BincangMuslimah.Com – Sosok Pangeran Diponegoro dikenal sebagai pahlawan bagi masyarakat pribumi, sebab melalui tangannya lah Perang Jawa pecah pada (1825-1830). Ia adalah putra Sultan Hamengkubuwono III. Namun, alih-alih menjadi penerus tahta kesultanan, Pangeran Diponegoro menempuh jalannya sendiri untuk melawan pengaruh Belanda di kalangan istana serta berbagai ketidak adilan yang menimpa masyarakat.
Lalu, bagaimana masa kecil Pangeran Diponegoro?
Pangeran Diponegoro lahir tepat menjelang fajar pada Jum’at Wage, 11 November 1785 di Keraton Yogyakarta. Diponegoro kecil tinggal di perumahan kaum perempuan keraton (keputren) hingga berusia 7 tahun. Ia kemudian pindah untuk tinggal bersama nenek buyutnya, Ratu Ageng, di Tegalrejo. Diponegoro diasuh oleh neneknya hingga berusia 18 tahun, di sinilah pembentukan karakter Diponegoro mulai terbentuk. Mulai dari keyakinan agama, pergaulan dengan kaum santri, serta pandangan-pandangan sosialnya banyak mendapat pengaruh dari asuhan Ratu Ageng.
Siapakah Ratu Ageng?
Ia adalah putri seorang kiai terkemuka di Kabupaten Sragen, dan silsilahnya sampai pada Sultan Abdul Kahir I, Sultan Bima yang bertakhta di Sumbawa pada 1621-1640. Peter Carey (2016) menyebutnya sebagai sosok perempuan yang Tangguh; ia mendampingi suaminya, Sultan Hamengkubuwono I, dalam Perang Giyanti (1746-1755), bersama sang suami membentuk Kesultanan Yogyakarta, melahirkan pewaris takhta Sultan, hingga yang paling membuat terkesan ialah statusnya sebagai panglima pasukan kawal istimewa perempuan kerajaan yang merupakan satu-satunya barisan pasukan militer Keraton Yogya.
Ratu Ageng adalah seorang perempuan yang agamis. Ia dikenal sebagai salah satu ulama perempuan di Jawa. Sebagai seorang ulama, kegemarannya ialah membaca kitab-kitab agama. Ia juga merupakan seorang penganut tarekat Syattariyah. Ratu Ageng juga sangat disiplin menegakkan kehidupan yang religius. Ia bahkan cukup kecewa dengan sikap putranya, Sultan HB II, yang tak acuh terhadap ibadah. Kepribadian yang religius ini berjalan seimbang dengan kuatnya Ratu Ageng dalam menjaga adat istiadat budaya Jawa.
Sikap tegas sangat menonjol dalam diri Ratu Ageng. Dalam pandangan Diponegoro, Ratu Ageng disebut suka membuatnya ketakutan ketika memberi perintah. Sikap kritis juga ditunjukkan Ratu Ageng terhadap kepemimpinan putranya yang dianggap tidak tegas dan tidak terampil.
Di tengah masyarakat Tegalrejo, Ratu Ageng juga tampak sebagai sosok perempuan yang cermat dan terampil dalam bidang perdagangan. Ratu Ageng giat menawarkan hasil pertanian Tegalrejo sampai jauh ke daerah pesisir Laut Jawa.
Kharisma Ratu Ageng telah membuat Diponegoro sangat terkesan. Diponegoro sangat kagum dengan nenek buyutnya ini yang berusia sekitar 60 tahun ketika mengasuh dirinya yang masih berusia 7 tahun. Tumbuh remaja bersama Ratu Ageng telah membentuk pribadi Diponegoro yang religius serta memiliki empati terhadap rakyat kecil. Dari sini lah lahir keberanian Pangeran Diponegoro untuk melawan keadilan yang terjadi di sekitarnya.
*Sumber: Carey, Peter. (2016). Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 Jilid 1_(Cetakan III). Jakarta: KPG. Penerjemah: Parakitri T. Simbolon.
Pingback: Ratu Ageng, Sosok Perempuan di Balik Kekuasaan Pangeran Diponegoro - Bincang Syariah
Pingback: behance.net profile
Pingback: about my qiita.com page
Pingback: about me
Pingback: Ratu Ageng, Perempuan di balik Sosok Pangeran Diponegoro | Alhamdulillah Shollu Alan Nabi #JumatBerkah - Ajeng .Net
Pingback: Ratu Ageng, Perempuan di Balik Sosok Pangeran Diponegoro _* - Jumat Berkah