BincangMuslimah.Com – Amina Wadud Muhsin lahir dengan nama Maria Teasley lahir pada tanggal 25 September tahun 1952 di Bethesda, Maryland, Amerika Serikat. Ayahnya merupakan seorang pendeta Methodist, dan ibunya merupakan keturunan dari budak Muslim Arab.
Pada tahun 1972 Ia resmi menjadi seorang mualaf dan mengganti namanya menjadi Amina Wadud Muhsin. Meskipun merupakan seorang anak pendeta, Amina mengakui bahwa Ia tidak begitu dekat dengan ayahnya dan ayahnya tidak banyak mempengaruhi pandangannya.
Dalam bukunya “Inside the Gender Jihad Women’s Reform in Islam”, Wadud mengakui pada usianya yang ke 20 tahun Ia memiliki ketertarikan terhadap Islam. Khususnya dalam masalah konsep keadilan dalam Islam yang membuatnya mengucapkan dua kalimat syahadat. “ I did not enter islam with my eyes closed against structure and personal experiences of injustice that continue to exist, in my “personal transition”.
Amina Wadud merupakan seorang muallaf yang sangat giat dalam mempelajari Islam dengan menempuh pendidikan agama yaitu di Universitas kairo pada prodi Al-Qur’an dan Tafsir. Kemudian melanjutkan di Universitas Al-Azhar dengan jurusan Filsafat, dan kemudian menjadikannya sebagai guru besar studi Islam pada jurusan Filsafat dan Agama di Universitas Virginia Commonwealth dan memperoleh gelar professor di sana.
Amina cukup concern dalam mengkaji nash-nash Al-Qur’an yang berhubungan dengan feminisme yang memperjuangkan kesetaraan jender, serta cukup aktif dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dan mengecam budaya patriarki. Oleh karena itu, Amina sering diundang untuk menjadi pembicara di berbagai universitas, forum pemerintah, dan berbagai pertemuan di Amerika Serikat, Timur Tengah, Eropa, Asia Tenggara, dan Afrika.
Pembelaan Aminah Wadud Terhadap Perempuan Lewat Tafsirnya
Kaum feminis memiliki caranya kerjanya tersendiri dalam mengutarakan pandangan dan pemikirannya, sebagaimana yang dilakukan oleh Amina Wadud yang menempuh sepenuhnya cara kerja tafsir untuk melakukan pembelaan terhadap perempuan. Ia menerapkan prinsip “kesetaraan gender” dengan cara menafsirkan ulang ayat-ayat yang dianggap merugikan perempuan serta mengabaikan prinsip keadilan dan persamaan yang lazim antara laki-laki dan perempuan.
Motivasi Amina Wadud untuk menafsirkan ulang ayat-ayat yang mengandung ketimpangan gender, sebagaiman yang Ia katakan dalam Al-Qur’an dan Perempuan, karena Ia menilai kebanyakan ahli tafsir yang disusun oleh laki-laki dengan model penafiran-penafsiran seperti ini menunjukkan adanya subjektivitas dari mufassir tanpa mementingkan maksud ayat yang sebenarnya.
Oleh karena itu Amina wadud mencoba merubah paradigma tersebut melalui penafsirannya. Ada beberapa contoh aya-ayat yang ditafsirkan oleh Amina Wadud sebagai bentuk pembelaannya terhadap perempuan. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Rihlah Nur Aulia dalam “Menakar Kembali Pemikiran feminisme Amina Wadud”. Yaitu ayat tentang penciptaan manusia, persamaan ganjaran di akhirat, derajat dan keutamaan perempuan, perceraian, poligami, kesaksian, dan pembolehan imam shalat jumat. Penulis mengambil sebuah contoh penafsirannya pada Q.S An-Nisa ayat 1 tentang penciptaan manusia.
Umumnya para mufassir berpendapat terkait penafsiran ayat khususnya pada kata nafsul wahidah ini merupakan bukti dari asal-usul merupakan bersal dari Adam dengan menafsirkan kata nafsul wahidah sebagai Adam dan zawj sebagai hawa.yang mana dengan ini diasumsikan menunjukkan superioritas laki-laki atas perempuan karena perempuan diciptakan dari laki-laki.
Amina Wadud menjelaskan dalam “Inside the Gender Jihad Women’s Reform in Islam, dalam memahami kata nafs pada ayat ini harus dipahami dengan makna “diri” secara umum. Sehingga ia tidak bisa dipahami sebagai laki-laki atau perempuan saja karena ia bisa dipakai pada keduanya.
Sementara kata zawj pada ayat ini Amina cenderung menafsirkannya dengan makna “pasangan” oleh karena itu yang ingin dipahami dalam ayat ini bukanlah bagaimana Hawa diciptakan, tapi kenyataan bahwa Hawa merupakan zawj (Adam), pasangan yang dibuat dari bentuk yang saling melengkapi dari realitas tunggal yang mana arti dari keduanya sama-sama penting.
Pada kesimpulan dalam penafsiran Q.S An-Nisa ayat 1 ini menggambarkan struktur tatanan sosial yang tercipta. Ayat ini menurutnya juga menjelaskan asal dari seluruh manusia adalah nafs yang satu, yang merupakan bagian dari suatu sistem kesatuan pasangan, nafs dan zawj.
Dari salah satu contoh penafsiran Amina wadud di atas, dapat kita pahami bahwa memang Amina Wadud merupakan seorang feminis muslim yang semangat dalam menyuarakan keadilan gender. Oleh sebab itu Ia kerap sekali membantah penafsiran-penafsiran yang berbau bias gender dan pada akhirnya mengakibatkan diskriminasi terhadap perempuan yang meletakkan posisi perempuan di bawah laki-laki.
Fokus konsentrasi Amina pada bidang tafsir karena basic pendidikannya di bidang Al-Qur’an dan Tafsir. Sehingga Ia pun menempuh cara kerja tafsir dalam melakukan pembelaan-pembelaannya terhadap perempuan. Wallahu a’lam.