BincangMuslimah.Com – Menikah kerap dianggap sebagai balik titik seseorang untuk berubah. Mereka yang tadinya dipandang ‘nakal’ dan kadang kala bersikap ‘merugikan’ berubah menjadi baik usai menikah. Selain itu dengan menikah, ada anggapan semua trauma atau luka di masa lalu bakal sembuh. Kondisi ini membuat sebagian orang mendorong pemuda-pemudi yang dianggap ‘bermasalah’ untuk menikah. Atau, menjadikan menikah sebagai alasan untuk ‘pulih’.
Namun, anggapan ini mulai menghadapi banyak kontra. Media sosial ramai dengan pernyataan bahwa hubungan romantis seharusnya tidak menjadi sarana untuk “memperbaiki” diri atau mengobati luka masa lalu. Mereka yang kontra sepakat jika seharusnya mengatasi ‘beban itu’ melalui proses pemulihan pribadi, bukan sepenuhnya menyerahkan kepada pasangan.
Hubungan yang menjadi “tempat terapi” berisiko memunculkan pola ketergantungan emosional tidak sehat (codependency). Lambat laun kondisi ini bisa membebani salah satu pihak hingga memicu konflik yang berlarut-larut.
Pasangan Bukan Terapis: Membangun Hubungan Sehat Tanpa Membebani
Dalam hubungan romantis, berbagi cerita, pengalaman, bahkan trauma masa lalu adalah bentuk keintiman yang alami. Rasa aman dan dipercaya membuat kita ingin membuka diri. Penelitian menunjukkan bahwa berbagi secara sehat dapat memperkuat keintiman dan meningkatkan kedekatan emosional antar pasangan.
Namun, ada batas tipis antara berbagi sehat dan menjadikan pasangan sebagai “terapis pribadi”. Di sinilah masalah bisa muncul. Pasangan memang bisa menjadi pendengar yang baik, memberi dukungan, dan hadir dalam suka maupun duka.
Tetapi, melansir dari Verywellmind, menurut konselor Shandelle Hether-Gray, ketika memposisikan pasangan sebagai terapis, hubungan bisa berubah menjadi tidak seimbang. Pasangan pemberi dukungan bisa merasa terbebani, sementara yang menerima dukungan bisa menjadi terlalu bergantung.
Selain itu, pasangan membawa emosi dan kepentingan pribadi, berbeda dengan terapis profesional yang dilatih untuk memberi perspektif objektif serta menjaga batas etis.
Membebani pasangan dengan semua luka emosional kita bisa mengarah pada beberapa hal. Pertama, kodependensi: ketika satu pihak terlalu bergantung pada yang lain untuk regulasi emosi.
Dinamika satu arah, di mana salah satu pasangan lebih berperan sebagai “pengasuh” daripada pasangan sejajar. Dan terakhir, kelelahan emosional: pasangan bisa merasa kewalahan, menghindar, atau bahkan timbul kebencian.
Peran Terapi Profesional
Berbeda dengan pasangan, terapis di tempat rehabilitasi memberikan ruang aman, netral, dan terstruktur untuk mengolah trauma serta membangun strategi penyembuhan. Riset menunjukkan bahwa terapi dapat meningkatkan ketahanan emosional dan kualitas hidup dengan lebih efektif daripada hanya mengandalkan dukungan pasangan Hubungan yang sehat membutuhkan batas dan komunikasi jelas.
Beberapa langkah yang bisa dilakukan seperti bedakan kapan berbagi untuk koneksi, kapan butuh bantuan profesional. Gunakan meta komunikasi, beri tahu pasangan apa yang Anda butuhkan (“Saya ingin curhat, bukan minta solusi”). Jaga dukungan tetap konstruktif tanpa membebani pasangan. Pertimbangkan jaringan sosial lain (teman, keluarga, komunitas) agar beban emosional tidak hanya jatuh pada pasangan.
Pasangan memang sumber dukungan emosional penting, tetapi mereka bukan pengganti terapis sebagai tempat rehabilitasi. Menjaga keseimbangan antara berbagi dan mencari bantuan profesional justru membuat hubungan lebih sehat, penuh cinta, dan berkelanjutan.
Sekali lagi, pasangan sangat berperan dalam mendukung secara emosional, tapi ini berbeda dengan penanganan psikologis profesional. Beban emosional yang berlebihan, tanpa pelatihan atau objektivitas, dapat menyebabkan stres dan bahkan memperburuk kondisi mental pasangan.
Berharap punya hubungan nan romantis mungkin tidak masalah. Namun perlu berhati-hati, ketika berharap pasangan dapat menjadi “obat” bagi luka batin atau trauma masa lalu. Bahwa hubungan tidak pernah bisa menggantikan proses pemulihan diri yang sejati.
Rekomendasi

2 Comments