BincangMuslimah.com – Salat adalah salah suatu ibadah yang wajib dilakukan oleh setiap muslim selama nyawa masih di kandungan badan. Hukum fikih pun sepertinya sudah selesai membahas detail hukum salat mulai dari tatacara hingga sejumlah kemungkinan kasus yang mungkin terjadi. Secara umum, hukum mengenai salat sudah selesai dibahas dalam kitab-kitab fikih karya para ulama di masa silam.
Salah satu syariat yang berkaitan erat dengan salat adalah hukum salat secara berjamaah. Dalam banyak literatur salaf, hukum dan tatacara salat berjamaah telah disebutkan secara detail. Termasuk mengenai hukum jamaah laki-laki, perempuan maupun jamaah yang di dalamnya terdapat kombinasi laki-laki dan perempuan.
Salah satu poin yang kerap kali dibahas dan ditekankan dengan kuat adalah larangan perempuan menjadi imam bagi jamaah laki-laki [Fathul Muin, 191; Fathul Wahhab, 1:73]. Para ulama mendasarkan ketidak bolehan ini pada hadis riwayat Ibnu Majah berikut ini:
أَلَا لَا تَؤُمَّنَّ امْرَأَةٌ رَجُلًا
“ingatlah, tidak boleh seorang perempuan mengimami seorang laki-laki”. (HR. Ibnu Majah)
Hadis di atas sepertinya sudah sarih dan undebatable mengingat mayoritas para ulama menjadikan hadis tersebut sebagai dalil. Sayangnya, sepertinya hukum yang diambil dari hadis tersebut belum merangkul pada kondisi spesial tertentu. Misalnya, apakah hukum tersebut masih berlaku jika perempuan lebih fasih membaca Alquran, lebih paham akan agama serta lebih dewasa usianya. Sementara laki-laki yang mungkin menjadi imam masih baru belajar membaca Alquran, muallaf atau masih anak-anak.
Mengenai hadis di atas, disebutkan dalam kitab karya jasser Audah yang berjudul As’ilah Haula al-Mar’ah wa al-Masjid fii Dau’i Nusus al-Syari’ah wa Maqasidiha bahwa sanad hadis tersebut bermasalah. Terdapat dua perawi yang dinilai dhaif (lemah kridebilitasnya) yaitu Ali bin Zaid bin Jad’an dan Abdullah bin Mahmud al-Adwi. Sebagaimana sudah maklum jika terdapat satu saja perawi hadis dari rentetan sanad yang dinilai dhaif, maka hadis tersebut turun dari level shahih.
Ketika suatu hadis turun dari level shahih, maka hadis lain menjadi mungkin untuk dibandingkan dan dikolaborasi hingga melahirkan hukum lain. Menariknya, dalam kitab ini Jasser Audah pun menampilkan hadis lain yang membandingi hadis tersebut. Yaitu hadis tentang Ummu Waraqah yang menjadi imam di dalam rumah bagi keluarganya. Berikut bunyi hadis tersebut:
عَنْ أُمِّ وَرَقَةَ الْأَنْصَارِيَّةِ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ، يَقُولُ: «انْطَلِقُوا بِنَا إِلَى الشَّهِيدَةِ فَنَزُورُهَا» وَأَمَرَ أَنْ يُؤَذَّنَ لَهَا وَتُقَامَ، وَتَؤُمَّ أَهْلَ دَارِهَا فِي الْفَرَائِضِ
“dari Ummu Waraqah al-Anshariyyah bahwa Rasulullah saw. bersabda: “ikutlah bersama kami ke (tempat tinggal) syahidah (Ummu Waraqah). Kemudian kami mengunjungi (tempat tinggal) syahidah.” lalu Rasululullah saw. memerintahkan seseorang untuk azan dan iqamah untuk Ummu Waraqah, dan Waraqah mengimami keluarganya melaksanakan salat fardu”. (HR. Hakim)
Hadis yang ditemukan dalam Al-Mustadrak ‘ala Shahihain li al-hakim ini secara tegas menyebutkan bahwa Ummu waraqah yang notabene seorang perempuan mendapatkan legalitas untuk menjadi imam bagi keluarganya di rumah. Abu Daud dalam Sunan-nya menyebutkan bahwa keluarga yang dimaksud adalah sejumlah anak laki-laki dan budak perempuan. Namun, sebagaimana hadis sebelumnya hadis ini juga diperselisihkan sanadnya oleh para ulama.
Disebutkan oleh al-San’ani dalam kitabnya Subulus Salam bahwa hadis ini menjadi dalil akan keabsahan perempuan menjadi imam salat sekalipun di dalam jamaahnya terdapat laki-laki. Karena orang-orang yang ada pada kisah Ummu waraqah adalah para anak laki-laki dan para budak perempuan. Walaupun mayoritas ulama mengatakan tidak boleh, namun Imam Abu tsur, al-Muzanni dan al-Thabari mengatakan sebaliknya: perempuan boleh mengimami laki-laki.
Pendapat di atas, tidak otomatis memberikan kebebasan penuh pada perempuan untuk menjadi imam salat bagi laki-laki. Dalam suatu riwayat, Ibnu Taimiyah menyebutkan kutipan pendapat Imam Ahmad bin Hanbal mengenai hukum ini. Beliau menyebutkan bahwa seorang perempuan boleh menjadi imam bagi laki-laki pada salat tarawih. Selain itu hal tersebut dibolehkan jika laki-laki yang menjadi makmum adalah ummi (tidak bisa membaca Alquran dengan fasih) dan perempuan yang menjadi imam adalah orang yang fasih.
Selain kriteria di atas, disebutkan kriteria lain dalam kitab Jasser Audah ini. Yaitu hendaknya kebolehan perempuan menjadi imam bagi laki-laki itu tertentu jika tempat salat yang dimaksud adalah masjid daar. Yang dimaksud dengan masjid daar adalah tempat salat yang ada di dalam rumah (musala, surau dan lainnya). Artinya, perempuan mutlak tidak boleh menjadi imam bagi laki-laki jika di masjid umum.
Dari kisah di atas, dapat diambil sejumlah kesimpulan. Pertama, bahwa Ummu Waraqah adalah perempuan pertama yang mendapat legalitas Nabi Muhammad saw. untuk menjadi imam salat bagi laki-laki. Kedua, keabsahan tersebut harus memenuhi sejumlah kriteria ketat. Ketiga, hukum boleh tersebut masih khilaf di kalangan ulama. Pun, sanad hadis yang menjadi rujukan masih diperselisihkan. Oleh karena itu, selama masih ada laki-laki yang memenuhi syarat maka hendaknya ia tetap didahulukan.