BincangMuslimah.Com – Tanggal 25 Desember pada setiap tahun diperingati sebagai Hari Natal, hari raya bagi pemeluk agama Kristen. Membahas moderasi beragama saat momen Natal memiliki arti penting dalam memperkuat nilai toleransi dan persaudaraan di tengah masyarakat yang majemuk.
Dengan membahas moderasi beragama, mengajak masyarakat memahami pentingnya saling menghormati keyakinan dan menghindari sikap ekstrem.
Diskusi tentang moderasi beragama juga membantu membangun kesadaran bersama bahwa perbedaan keyakinan bukanlah penghalang untuk menjalin kerja sama dan persaudaraan. Tetapi justru menjadi kekuatan yang memperkaya kehidupan bermasyarakat.
Maka, bagaimana mewujudkan moderasi beragama saat momen natal kali ini?
Program Moderasi Beragama di Indonesia
Indonesia adalah negara yang memiliki keberagaman agama, sehingga perlu adanya upaya untuk menjaga kerukunan antar umat beragama. Salah satunya yakni melalui penerapan moderasi beragama.
Kebijakan ini pertama kali digagas oleh Menteri Agama Republik Indonesia periode 2014-2019, Lukman Hakim Saifuddin, yang meluncurkan buku berjudul Moderasi Beragama.
Gagasan tersebut kemudian diperkuat melalui Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 720 Tahun 2020, yang ditandatangani oleh Menteri Agama RI Fachrul Rozi. Keputusan ini menjadi landasan pembentukan Kelompok Kerja (Pokja) Moderasi Beragama di Kementerian Agama.
Dasar hukum moderasi beragama berakar pada Pasal 29 Ayat 1 dan 2 Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa serta menjamin kebebasan setiap penduduk untuk memeluk agama dan beribadah sesuai keyakinannya.
Pasal ini menuntut peran negara dalam mewujudkan trilogi kerukunan, yaitu kerukunan antar umat seagama, antar umat beragama, dan antara umat beragama dengan pemerintah.
Secara etimologis, moderasi berarti sikap moderat atau berada di tengah, yang mencerminkan keseimbangan, keadilan, dan demokrasi. Sedangkan secara istilah, moderasi adalah pola pikir, ucapan, dan tindakan yang tidak ekstrem dalam menghadapi realitas sosial.
Moderasi beragama adalah upaya memahami dan mempraktikkan ajaran agama secara moderat, dengan prinsip keadilan.
Melalui kebijakan ini, pemerintah bertujuan untuk: 1) meningkatkan toleransi terhadap perbedaan agama, tradisi, dan budaya; 2) menolak kekerasan fisik maupun verbal atas nama agama; 3) memperkuat komitmen kebangsaan sesuai Pancasila dan UUD 1945; serta 4) mendorong pola pikir, sikap, dan praktik beragama yang moderat dan menjauhi ekstremisme. (TIM Pokja Moderasi Beragama Kementerian Agama RI, 2020).
Praktik Moderasi Beragama Saat Momen Natal
Praktik moderasi beragama saat momen Hari Natal dapat diwujudkan melalui sikap saling menghormati peringatan hari besar dari agama lain. Menjalin silaturahmi dengan tetangga atau teman lintas agama. Seperti, mengunjungi mereka tanpa terlibat dalam ritual keagamaan, juga menjadi wujud nyata moderasi beragama.
Pemerintah, tokoh agama, dan masyarakat perlu mengedepankan narasi persatuan yang menekankan pentingnya kerja sama dalam keberagaman.
Dengan membangun ruang dialog dan kegiatan lintas agama, seperti bakti sosial bersama atau kegiatan kemanusiaan, momen Natal dapat menjadi sarana memperkuat kebersamaan dan menumbuhkan semangat persaudaraan yang mencerminkan nilai-nilai Pancasila.
Sikap moderat dan penuh penghormatan dalam menyikapi momen Natal dapat merujuk pada prinsip-prinsip sebagaimana ajaran dalam Al-Qur’an. Salah satu landasannya adalah QS. Al-Mumtahanah ayat 8
لَّا يَنْهَىٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ لَمْ يُقَٰتِلُوكُمْ فِى ٱلدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَٰرِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوٓا۟ إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُقْسِطِينَ
“Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.”
Ayat di atas menyatakan bahwa Allah tidak melarang umat Islam untuk berbuat baik dan berlaku adil kepada orang-orang yang tidak memerangi mereka. Dalam urusan agama dan tidak mengusir mereka dari tempat tinggal mereka.
Ayat ini menegaskan pentingnya sikap adil, kasih sayang, dan keharmonisan dalam hubungan sosial, termasuk dengan pemeluk agama lain.
Tidak Ada Paksaan dalam Agama
Selain itu juga termuat dalam QS. Al-Baqarah ayat 256
لَآ إِكۡرَاهَ فِي ٱلدِّينِۖ قَد تَّبَيَّنَ ٱلرُّشۡدُ مِنَ ٱلۡغَيِّۚ فَمَن يَكۡفُرۡ بِٱلطَّـٰغُوتِ وَيُؤۡمِنۢ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱسۡتَمۡسَكَ بِٱلۡعُرۡوَةِ ٱلۡوُثۡقَىٰ لَا ٱنفِصَامَ لَهَاۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam). Sungguh, telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. Siapa yang ingkar kepada tagut dan beriman kepada Allah sungguh telah berpegang teguh pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Ayat di atas menegaskan prinsip la ikraha fid-din (tidak ada paksaan dalam agama), yang mengajarkan umat Islam untuk menghormati keyakinan orang lain. Landasan ini mendorong umat Islam untuk bersikap toleran. Dengan menghargai perayaan keagamaan orang lain, dan menjaga persatuan serta harmoni dalam masyarakat yang beragam.
Moderasi Beragama Sebagai Harmoni Sosial
Momen Natal dapat disikapi dalam perspektif moderasi beragama dengan menjunjung tinggi nilai toleransi, saling menghormati, dan persaudaraan kebangsaan.
Umat Islam dapat memberikan ucapan selamat atau menunjukkan sikap ramah kepada umat Kristiani sebagai bentuk penghormatan, tanpa mengorbankan keyakinan akidahnya.
Dalam Islam, menghormati keyakinan dan perayaan agama lain merupakan wujud dari ajaran kasih sayang dan kemanusiaan.
Moderasi beragama mendorong setiap individu untuk melihat keberagaman sebagai anugerah yang memperkaya kehidupan bermasyarakat, bukan sebagai ancaman.
Dengan mengedepankan dialog, empati, dan kerja sama, perayaan Natal dapat menjadi momen untuk memperkuat harmoni sosial dan membangun solidaritas lintas agama.
Referensi:
RI, Tim Kelompok Kerja Moderasi Beragama Kementrian Agama. (2020). Peta Jalan (Roadmap) Penguatan Moderasi Beragama Tahun 2020-2024.