BincangMuslimah.Com- Seorang anak perempuan berusia sekitar tujuh tahun ditemukan dalam kondisi lemah dan penuh luka di kawasan Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Rabu (11/6/2025) pagi. Anak tersebut diduga menjadi korban kekerasan fisik yang dilakukan oleh ayah kandungnya, sebelum akhirnya ditinggalkan di lokasi pasar pada dini hari.
Penemuan anak ini berawal dari laporan warga dan petugas Satpol PP yang tengah berpatroli sekitar pukul 07.20 WIB. Anak itu ditemukan dalam keadaan tertidur di atas selembar kardus, dengan kondisi tubuh yang sangat kurus, luka di beberapa bagian tubuh, dan tampak kelelahan berat.
Setelah proses evakuasi oleh petugas, lalu mengevakuasi korban ke Puskesmas Cipulir II, sebelum merujuknya ke RSUD Kebayoran Lama dan akhirnya mendapat perawatan lebih lanjut di RS Polri Kramat Jati. Pemeriksaan medis menunjukkan bahwa anak tersebut mengalami malnutrisi berat, luka lebam, serta luka bakar akibat kekerasan benda panas.
Bukan Pelindung dari Kekerasan, Orang Tua Justru Jadi Pembuat Teror
Anak seharusnya merasa aman berada di pelukan orang tua, namun fakta bicara sebaliknya. Dilansir dari website Nu Online, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencatat pada 2024 ada 28.831 kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia.
Data yang berasal dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI-PPA) ini menyatakan bahwa 53 persen pelaku berasal dari orang tua kandung. Sebuah ironi di atas ironi. Bukankah seharusnya orang tua adalah pelindung, bukan penyiksa sekaligus penjajah bagi jiwa anak?
Tentunya data di atas bukan sekadar angka statistik, melainkan luka nyata yang tersimpan dalam jiwa anak. Terlebih kasus seperti di Kebayoran Lama ini sudah berkali-kali bermunculan di media, bahkan tak lagi bisa dihitung dengan jari.
Di saat kita berharap anak bertumbuh dalam rumah yang penuh cinta dan rasa aman, kenyataannya mereka justru mengalami kekerasan fisik, emosional, hingga seksual—dari figur yang seharusnya mencintai dan melindungi mereka.
Tak hanya angka, intensitasnya juga terus meninggi. Melansir dari Antara News, Survei Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2024 oleh KemenPPPA menunjukkan bahwa prevalensi kekerasan fisik pada anak laki-laki naik dari 13,9% (2021) menjadi 21,2% (2024).
Sedangkan pada anak perempuan dari 10,5% menjadi 15,6%. Sementara kekerasan emosional mencapai 43,2% pada anak laki-laki dan 47,8% pada anak perempuan. Ini bukan kebetulan, melainkan krisis lama yang tidak kunjung teratasi.
Pada publikasi yang berbeda di Medcom, data juga menegaskan bahwa anak perempuan mengalami kekerasan seksual dan fisik sembilan kali lebih sering daripada anak laki-laki. Sepanjang 2024, tercatat 8.674 kasus kekerasan seksual terhadap anak, mayoritas anak perempuan. Keselamatan mereka di rumah pun dipertanyakan, bahkan saat sedang berada di tengah orang tua kandung.
Langkah Baru Mengurai Lingkaran Setan
Lantas mengapa justru orang tua sendiri yang melakukan kekerasan? Setidaknya terdapat beberapa dugaan yang menjadi faktor.
- Tekanan ekonomi dan stres tinggi. Â Banyak kasus kekerasan, termasuk yang fatal seperti filisida, akibat tekanan utang, pinjaman online, dan beban keluarga.
- Budaya disiplin keras. Banyak orang tua mewarisi pola asuh yang memaklumi kekerasan sebagai metode mendisiplin pada anak. Padahal, riset menunjukkan cara ini justru menghancurkan kepercayaan dan membekas trauma.
- Minimnya kesadaran, minim laporan. Banyak orang tua bahkan tak sadar anak mereka jadi korban bullying atau kekerasan emosional Makanya, anak semakin tenggelam dalam rasa takut dan kesendirian.
Lingkaran setan ini tidak bakal mengurai dan selesaii jika tidak mengambil langkah baru. Setidaknya ada beberapa hal yang bisa dilakukan seperti:
- Perlu menggencarkan edukasi orang tua & calon orang tua: menggantikan budaya pukul dan marah dengan kata lembut, empati, dan dialog.
- Masyarakat dan sekolah wajib jadi pengawas: tidak hanya guru, tetangga dan kerabat juga harus peka pada tanda kekerasan.
- Hukum harus tegas dan humanis: pelaku dari lingkungan keluarga harus mendapat hukuman sesuai UU Perlindungan Anak, namun juga mendapat akses rehabilitasi agar tidak mengulanginya.
- Saluran pengaduan harus mudah dan tersedia: memperkenalkan hotline, aplikasi, dan pusat layanan harus secara merata, terutama di pelosok dan sekolah.
Orang tua adalah tempat pertama anak menatap dunia. Saat tangan itu yang menyakiti, maka dunia menjadi genting dan takut. Krisis ini menuntut kita bertanya, apakah cinta dalam keluarga hanyalah ilusi?
Mari bergandeng tangan, dari tingkat keluarga hingga puncak pengambil kebijakan. Ganti pelukan dengan pukulan. Ganti amarah dengan telinga yang mendengar. Dan jadikan rumah bukan tempat trauma, tapi ladang cinta untuk anak-anak generasi penerus.
link
7 Comments