BincangMuslimah.Com – Agung Hajjah Andi Depu lahir di sebuah Desa di Kecamatan Tinambung, Polman, Agustus 1908 adalah pejuang perempuan yang berasal dari tanah Mandar, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Ia lahir dengan nama Sugiranna Andi Sura. Ayahnya adalah Laju Kanna Idoro, seorang Raja Balanipa ke-50. Ibunya bernama Samaturu. Meskipun berasal dari keluarga kerajaan, pendidikan yang ditempuh Andi Depu sangat terbatas. Hal ini justru dijadikan kesempatan bagi Andi Depu untuk menggunakan waktu luangnya dengan bergaul bersama rakyat dan memperdalam agamanya.
Memasuki masa remaja, Andi Depu kemudian diangkat sebagai pemimpin Kris Muda Mandar. Kelompok gerakan masyarakat Mandar kala itu. Andi Depu merupakan satu-satunya pemimpin perempuan di organisasi yang begitu disegani Belanda dan Jepang. Andi Depu menunjukkan kegigihannya mempertahankan bumi pertiwi. Didikan tegas, berwibawa nan santun dari lingkungan Istana Kerajaan Mandar, membuat sosok Andi Depu tak gentar melawan penjajah.
Pada masa pendudukan Jepang, tahun 1942, Andi Depu mengibarkan bendera merah putih pada awal kedatangan mereka di Mandar. Tahun 1943, ia berhasil mempelopori berdirinya Fujinkai di daerah Mandar. Fujinkai adalah organisasi kaum perempuan di bawah pendudukan Jepang. Saat Jepang mulai terdesak oleh Sekutu dalam perang, Andi Depu turut terlibat dalam berdirinya organisasi bernama Islam Muda pada April 1945. Ketika Indonesia dinyatakan merdeka, Andi Depu bersama rekan-rekannya turut menyebarkan berita kemerdekaan ke seluruh pelosok Mandar dan sekitarnya.
Namun, pasca proklamasi, Sekutu datang. Rakyat Mandar pun kembali terancam akan kedaulatan daerahnya. Andi Depu pun dengan cepat menyusun kekuatan bersama rakyat. Ia menggunakan Istana Balanipa sebagai markasnya. Ibu Agung Hajjah Andi Depu menjadi panglima dari organisasi laskar bernama Islam Muda. Bersama dengan laskarnya, Andi Depu menolak kedatangan Belanda di tanah Mandar. Kemarahan Andi Depu pun semakin tersulut ketika salah seorang tentara Belanda menurunkan bendera merah putih dari tiangnya.
Andi Depu sering bertempur dengan Belanda, namun ia selalu berhasil melarikan diri. Namun, tahun 1946, di Makassar, Andi Depu tertangkap. Ia dipenjara dan sering dipindah-pindahkan lokasi penjaranya selama kurang lebih 28 kali. Selama dipenjara, Andi Depu sering disiksa oleh para serdadu Belanda. Andi Depu dibebaskan pasca penyerahan kedaulatan dalam Konferensi Meja Bundar tahun 1949.
Riset M. Darwis Tahir berjudul “Perjuangan Andi Depu dalam Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia di Mandar 1945-1950” (2017) memaparkan, perjuangan rakyat Mandar melawan Belanda kala itu bersifat semesta. Artinya, hampir seluruh kalangan rakyat di Mandar turut berjuang sesuai keahliannya masing-masing (hlm. 34). Islam Muda yang dibentuk sebelum kemerdekaan berubah menjadi Kelaskaran Rahasia Islam Muda (KRIS MUDA), Andi Depu bertindak sebagai panglimanya. Laskar ini berjuang bersama-sama dengan sejumlah elemen perjuangan lainnya di Mandar. Bersama KRIS MUDA, Ibu Agung Andi Depu menolak kembalinya Belanda di Mandar.
Peristiwa Merah-Putih pada 15 Januari 1946 di Istana Balanipa menjadi bukti kecintaan Andi Depu akan tanah airnya, akan keutuhan Republik sebagai negeri merdeka. Maka, ia amat murka ketika serdadu Belanda ingin menurunkan Sang Saka dari tiangnya.
Jejak Juang Srikandi van Mandar Ibu Agung Andi Depu kerap bergerak sendirian menemui masyarakat secara langsung untuk menyerukan semangat perjuangan. Hal ini seringkali membuat suaminya, Andi Baso Pabiseang, tidak berkenan karena ia tidak mau mencari gara-gara dengan Belanda. Tidak jarang Andi Baso mengirim utusan untuk mencari Ibu Agung Hajjah Andi Depu. Namun, setiap kali disuruh pulang, Andi Depu selalu menolak. Dikutip dari Biografi Pahlawan Hajjah Andi Depu Mara’dia Balanipa (1991) karya Aminah Hamzah dan kawan-kawan, ia selalu berkata: “Sekali berjuang tetap berjuang, merdeka atau mati demi bangsaku!”.
Pergerakan Andi Depu dan para pejuang Republik di Mandar memang sangat meresahkan Belanda, termasuk dengan mengutus dua orang kepercayaannya ke Yogyakarta pada akhir Februari 1946 untuk memperoleh informasi terkini terkait perjuangan yang digelorakan di ibu kota RI tersebut.
Setelah bebas dari penjara, Andi Depu kembali ke Mandar karena diminta untuk memimpin bekas wilayah Kerajaan Balanipa. Ia mengemban tugas ini sampai tahun 1956, sebelum mengundurkan diri karena kondisi kesehatannya. Tanggal 18 Juni 1985, Andi Depu dinyatakan meninggal dunia. Jenazahnya dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Panaikang Makassar, Sulawesi Selatan. Untuk mengenang jasa-jasanya, ia diberi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Joko Widodo pada 8 November 2018 berdasarkan Keppres No. 123/TK/Tahun 2018.
Sejarah Andi Depu untuk mempertahankan Indonesia, khususnya masyarakat Sulbar dari penjajahan dikenang melalui Monumen Merah Putih Andi Depu di Tinambung, Polman.
3 Comments