BincangMuslimah.Com – Dalam al-Quran, terdapat kisah-kisah tentang ibu yang layak dijadikan teladan. Keteladanan adalah tindakan baik yang seharusnya ditiru dan dijadikan contoh.
Salah satu pembahasan yang menarik adalah tentang keteladanan Hannah, ibunda Maryam, sebagaimana tercantum dalam ayat-ayat Al-Quran.
Secara bahasa, keteladanan berasal dari kata “teladan,” yang berarti sesuatu yang harus dicontoh atau ditiru. Dalam pengertian istilah, keteladanan mengacu pada tindakan meniru, mengikuti, atau mencontoh kebaikan orang lain.
Al-Quran mengingatkan manusia untuk berbuat baik kepada orang tua, terutama ibu, dengan menggambarkan perjuangan seorang ibu selama mengandung, melahirkan, dan merawat anaknya.
Setelah melahirkan, ibu memikul tanggung jawab menyusui dan mengasuh anak, yang melibatkan kontak fisik dan emosional secara langsung dengan anak.
Peran ibu yang begitu dekat dengan anak menciptakan hubungan emosional yang kuat, menjadikannya sosok utama dalam mendidik dan membentuk karakter anak. Keutamaan ibu ini menegaskan betapa pentingnya perannya dalam keluarga dan masyarakat.
Keteladanan Hannah Ibunda Maryam dalam QS. Al-Imran ayat 35
اِذۡ قَالَتِ امۡرَاَتُ عِمۡرٰنَ رَبِّ اِنِّىۡ نَذَرۡتُ لَـكَ مَا فِىۡ بَطۡنِىۡ مُحَرَّرًا فَتَقَبَّلۡ مِنِّىۡ اِنَّكَ اَنۡتَ السَّمِيۡعُ الۡعَلِيۡمُ ٣٥
(Ingatlah), ketika istri Imran berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku bernazar kepada-Mu, agar (janin) yang dalam kandunganku (kelak) menjadi hamba yang mengabdi (kepada-Mu), maka terimalah (nazar itu) dariku. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”
Menurut tafsir Ibn Katsir, istri Imran yang disebutkan dalam Al-Qur’an adalah ibunda Maryam. Ibn Ishaq menjelaskan bahwa Hannah binti Faqud bin Qabil, nama ibunda Maryam, awalnya merupakan seorang wanita yang tidak bisa hamil, meskipun sangat mendambakan seorang anak.
Hannah terkenal sebagai wanita yang ahli ibadah. Allah mengabulkan doanya, dan ia pun mengandung. Ketika usia kandungannya sudah tua, Hannah bernadzar kepada Allah untuk menyerahkan anaknya sebagai muharrar, yakni anak yang sepenuhnya mengabdikan waktunya untuk beribadah dan berkhidmat di Baitul Maqdis. (Ibn Katsir, 1992)
Dari kisah tersebut, Ibn Katsir menyoroti adanya teladan luar biasa yang diberikan seorang ibu kepada anaknya. Hannah menunjukkan pentingnya pendidikan dan pola asuh yang baik sejak Maryam masih berada dalam kandungannya.
Dengan nazarnya, Hannah menanamkan nilai pengabdian kepada Allah sejak awal, sehingga Maryam diarahkan untuk menjadi sosok yang sepenuhnya mengabdikan dirinya dalam ibadah kepada Allah.
Keteladanan Hannah Ibunda Maryam dalam QS. Al-Imran ayat 36
فَلَمَّا وَضَعَتۡهَا قَالَتۡ رَبِّ اِنِّىۡ وَضَعۡتُهَاۤ اُنۡثٰىؕ وَاللّٰهُ اَعۡلَمُ بِمَا وَضَعَتۡؕ وَ لَيۡسَ الذَّكَرُ كَالۡاُنۡثٰىۚ وَاِنِّىۡ سَمَّيۡتُهَا مَرۡيَمَ وَاِنِّىۡۤ اُعِيۡذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيۡطٰنِ الرَّجِيۡمِ ٣٦
Maka ketika melahirkannya, dia berkata, “Ya Tuhanku, aku telah melahirkan anak perempuan.” Padahal Allah lebih tahu apa yang dia lahirkan, dan laki-laki tidak sama dengan perempuan. “Dan aku memberinya nama Maryam, dan aku mohon perlindungan-Mu untuknya dan anak cucunya dari (gangguan) setan yang terkutuk.”
