BincangMuslimah.Com – Al-Qur’an menjelaskan bahwa istilah kata minimalis mengarah kepada lawan dari kata “badhdhara” بذّر dan “sarafa” سرف, yang diartikan sebagai berlebih-lebihan, menghambur-hamburkan, dan boros. Dalam pembahasannya, banyak ayat al-Qur’an yang memberi penjelasan tentang kata “badhdhara” dan “sharafa”. Berikut penjelasan dan tuntunan tentang hidup minimalis dalam al-Qur’an.
Setidaknya terdapat tiga kali penyebutan lafal badhdhara, dan 23 kali penyebutan lafal sharafa, di antaranya meliputi penjelasan tentang prinsip-prinsip dasar konsumsi secara proporsinal, menginfakkan harta secara tidak berlebih-lebihan, dan larangan menghambur-hamburkan harta.
Namun, dalam ayat lain juga banyak disinggung tentang cara mengelola harta sesuai syariat seperti kata “basatha” بسط yang bermakna terlalu mengulurkan dan “takatsur” تكاثر yang bermakna bermegah-megahan. Dalam al-Qur’an, bentuk gaya hidup minimalis dikaitkan dengan ayat yang menjelaskan tentang larangan berlebih-lebihan yaitu, lafal “la tusrifu” لا تسرفوا dan “la tubadhdhir” لا تبذّروا . Anjuran gaya hidup minimalis digambarkan dalam 3 surat di antaranya ;
Surah al-A’raf ayat 31
يَٰبَنِىٓ ءَادَمَ خُذُوا۟ زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا۟ وَٱشْرَبُوا۟ وَلَا تُسْرِفُوٓا۟ ۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلْمُسْرِفِينَ
Artinya: Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.
Ketika turun ayat tersebut, maka makan dan minum perlu diperhatikan nilai gizi dan waktunya. Hal ini bertujuan agar manusia lebih fokus dan kuat ketika beribadah. Ayat ini pula mengandung makna bahwa makan dan minum besar manfaat dan kaitannya terhadap kesehatan yang mempengaruhi kehidupan. Melalui makanan dan minuman dapat berakibat fatal bagi kesehatan jika disantap dengan berlebihan.
Larangan berlebihan dalam ayat berisi beberapa makna, yaitu:
Pertama, makan dan minum secukupnya; artinya dengan porsi yang disesuaikan kebutuhan tubuh. Karena jika berlebihan dan melampaui batas akan mengakibatkan penyakit. Begitu pula dengan mengonsumsi suatu barang, membeli sesuatu ketika butuh dan merasa cukup dengan apa yang dibutuhkan bukan yang diinginkan.
Kedua, jangan berlebihan dalam berbelanja karena akan mengakibatkan kerugian. Apabila pendapatan yang diperoleh tidak sebanding atau lebih kecil dengan pengeluaran, maka akan menjadikan hutang.
Ketiga, berlebihan juga termasuk mengkonsumsi sesuatu yang diharamkan Allah. Semua yang dilarang oleh Allah akan merusak, mendatangkan kerugian, dan bahaya.
Surah al-Furqan ayat 67
وَٱلَّذِينَ إِذَآ أَنفَقُوا۟ لَمْ يُسْرِفُوا۟ وَلَمْ يَقْتُرُوا۟ وَكَانَ بَيْنَ ذَٰلِكَ قَوَامًا
Artinya: Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.
Ayat tersebut menunjukkan bahwa setiap hamba-hamba Allah mempunyai harta sehingga mampu memberi, dan harta yang dimiliki tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan sehingga bisa menyalurkan sedikit atau banyak untuk beribadah. Apabila hal tersebut dapat diaplikasikan, maka manusia dianggap sukses dalam memperoleh kebutuhan hidup. Selanjutnya lafal “qawaman” yang bermakna adil, moderat, dan pertengahan.
Melalui ayat ini Allah mengisyaratkan manusia untuk mampu memelihara harta dengan baik, seseorang harus menjauhi sifat boros. Akan tetapi tidak pula terlalu menahan sehingga mengorbankan keadaan diri sendiri, keluarga, dan siapapun yang membutuhkan. Memelihara harta dapat mengantarkan seseorang selalu bersedia dalam melaksanakan titah agama. Moderat atau sikap pertengahan yang dimaksud di sini yaitu dalam kondisi normal, ditinjau dari keadaan atau situasi masing-masing individu sesuai dengan yang dijalani.
Surah al-An’am ayat 141
وَهُوَ ٱلَّذِىٓ أَنشَأَ جَنَّٰتٍ مَّعْرُوشَٰتٍ وَغَيْرَ مَعْرُوشَٰتٍ وَٱلنَّخْلَ وَٱلزَّرْعَ مُخْتَلِفًا أُكُلُهُۥ وَٱلزَّيْتُونَ وَٱلرُّمَّانَ مُتَشَٰبِهًا وَغَيْرَ مُتَشَٰبِهٍ ۚ كُلُوا۟ مِن ثَمَرِهِۦٓ إِذَآ أَثْمَرَ وَءَاتُوا۟ حَقَّهُۥ يَوْمَ حَصَادِهِۦ ۖ وَلَا تُسْرِفُوٓا۟ ۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلْمُسْرِفِينَ
Artinya: Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon kurma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.
Ayat tersebut juga menjelaskan terdapat hak orang lain dalam harta yang dimiliki seseorang, wajib ditunaikan bagi yang memiliki harta. Terkait perintah memberi sebagian harta kepada yang membutuhkan tanpa ditetapkan kadar dan waktu pelaksanaannya, maka para ahli fikih tidak menyebutnya sebagai zakat, meskipun hal itu tidak mereka sanggah sebagai perintah dari Allah sejak dahulu saat Nabi masih berada di kota Mekah.
Ayat ini pula menyebutkan tiga unsur penting dalam menikmati pemberian dari Allah, yaitu mengonsumsi makanan dari hasil panen yang baik. Hal itu disediakan Allah untuk makhluk-Nya di atas muka bumi, diturunkan hujan untuk menyuburkan tanaman sehingga hasil yang didapat baik untuk dinikmati. Kemudian ketika memetik hasil terdapat hak-hak orang lain untuk dipenuhi, seperti fakir miskin dan semisalnya.
Terakhir yaitu, larangan bersikap royal karena Allah mencela perbuatan tersebut. Ajaran ini diperintahkan karena kebiasaan manusia ketika sedang memperoleh hasil berupa harta kekayaan, sulit untuk mengendalikan diri. Harta memperbudak manusia untuk memenuhi semua keinginan hawa nafsunya.
Demikian ayat-ayat yang menjadi pedoman dan tuntunan untuk menerapkan hidup minimalis dalam al-Qur’an. Semoga bermanfaat.
Sumber:
Agama RI, Kementrian. Al-Qur’an dan Tafsirnya. Jakarta: Lentera Abadi, 2010, Jilid 1.
Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an, Lajnah. Pembangunan Ekonomi Umat (Tafsir Al-Qur’an Tematik). Jakarta: Aku Bisa, 2015.
Shihab, Quraish. Tafsir al-Mishbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati, 2002.
1 Comment