BincangMuslimah.Com – Masyarakat Lombok pada masa pra-Islam tidak pernah menganut agama Hindu atau Budha. Sebelum Islam datang, masyarakat Sasak sudah menyadari adanya Tuhan, tetapi mereka masih belum mengenalnya. Hal itu ditunjukkan melalui keyakinan mereka yaitu, Wetu Telu.
Filosofi Wetu Telu
Wetu Telu ini merupakan keyakinan dalam masa pencarian, seperti yang dialami oleh Nabi Ibrahim dulu. Ada beberapa penafsiran mengenai makna Wetu Telu ini seperti yang diungkapkan oleh komunitas Wetu Telu di Bayan (salah satu daerah konsentrasi penganut Wetu Telu). Di antara penafsiran itu adalah:
Pertama, pandangan yang menyatakan bahwa Wetu Telu berarti tiga sistem reproduksi, dengan asumsi kata Wetu berasal dari kata Metu yang berarti muncul atau datang dari, sedangkan Telu berarti tiga. Secara simbolis hal ini mengungkapkan bahwa semua makhluk hidup muncul (metu) melalui tiga macam sistem reproduksi.
Tiga macam sistem reproduksi itu adalah:
Menganak (melahirkan), seperti manusia dan mamalia yang berdaun telinga.
Menteluk (bertelur), seperti burung, unggas dan lain-lain.
Mentiuk, Berkembang biak dari benih atau buah seperti biji-bijian, sayuran, buah-buahan, pepohonan dan tumbuh-tumbuhan lainnya.
Fokus kepercayaan ini tidak hanya terbatas pada tiga sistem reproduksi saja, tapi juga menunjukkan pada kemahakuasaan Tuhan yang memungkinkan makhluk hidup untuk hidup dan berkembangbiak melalui mekanisme tersebut.
Kedua, persepsi yang mengatakan bahwa Wetu Telu melambangkan ketergantungan makhluk hidup satu sama lain. Menurut konsepsi ini, wilayah kosmologis itu terbagi menjadi jagad kecil dan jagad besar. Jagad kecil sapaan alam raya atau mayapada yang terdiri atas dunia, matahari, bulan, bintang dan planet lain. Sedangkan manusia dan makhluk lainnya merupakan jagad kecil yang selaku makhluk sepenuhnya tergantung pada alam semesta.
Ketiga, konsepsi yang menyatakan bahwa Wetu Telu sebagai sebuah sistem agama termanifestasi dalam kepercayaan bahwa semua makhluk melewati tiga tahap rangkaian siklus; dilahirkan (menganak), hidup (urip) dan mati (mate). Kegiatan ritual sangat terfokus pada rangkaian siklus ini. Setiap tahap, yang selalu beriringan dengan upacara, merepresentasikan transisi dan transformasi status seseorang menuju status selanjutnya; juga mencerminkan kewajiban seseorang terhadap dunia roh.
Masyarakat Gumi Lombok memiliki dasar Falsafah yang terangkum dalam “Pance Awit Pinajaran Sasak”. Pance awit berarti lima dasar dan pinajaran sasak berarti pembelajaran bagi orang sasak. Lima hal ini lah yang menjadi ideologi masyarakat Lombok’ dan menjadi pegangan dalam mengarungi kehidupan di dunia ini. Pance awit Pinajaran Sasak itu adalah:
Orang Sasak harus bertuhan
Ini adalah hal yang sangat substansial bagi orang sasak. Pernah terjadi di daerah Gerung penebasan leher seorang anak oleh orang tuanya karena tidak mau mengucapkan dua kalimat syahadat. Jauh sebelum masuk Islam ke daerah Lombok, masyarakat sudah tahu tentang Tuhan, namun belum mengenal-Nya. Mereka menyebutnya dengan Neneq Kaji Saq Saq Kuase. Ketika Budha datang, maka Budha ditolak. Begitu juga dengan Hindu, tidak mendapat respon yang baik dari masyarakat Sasak. Ketika Islam datang, maka masyarakat Sasak menerima karena istilah Neneq Kaji Saq Saq Kuase tepat dengan kepercayaan dalam agama Islam.
Masyarakat Lombok meyakini bahwa Tuhan memberikan perintah kepada makhluk-Nya melalui dua cara, yaitu;
Melalui Tradisi
Tradisi adalah petunjuk Tuhan yang diberikan kepada manusia secara langsung, ‘ilmu laduni dalam bahasa Arabnya. Petunjuk ini isyarat kepada manusia sebelum terkena oleh syi’ar agama. Contoh: Orang sasak apabila lewat di depan orang, maka orang Sasak betabeq (mengucapkan permisi).
Melalui Agama
Agama orang Sasak adalah Islam. Cinta pertama dan terakhir orang Sasak adalah Islam. Tidak ada bukti bahwa orang Sasak pernah menganut agama selain Islam. Apabila ada yang mengatakan suatu perbuatan itu merupakan tradisi, namun tidak sejalan dengan agama, maka itu bukanlah tradisi tetapi sebuah perilaku, atau tingkah laku manusia. Agama itu berfungsi untuk menyempurnakan tradisi. Tradisi semakin sempurna karena perjalanan tradisi itu sudah lama dan mungkin saja terjadi penyimpangan-penyimpangan. Maka di sinilah fungsi agama, menjaga penyimpangan-penyimpangan yang akan terjadi di dalam tradisi.
Berbudaya
Tradisi dan agama apabila tanpa pengaplikasian, bukanlah apa-apa, tidak bermakna. adanya budaya merupakan bentuk aplikasi dari tradisi dan agama. Menurut orang Sasak, budaya adalah cipta, rasa, karsa manusia dalam rangka melaksanakan perintah Tuhan yang menerima melalui tradisi dan agama.
Beradat istiadat
Dalam pandangan orang Sasak, agar tidak terjadi penyimpangan dalam budaya, maka ada yang namanya adat-istiadat. Adat-istiadat ini mengandung aturan-aturan. Adat-istiadat bagi orang Sasak sangat penting, karena kalau manusia tidak memiliki adat, maka dia pun tidak berbudaya, sehingga dia pun bukan manusia yang tidak bertradisi sama sekali. Dia pun termasuk tidak beragama, maka manusia yang tidak beradat, maka dia kafir.
Melihat Pance Awit Pinajaran Sasak ini, Mpu Prapanca ketika singgah di Gumi Lombok, maka Ia memberikan julukan bagi suku sasak, yaitu “Lombok Mirah Sasak Adi”. Lombok artinya jujur, Mirah artinya permata, Sasak artinya satu-satunya, dan Adi artinya keutamaan atau kesantunan. Jadi artinya secara keseluruhan adalah kejujuran bagaikan permata dan sebagai satu-satunya cara untuk menuju keutamaan atau kesantunan.
1 Comment