Berdasarkan penjelasan Ibn Katsir, ayat tersebut menunjukkan keteladanan Hannah sebagai seorang ibu melalui pendidikan dan pola asuh yang ia berikan kepada Maryam.
Salah satu bentuk keteladanan tersebut adalah memberikan nama yang baik bagi anaknya saat lahir. Selain itu, Hannah juga berdoa kepada Allah, memohon perlindungan dari gangguan setan untuk anaknya, dan menyerahkan anaknya (termasuk Isa a.s.) sepenuhnya dalam lindungan Allah. (Ibn Katsir, 1992)
Allah mengabulkan nazar yang diucapkan oleh Hannah, ibunda Maryam, dan menumbuhkan Maryam dengan sebaik-baiknya.
Maryam mendapat keindahan rupa, penampilan bercahaya, dan karunia berupa doa yang mustajab. Allah juga menitipkan Maryam kepada hamba-Nya yang saleh agar ia dapat belajar ilmu, kebaikan, dan agama dari mereka.
Hal ini menegaskan betapa besar peran seorang ibu dalam membentuk anaknya menjadi pribadi yang saleh dan berbakti.
Keteladanan Hannah Ibunda Maryam dalam QS. Al-Imran ayat 37
فَتَقَبَّلَهَا رَبُّهَا بِقَبُوۡلٍ حَسَنٍ وَّاَنۡۢبَتَهَا نَبَاتًا حَسَنًا ۙ وَّكَفَّلَهَا زَكَرِيَّا ؕ كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيۡهَا زَكَرِيَّا الۡمِحۡرَابَۙ وَجَدَ عِنۡدَهَا رِزۡقًا ۚ قَالَ يٰمَرۡيَمُ اَنّٰى لَـكِ هٰذَا ؕ قَالَتۡ هُوَ مِنۡ عِنۡدِ اللّٰهِؕ اِنَّ اللّٰهَ يَرۡزُقُ مَنۡ يَّشَآءُ بِغَيۡرِ حِسَابٍ ٣٧
Maka Dia (Allah) menerimanya dengan penerimaan yang baik, membesarkannya dengan pertumbuhan yang baik dan menyerahkan pemeliharaannya kepada Zakaria. Setiap kali Zakaria masuk menemuinya di mihrab (kamar khusus ibadah), dia dapati makanan di sisinya. Dia berkata, “Wahai Maryam! Dari mana ini engkau peroleh?” Dia (Maryam) menjawab, “Itu dari Allah.” Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki tanpa perhitungan.
Huruf fa yang ditasydidkan dalam ayat tersebut menunjukkan bahwa lafadz Zakaria dinasabkan karena menjadi maf’ul, yaitu Allah menjadikannya sebagai pemelihara Maryam.
Ibn Ishaq menjelaskan bahwa hal ini terjadi karena Maryam telah menjadi yatim. Allah menakdirkan Zakaria sebagai pemelihara Maryam demi kebaikan dan kebahagiaan Maryam sendiri. Hal ini agar ia dapat belajar ilmu yang bermanfaat dan menjalani amal saleh.
Selain itu, Zakaria merupakan suami dari bibi Maryam, sebagaimana disebutkan oleh Ibn Ishaq, Ibn Jarir, dan ulama lainnya. (Ibn Katsir, 1992)
Dari ayat ini, terlihat teladan Hannah sebagai seorang ibu, yaitu memastikan anaknya mendapatkan lingkungan terbaik untuk tumbuh dan belajar.
Dengan menyerahkan Maryam kepada pemeliharaan Zakaria, Hannah memberikan tempat yang terbaik bagi anaknya, dekat dengan Allah dan di bawah bimbingan seorang nabi.
Secara keseluruhan, nilai-nilai keteladanan ibu sebagaimana dalam ajaran al-Quran meliputi perjuangan seorang ibu saat mengandung, melahirkan, menyusui, merawat, dan mendidik anaknya dengan penuh kasih sayang.
Selain itu, keteladanan seorang ibu juga terlihat dalam ketaatannya kepada Allah, sikap tawakal, kesabaran, doa yang tulus, nazar yang baik, pemberian nama yang bermakna, serta memastikan anak berada di lingkungan yang mendukung kebaikan dan kedekatan dengan Allah.
Referensi:
Ibn Katsir. 1992. Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim. Jilid 3. Daar Al-Fikr.
1 Comment