BincangMuslimah.Com – Islam datang kepada Nabi di tengah hiruk-pikuknya masyarakat Jahiliyah. Karena pada masa tersebut memperlihatkan bahwasannya perempuan tidak dipandang sebagai manusia seutuhnya layaknya laki-laki. Banyak orang tua yang merasa malu telah melahirkan anak perempuan, sehingga tak segan-segan mengubur secara hidup-hidup. Di tengah kondisi masyarakat yang patriarkis, Islam datang sebagai agama yang ramah bagi perempuan.
Setelah menyebarnya Islam di segala penjuru Romawi, Persia, membentang dari Spanyol di Barat hingga India di Timur yang mempunyai kultur dan tradisi yang berbeda di setiap daerah, ditemukan bahwa negara-negara yang ditaklukkan mempunyai kultur patriarki. Islam datang di tengah tradisi yang melekat menyoal ketimpangan laki-laki dan perempuan. Bahwasanya Islam melihat laki-laki dan perempuan setara; berasal dari unsur yang sama. Nabi juga menafsirkan ayat-ayat Alquran secara gamblang bahwa Islam menolak adanya ketimpangan gender.
Pasca wafatnya Nabi, karena begitu kuatnya tradisi yang melekat, para sahabat tidak bisa membendung akan hal tersebut. Akibatnya, perempuan kembali dipinggirkan di ranah publik. Hal tersebut semakin menjadi-jadi di wilayah taklukan, Mesir salah satunya. Melihat kejadian tersebut, membuat Qasim Amin banyak melakukan kritik terhadap isu ketimpangan gender.
Pada awal abad ke-19 M, Islam mulai menampakkan wajahnya. Qasim Amin, sebagai salah satu pembaharu di zaman Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al-Afghani sering menyuarakan suara-suara perempuan yang tidak terdengar. Dalam bukunya, Tahrir al-Mar’ah atau Emansipasi Perempuan, Qasim menyatakan ketidaksetujuan dengan realita yang menimpa perempuan. Di bab pertama, Qasim menyampaikan bahwa laki-laki dan perempuan sudah seharusnya dipandang sama.
Hal pertama yang dikritik oleh Qasim adalah fenomena perempuan tidak mendapatkan pendidikan layaknya laki-laki. Bagi masyarakat Mesir dahulu, perempuan dikecualikan dari pendidikan seperti laki-laki. Hal ini dikarenakan laki-laki memegang kendali di segala aspek baik internal dan eksternal. Sejak kecil, hidup perempuan sepenuhnya sudah menjadi tanggung jawab laki-laki (ayah), kemudian, setelah dewasa tanggung jawab perempuan beralih kepada suami. Dalam posisi tersebut, perempuan tidak diberi ruang gerak dalam mengurus dirinya sendiri, karena sepenuhnya disetir oleh laki-laki sejak dini. Selain itu, kewajiban laki-laki dalam mencari nafkah juga menjadi salah satu faktor pendukung hal tersebut.
Dalam waktu yang panjang tersebut, posisi perempuan akan selalu menjadi nomor dua setelah laki-laki, khususnya pada potensi akal yang dimiliki perempuan. Akan tetapi, bagi Qasim, perempuan pada dasarnya mempunyai kekuatan berpikir yang sama seperti laki-laki, karena Allah membekali makhluk-Nya dengan akal untuk berfikir. Hal pertama yang dilakukan Qasim adalah memberikan pendidikan bagi perempuan. Realitanya, masyarakat Mesir tidak memberikan dukungan pendidikan bagi perempuan, termasuk Al-Azhar, salah satu institusi tertinggi di Mesir.
Kedua, tradisi yang kuat mengenai perempuan hanya berkecimpung di dunia domestik. Ketika perempuan bekerja pada ranah domestik, perempuan tidak membutuhkan pendidikan, karena hal-hal domestik sama halnya mengulang kebiasaan secara terus-menerus. Masyarakat Mesir kala itu melihat istri sebagai pemenuh kebutuhan dan hasrat seksual. Bagi Qasim, meskipun perempuan hanya bekerja di ranah domestik, bukan berarti perempuan tidak mendapatkan kesempatan pendidikan, justru perempuan harus mendapatkan pendidikan yang tinggi. Selain itu, perempuan bukan hanya sebagai pemuas nafsu, akan tetapi teman berfikir dan teman diskusi.
Terakhir, ketika perempuan berpendidikan tinggi, value yang ada dalam diri perempuan secara tidak langsung akan semakin bertambah selaras dengan akhlak yang baik. Pengaruh perempuan dalam keadaan ini yang mempunyai peranan penting dalam mencetak generasi bangsa yang lebih baik. Dalam hadis Rasul pun sudah dijelaskan bahwa perempuan adalah pendidik pertama bagi anak-anaknya. Maka dari itu, sudah selayaknya pendidikan bagi perempuan harus digaungkan. Demikian beberapa isu yang dikritik oleh Qasim Amin mengenai fenomena ketimpangan gender, terutama yang terjadi di Mesir.