BincangMuslimah.Com – Dalam Al-Qur’an, pernikahan diibaratkan dengan perjanjian yang agung (Mitsaqan Gahlidzan). Baik suami dan istri satu sama lain memiliki hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Suami adalah pemimpin, pelindung, dan pembimbing bagi istri. Oleh sebab itu, wajib hukumnya bagi istri patuh dan taat pada suami.
Namun demikian, pemahaman tentang kepatuhan pada suami ini menjadikan kebanyakan istri patuh secara mutlak. Apapun yang dilakukan suami, baik dan buruk, itu adalah sesuatu yang menjadikan perantara atau wasilah seseorang untuk mencapai surga-Nya.
Sehingga dalam pandangan umum, istri yang salehah adalah yang patuh dan sendiko dawuh terhadap apa yang dititahkan suami. Tidak jarang banyak sekali istri yang bertahan dan patuh pada suami meskipun suami telah memukulinya, memperlakukannya dengan tidak manusiawi, dll dengan alasan sebagai bentuk kesalehan istri.
Dalam hal ini, Rasulullah Saw bersabda dalam riwayat Ali ibn Abi Thalib yang berbunyi;
لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ
Artinya: “Tidak ada kepatuhan dalam hal kemaksiatan kepada Allah, semestinya ketaatan adalah dalam hal-hal yang ma’ruf (kebaikan). (HR. Bukhari)
Keumuman makna hadis di atas menunjukkan bahwa selama perbuatan dalam rangka maksiat atau melanggar ketentuan Allah, maka setiap orang, termasuk suami sebagai pemimpin keluarga haruslah ditolak.
Maksiat, secara bahasa dalam kamus Lisanul ‘Arab adalah khilaf at-tha’ah atau antonim taat. Seseorang dikatakan maksiat apabila ia menyalahi perintah Tuhannya. Secara sederhana, di antara contoh maksiat adalah melarang shalat, berzina, mencuri, memukul orang yang tidak bersalah.
Dalam kaitannya dalam rumah tangga, perbuatan suami dikatakan maksiat apabila ia misalnya meminta “jatah” sedangkan istrinya dalam keadaan menstruasi seperti dalam QS. Al-Baqarah [2]: 222, menyuruh istri menggauli orang lain QS. Al-Isra’ [17]: 32, membantu suami menafkahi keluarga dengan cara yang tidak halal QS. Al-Baqarah [2]: 233, menyuruh mencuri, dll.
Pada hakikatnya, patuh kepada suami adalah bagian dari kewajiban suami, akan tetapi kepatuhan itu haruslah dilandasi aturan-aturan yang jelas sebagaimana yang Allah tetapkan sebagai perintah yang baik. Inilah mengapa, selain menegaskan kewajiban ini, Allah juga menegaskan para suami untuk menggauli istri dengan cara yang baik sebagaimana firman Allah swt.
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Artinya: Dan pergauliah mereka dengan cara yang baik. (QS. An-Nisa: 19)
Pada akhirnya, kepatuhan terhadap suami tidak bersifat mutlak karena sejatinya suami juga manusia biasa yang bisa khilaf dan salah. Tetap menjadi kewajiban istri untuk taat dan patuh kepada suami selama itu tidak melanggar apa-apa yang telah ditetapkan oleh Allah.
Wallahu A’lam bis shawab