BincangMuslimah.Com – Baik perempuan maupun laki-laki sama-sama memiliki batasan aurat. Namun sayangnya, masalah aurat selalu saja menjadi objek yang melekat pada perempuan. Memakai pakaian tertutup, baju panjang, rok, dan berhijab adalah tuntutan baginya.
Padahal, ulama-ulama fikih dalam karangan mereka telah menyebutkan secara gamblang mengenai batasan aurat untuk perempuan pun laki-laki. Imam Nawawi dalam kitab fenomenalnya Safinatun Naja mengklasifikan aurat berdasarkan status dari seorang muslim itu sendiri dan keadaannya.
الْعَوْرَاتُ أَرْبَعٌ عَوْرَةُ الرَّجُلِ مُطْلَقًا والْأمَةِ فِي الصَّلَاةِ مَا بَيْنَ السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ, وَعَوْرَةُ الْحُرَّةِ فِي الصَّلَأةِ جَمِيْعُ بَدَنِهَا مَاسِوَى الْوَجْهِ والْكُفَّيْنِ, وَعَوْرَة الْحُرَّةِ والْأمَةِ عِنْدَ الْأجَانِبِ جَمِيْعُ الْبَدَنِ وَعِنْدَ مَحَارِمِهَا وَالنِّسَاء مَابَيْنَ السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ.
Macam-macam aurat ada empat, yaitu :
- Aurat semua laki-laki (merdeka atau budak) dan budak perempuan ketika salat yaitu antara pusar dan lutut.
- Aurat perempuan merdeka ketika salat yaitu seluruh badan kecuali muka dan telapak tangan.
- Aurat perempuan merdeka dan budak terhadap laki-laki ajnabi (bukan mahram) yaitu seluruh badan.
- Aurat perempuan merdeka dan budak terhadap laki-laki muhrimnya dan perempuan lainnya yaitu antara pusar dan lutut.
Kemudian dari rincian di atas, Imam Romli dalam kitab Nihayatul Muhtaj juga menegaskan bahwa aurat laki-laki yaitu antara pusar dan lutut baik ketika shalat maupun di luar shalat. Namun, beberapa ulama berselisih pendapat apakah pusar dan lutut itu menjadi bagian dari aurat itu sendiri atau bukan. Sebagian ulama mengatakan keduanya termasuk aurat, tetapi ada juga yang mengatakan keduanya buka aurat. Sebagian lain berpendapat pusar termasuk aurat tanpa lutut dan sebaliknya. Akan tetapi, mereka bersepakat bahwa bagian paha seyogyanya ditutup karena masuk dalam aurat.
Sayangnya, hal ini sering menjadi luput perhatian masyarakat. Lelaki secara bebas menggunakan pakaian yang menampakkan pahanya di depan perempuan ajnabiyah (bukan mahram). Ketika ia memakai celana pendek di atas siku-siku, jarang sekali ia mendapatkan teguran. Lain halnya ketika seorang perempuan tidak memakai jilbab. Tidak diragukan lagi bahwa dirinya akan mendapat teguran atau menjadi objek ghibahan karena tindakannya.
Kejadian ini dialami sendiri oleh penulis ketika melaksanakan Kerja Kuliah Nyata (KKN) dari kampusnya. Ketika mahasiswa laki-laki mendatangi tempat kediaman mahasiswi. Sebagian dari mereka mengenakan kaos oblong dan celana pendek di atas lutut yang menampakkan paha dengan jelas. Melihat fenomena ini, hanya sebagian mahasiswi saja yang tidak nyaman melihat pemandangan tadi, selebihnya acuh tak acuh. Bahkan ketika ditanyai tentang batasan aurat laki-laki mereka menjawab tak tahu-menahu akan hal tersebut.
Berbeda halnya ketika ada mahasiswi yang tidak mengenakan jilbab. Mereka semua, baik mahasiswa perempuan dan laki-laki menegurnya, karena ia menampakkan aurat yang seharusnya ditutupi dengan jilbab. Secara langsung perempuan akan dicap ‘tidak baik’ dalam artian tidak menjalankan syariat Islam seketika itu juga.
Bukankah sebab yang mereka lakukan sama? Iya. Keduanya tidak menutupi aurat dengan ketentuan fikih. Akan tetapi, perlakuan yang didapatkan dari masyarakat masih bias. Perempuan dituntut lebih untuk menjaga auratnya dari pandangan orang lain. Sedangkan laki-laki, pembahasan mengenai auratnya masih sangat minim. Padahal, dampak yang ditimbulkan sama-sama membuat sebagian dari orang lain yang melihatnya tidak nyaman. Hal tersebut juga bisa menimbulkan syahwat kepada lawan jenis.
Oleh karena itu, setiap muslim, baik perempuan atau laki-laki harus memperhatikan batasan aurat dan memperhatikan pakaian yang ia kenakan. Terlebih lagi ketika ia keluar rumah dan bertemu banyak orang. Menutup aurat tak hanya menjadi wasilah menjaga diri sendiri dari perbuatan tak menyenangkan seperti pelecehan seksual, ia juga bisa membantu orang lain yang ingin menjaga pandangan dan syahwat dari lawan jenis.
3 Comments