BincangMuslimah.Com – Dalam suatu hadis yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, Rasulullah bersabda “Pokok dari segala urusan adalah Islam, tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad.” Dalam ajaran Islam, posisi jihad menjadi puncak ketaatan hamba kepada Allah Swt., sebagaimana penjelasan dalam sabda Rasulullah pada hadis di atas.
Namun, seiring berjalannya waktu, makna jihad mulai bergeser sehingga pemaknaannya sering menjadi sebuah “masalah” di lingkungan masyarakat. Pada hal yang cukup ekstrem, sering kali mengaitkan “Jihad” pada hal-hal yang menuju ekstrimisme atau radikal karena perbuatan-perbuatan oknum yang tidak bertanggung jawab. Padahal, tindakan-tindakan ekstrem tersebut sangat bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang menjunjung tinggi nilai perdamaian dan kasih sayang.
Memaknai Jihad menurut para Ulama’
Seringkali mengaitkan jihad dengan istilah mujahadah an-Nafs (perjuangan melawan diri sendiri), mujahadah asy-syaythan (perjualan mealwan syaithan), mujahadah al-Kuffar (perjuangan melawan orang-orang kafir) ataupun mujahadah al-Munafiqin (perjuangan melawan kaum munafik).
Dalam sebuah hadis riwayat Fudlalah ibn ‘Ubaid, menyebutkan bahwa “..mujahid adalah orang-orang yang berjihad melawan diri sendiri di jalan Allah.” (HR. Ahmad dan Imam Hadis yang lain. Muqbil dalam ash-Shahih al-Musnad (2/156) dan al-Jami’ ash-Shahih (3/184). Ibnu Qayyim sendiri menjalaskan bahwa mujahadah an-nafs lebih utama dari pada jihad-jihad lainnya ketika seorang hamba membutuhkan perjuangan untuk menundukkan diri sendiri agar lebih taat dalam beribadah kepada Allah Swt.
Syaikh Imam Nawawi al-bantani dalam Syu’b al-Imam menjelaskan bahwa makna jihad sebagai perjuangan menahan diri dari dorongan syahwat atau hawa nafsu, serta berusaha sekuat tenaga untuk senantiasa melaksanakan perintah-perintah Allah Swt dan menjauhi segala larangan-Nya. Sebab itulah rasulullah setelah memenangkan pertemupran pada perang Badar berkata kepada para sahabatnya bahwa, “Kita baru menyelesaikan jihad kecil menuju jihad yang besar, jihad an-Nafs”
Dari penjelasan-penjelasan para Imam, kita dapat memahami bahwa Jihad pada hakikatnya berusaha sekuat tenaga mencegah sifat yang merusak kehidupan di muka bumi. Makudnya, jihad yang memiliki arti usaha dan berjuang untuk menghindari kerusakan dan kemunkaran secara konsisten pada jalan kebenaran yang mendapat ridha Allah Swt dalam segalaa spek kehidupan.
Jihad Lingkungan, Jihad Masa Kini
Krisis iklim global saat ini telah menjadi ancaman besar bagi seluruh makhluk di bumi. Suhu bumi semakin meningkat, es di kutub mencair, musim tidak menentu, kebakaran hutan meluas, dan bencana alam datang lebih sering. Semua ini berdampak langsung pada kehidupan manusia. Tanah menjadi tandus, sulit mendapatkan air bersih, dan udara tercemar. Kondisi ini bukan hanya mengganggu kesehatan fisik, tapi juga berdampak pada kestabilan sosial dan ekonomi. Kehidupan menjadi lebih sulit, terutama bagi masyarakat kecil yang paling rentan terhadap perubahan lingkungan.
Pada masa lalu, para pejuang Islam melakukan jihad untuk melawan penindasan, kezaliman, dan kerusakan akibat ulah manusia. Mereka berjuang demi keadilan dan melindungi kehidupan. Saat ini, umat Islam juga dihadapkan pada bentuk kerusakan yang berbeda, yaitu kerusakan lingkungan yang mengancam kelangsungan hidup. Krisis iklim adalah bentuk ketidakadilan baru yang dirasakan oleh seluruh manusia, tanpa memandang agama, suku, atau negara. Karena itu, jihad masa kini bisa diwujudkan dengan ikut berjuang menyelamatkan bumi.
