BincangMuslimah.Com – Memasuki bulan Syawal, tak jarang beberapa pasangan memilih untuk melangsungkan pernikahan. Sunnah Nabi ini, menikah di bulan Syawal, membantah keyakinan bangsa Arab Jahiliyah, pada saat itu yang menganggap buruk pernikahan di bulan kesepuluh dalam penanggalan Hijriyah tersebut. Bahkan Nabi Muhammad saw. pun menikahi Siti Aisyah r.a di bulan Syawal sebagaimana hadis.
عن عَائِشَة رَضِيَ اللَّه عَنْهَا قَالَتْ: تَزَوَّجَنِي رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شَوَّال، وَبَنَى بِي فِي شَوَّال، فَأَيّ نِسَاء رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ أَحْظَى عِنْده مِنِّي؟ قَالَ: وَكَانَتْ عَائِشَة تَسْتَحِبّ أَنْ تُدْخِل نِسَاءَهَا فِي شَوَّال
Artinya: “Dari Aisyah r.a berkata, Rasulullah Saw. menikahi aku pada bulan Syawal dan menggauliku (pertama kali juga) pada bulan Syawal. Lalu manakah istri-istri beliau SAW yang lebih beruntung dan dekat di hatinya dibanding aku? Salah seorang perawi berkata, ‘Dan Aisyah merasa senang jika para wanita menikah di bulan Syawal.” (HR. Muslim dan at-Tirmidzi)
Nabi Muhammad saw menepis thiyarah atau anggapan sial terhadap sesuatu. Rasulullah mematahkan pandangan yang meyakini bahwa menikah di bulan Syawal ialah sebuah pantangan dan menyebabkan berbagai petaka dari kaum jahiliyah Arab.
Allah Swt. berfirman dalam surah An-Nur ayat 32,
وَأَنكِحُوا۟ ٱلْأَيَٰمَىٰ مِنكُمْ وَٱلصَّٰلِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَآئِكُمْ ۚ إِن يَكُونُوا۟ فُقَرَآءَ يُغْنِهِمُ ٱللَّهُ مِن فَضْلِهِۦ ۗ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ
Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”
Menurut tafsir Al-Madinah Al-Munawwarah, ayat tersebut merupakan perintah menjaga kehormatan dan diikuti perintah untuk memudahkan menjalankan perintah menjaga kehormatan dan menundukkan pandangan yakni dengan menikahkan orang beriman yang shalih dan mampu menanggung mahar baik itu laki-laki maupun perempuan.
Meski begitu, pernikahan bukanlah sebuah ajang perlombaan perihal siapa yang lebih dahulu. Pernikahan membutuhkan berbagai kesiapan baik dari segi fisik, mental, maupun materi. Pernikahan dilakukan ketika sepasang lelaki dan perempuan yakin dan mampu untuk mengarungi bahtera rumah tangga, bukan hanya karena tuntutan sosial.