BincangMuslimah.Com – Dalam pembicaraan masa kini, mindfulness adalah kemampuan untuk sepenuhnya ada di waktu sekarang. Namun di dalam Islam, ide ini sebenarnya sudah lama ada dan dilakukan sebagai bentuk kesadaran spiritual yang mendalam. Mindfulness dalam Islam tidak hanya mengenai menenangkan pikiran, tetapi tentang menghadirkan Allah dalam setiap kesadaran hidup.
Konsep Mindfulness
Salah satu konsep utama yang mencerminkan mindfulness Islami adalah muraqabah, yakni kesadaran penuh bahwa Allah senantiasa mengawasi setiap gerak, pikiran, dan niat manusia. Dengan kesadaran ini, seseorang belajar hidup lebih hati-hati, tenang, dan tidak larut dalam kegelisahan yang berlebihan. Ia tidak hanya hadir secara fisik, tetapi juga sadar secara batin akan hubungan dirinya dengan Allah.
Al-Quran menegaskan bahwa ketenangan sejati tidak lahir dari pengendalian situasi luar, melainkan dari kedekatan dengan Allah. Sebagaimana dalam firman-Nya:
اَلَا بِذِكْرِ اللّٰهِ تَطْمَىِٕنُّ الْقُلُوْبُ
Artinya: “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.”
(Q.S. ar-Ra‘d [13]: 28)
Ayat ini menjadi inti dari mindfulness dalam Islam. Mengingat Allah bukan hanya melalui lisan, tetapi juga melalui kesadaran hati dalam menjalani setiap aktivitas. Ketika seseorang mengaitkan apa yang ia lakukan dengan Allah, kegelisahan perlahan mereda dan hati menemukan ketenangan.
Selain muraqabah, Islam juga mengenalkan konsep muhasabah, yaitu introspeksi diri secara sadar. Muhasabah mengajak seseorang untuk berhenti sejenak, menilai kembali pikiran dan perbuatannya, serta menyadari keadaan dirinya di hadapan Allah. Dalam konteks ini, muhasabah sejalan dengan mindfulness karena mendorong kehadiran penuh terhadap kondisi batin, bukan sekadar berjalan secara otomatis mengikuti rutinitas.
Kesadaran ini juga tercermin dalam khusyu’ saat beribadah. Khusyu’ bukan hanya tentang sikap tubuh, melainkan tentang kehadiran hati yang fokus dan tenang ketika berhadapan dengan Allah. Melakukan salat dengan khusyu’ melatih seseorang untuk benar-benar hadir, memperlambat langkah batin, dan melepaskan hiruk-pikuk pikiran duniawi, meski hanya untuk beberapa menit.
Ketenangan Jiwa Ala Rasulullah
Rasulullah juga memberikan panduan tentang bagaimana ketenangan jiwa dapat menjadi kompas dalam menjalani hidup. Dalam sebuah hadis disebutkan:
“Kebaikan adalah sesuatu yang menenangkan jiwa dan menentramkan qalbu. Sedangkan dosa adalah sesuatu yang menggelisahkan jiwa dan menggoncangkan qalbu.”
(H.R. Ad-Darimi dan Ahmad)
Hadis ini mengajarkan kepekaan batin, yakni kemampuan untuk mengenali apa yang membawa ketenangan dan apa yang justru mengusik hati. Kesadaran semacam ini membantu seseorang untuk hidup lebih selaras dengan nilai-nilai kebaikan, bukan sekadar mengikuti dorongan sesaat.
Kesadaran untuk hadir penuh dalam menjalani hidup juga ditegaskan dalam Al-Qur’an melalui berbagai ayat tentang ujian dan keringanan. Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah [2]: 155, “Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan.” Ayat ini mengingatkan bahwa fase berat dalam hidup adalah bagian dari sunnatullah. Ujian tidak selalu datang untuk melemahkan, tetapi untuk menyadarkan manusia akan keterbatasannya dan mengajak hati agar tetap hadir, sabar, serta tidak larut dalam kegelisahan yang berlebihan.
Dalam konteks mindfulness Islami, ayat ini mengajarkan kita untuk menyadari emosi dan spiritual saat menghadapi tantangan. Bukannya menolak atau mengabaikan rasa lelah, cemas, dan sedih, Islam justru mendorong manusia untuk mengenali perasaan tersebut, menerimanya dengan sabar, dan kemudian menyerahkannya kepada Allah dengan penuh kepercayaan. Kesadaran seperti ini membantu seseorang tidak terjebak dalam kebiasaan yang hampa, tetapi mampu memahami setiap tahap kehidupan sebagai bagian dari proses perkembangan jiwa.
Tidak Memaksakan Kemampuan
Selain itu, Islam juga menekankan pentingnya mengenali kondisi diri dan tidak memaksakan kemampuan. Hal ini tercermin dalam QS. Al-Baqarah [2]: 185 yang menegaskan bahwa Allah menghendaki kemudahan bagi hamba-Nya dan tidak menghendaki kesulitan. Prinsip ini mengajarkan bahwa memperhatikan batas fisik, mental, dan emosional bukanlah tanda kelemahan iman, melainkan bentuk kesadaran diri yang selaras dengan ajaran Islam. Kesadaran akan kondisi diri inilah yang menjadi inti dari mindfulness, yaitu hadir sepenuhnya tanpa mengabaikan kebutuhan jiwa.
Dengan memahami ayat-ayat ini, mengajak kita untuk hidup dengan cara yang lebih tenang, tidak terburu-buru, dan tidak memaksakan diri hanya untuk menunjukkan kita produktif. Kesibukan yang disertai dengan kesadaran akan batasan diri justru membawa ketenangan, karena sesuai dengan kodrat manusia dan kehendak Allah SWT.
Oleh karena itu, mindfulness dalam Islam bukanlah konsep asing, melainkan bagian dari jalan spiritual yang mengajarkan kesadaran, ketenangan, dan kehadiran penuh bersama Allah. Melalui zikir, muhasabah, dan ibadah yang khusyu’, seseorang belajar menjalani hidup dengan lebih pelan, sadar, dan bermakna. Dari sinilah ketenangan batin tumbuh, bukan karena dunia menjadi hampa, tetapi karena hati menemukan tempat berlabuh.

3 Comments