Islam hadir sebagai rahmat bagi seluruh alam. Maka, menjaga lingkungan adalah bagian dari misi Islam untuk membawa kasih sayang, kedamaian, dan kebaikan bagi seluruh makhluk. Menyelamatkan bumi dari kehancuran adalah bagian dari jihad yang sesuai dengan semangat Islam. Melalaui berjiha dengan menjaga kebersihan, mengurangi sampah, menanam pohon, hemat energi, atau mendukung kebijakan ramah lingkungan, setiap orang bisa menjadi pejuang yang menjaga ciptaan Allah.
Allah menciptakan bumi sebagai tempat manusia beribadah. Jika bumi rusak, maka manusia akan kesulitan memenuhi kebutuhan dasar yang menunjang ibadahnya. Bagaimana seseorang bisa khusyuk dalam shalat jika udara penuh asap atau sulit menemukan air bersih untuk wudhu? Bagaimana seseorang bisa berpuasa dengan baik jika makanan dan air langka? Maka, menjaga bumi adalah bentuk kesungguhan dalam menjaga ibadah.
Hukum dan Etika dalam Kewajiban Berjihad Melestarikan Alam dan Lingkungan
Pertama, alam dan lingkungan adalah ciptaan Allah Swt. Melestarikan dan melindunginya dari kerusakan merupakan bentuk syukur atas nikmat Allah. Pandangan yang menganggap seluruh isi alam semata untuk kepentingan manusia saja adalah pandangan yang keliru, karena bisa mendorong penyalahgunaan yang berujung pada kerusakan.
Kedua, seluruh ciptaan Allah di jagat raya senantiasa bertasbih memuji-Nya. Manusia memang tidak memahami bagaimana caranya, namun Al-Qur’an menegaskan: “Tujuh langit dan bumi serta semua yang ada di dalamnya senantiasa bertasbih dan memuji-Nya. Tidak ada sesuatu pun yang tidak bertasbih memuji-Nya, hanya saja kalian tidak memahaminya. Sesungguhnya Dia Maha Penyayang lagi Maha Pemaaf.” (QS. al-Isra: 44).
Ketiga, hukum yang berlaku di alam adalah hukum Allah berdasarkan kelangsungan ciptaan. Dengan kekuasaan-Nya, Allah dapat menentukan sesuatu di luar hukum dan pemahaman manusia. Semua itu adalah sunnatullah yang pasti berlaku. Sebagaimana firman Allah: “Apakah kamu tidak mengetahui bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon, binatang melata, dan banyak manusia. Namun banyak juga manusia yang ditetapkan azab atasnya. Barang siapa dihinakan Allah maka tidak ada yang dapat memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS. al-Hajj: 18).
Alam adalah Amanah yang Besar
Keempat, manusia bukan satu-satunya komunitas yang hidup di dunia. Allah berfirman: “Dan tiadalah binatang di bumi dan burung yang terbang dengan kedua sayapnya melainkan mereka adalah umat seperti kalian. Tidak ada sesuatu pun yang Kami alpakan dalam al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dikumpulkan.” (QS. al-An’am: 38). Walau manusia memiliki derajat lebih tinggi, makhluk lain juga memiliki hak hidup yang sama. Rasulullah Saw menegaskan, setiap kebaikan yang diberikan kepada makhluk hidup akan mendapat pahala.
Kelima, perlunya melandasi hubungan antara manusia dan lingkungan dengan rasa keadilan. Dalam hal memanfaatkan hewan, Nabi Saw bersabda: “Allah memerintahkan berlaku baik dalam segala hal. Jika kalian membunuh, maka bunuhlah dengan baik. Jika kalian menyembelih, maka sembelihlah dengan baik. Hendaknya kalian menajamkan pisau dan meminimalkan penderitaan hewan yang disembelih.”
Keenam, harus menjaga keseimbangan alam ciptaan Allah. Allah berfirman: “Segala sesuatu yang diciptakan Allah adalah dengan ukuran.” (QS. ar-Ra’d: 8). Dan juga: “Tidak ada sesuatu pun melainkan pada sisi Kami khazanahnya, dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu.” (QS. al-Hijr: 21).
Ketujuh, alam dan lingkungan bukan hanya untuk generasi sekarang, melainkan juga untuk generasi masa depan. Alam adalah hadiah dari Allah warisan dari masa lalu hingga akhir zaman.
Sebagai penutup, Allah mengingatkan tentang amanah yang besar. “Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung. Semuanya enggan memikul amanat itu dan mereka khawatir mengkhianatinya. Lalu manusia memikul amanat itu. Sesungguhnya manusia itu amat zalim lagi bodoh.” (QS. al-Ahzab: 72).
Rekomendasi
