiruk pikuk dan kebisingan. Maka tanpa sadar, setelah itu kita bakal menemukan alasan-alasan kecil untuk bertahan hidup, meski hanya sesederhana semangkuk mie ayam hangat.
Karakter dan Konflik yang Dekat dengan Realitas
Ale bukan sosok heroik. Ia tidak punya kisah besar. Justru karena itulah, tokohnya terasa sangat dekat dan manusiawi. Ia mewakili banyak orang yang menjalani hidup dalam kelelahan sebab terus memendam.
Konflik dalam buku ini tidak banyak, tapi bersifat internal dan kontemplatif. Dialog yang muncul juga minim drama, lebih banyak berupa monolog dan pengamatan diri—hal yang membuat pembaca serasa duduk diam di kepala tokohnya.
Meski sebagian pembaca mungkin mengharapkan perkembangan cerita yang lebih eksplosif, justru ketenangan itulah yang menjadi kekuatan novel ini. Ia tidak mencoba menjadi sensasional, melainkan menyentuh lewat kejujuran dan kepelikan hidup dengan kemasan sederhana.
Seiring meningkatnya kesadaran publik terhadap isu kesehatan mental, Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati menjadi bacaan yang relevan. Tidak hanya untuk mereka yang tengah berada dalam fase terendah hidup, tapi juga bagi siapa pun yang ingin memahami bahwa kesehatan mental bukan sekadar soal “kuat” atau “lemah.”
Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati adalah novel pendek yang bisa dibaca dalam sekali duduk, namun meninggalkan kesan yang mendalam. Dengan gaya bertutur yang personal dan jujur, Brian Khrisna berhasil menyampaikan pesan penting: bahwa kadang, satu piring makanan favorit bisa menjadi alasan untuk tetap hidup satu hari lagi.
1 Comment