BincangMuslimah.Com – Di era disrupsi, saat semua berpindah ke digital, segala sesuatu menjadi begitu cepat. Utamanya penggunaan media sosial yang tinggi, orang-orang selalu berlomba menunjukkan kekayaannya, kebahagiannya, prestasinya. Hal yang menjadi sulit adalah saat kita melihat kehidupan orang lain seolah bahagia, begitu sempurna. Padahal, kita tidak tau persis apa yang sebenarnya dialami. Hingga hatipun merasa gelisah dan merasa useless, tidak berguna sebab melihat sepertinya orang lain memiliki hidup yang sempurna. Padahal kita bisa hidup bahagia tanpa perlu membanding-bandingkan.
Dunia maya begitu menipu banyak mata. Media sosial memang seperti pisau, bila digunakan dengan baik ia akan bermanfaat bagi penggunanya. Bila sebaliknya? kita tau jawabannya. Di era pandemi seperti ini, waktu membuka media sosial semakin luang. Hingga kita makin sering membanding-bandingkan hidup kita dengan orang lain. Berbagai platform menjadi tempat untuk publikasi seperti Instagram, Tiktok, Facebook, dan Twitter.
Begitu juga pergerakan dunia fashion dan teknologi yang pesat sekali. Setiap orang selalu belomba-lomba menjadi yang pertama, paling keren, dan pengikut. Tiap kali suatu bran fashion tertentu, kita lantas buru-buru mengikutinya. Misal, saat ini penggunaan media sosial TikTok sangat tinggi terutama saat pandemi. Semua konten yang viral tentang fashion seringkali diikuti oleh masyarakat. Padahal di lemari, masih banyak baju, tas, sepatu, topi, dan jilbab yang masih bisa dipakai.
Setelah mereka berhasil mengikuti trend, mereka mempostingnya di media sosial untuk menunjukkan bahwa mereka juga bahagia. Bahwa mereka juga mampu mengikuti trending. Manusia-manusia saat ini rentan sekali akan hausnya pujian, termasuk kita. Kita memang tidak bisa mengontrol orang-orang di luar kita untuk tidak memposting apapun, tapi kita bisa mengendalikan reaksi dan respon diri kita untuk tetap mensyukuri apa yang dimiliki lalu hiduplah seperti biasanya.
Sebelum trending istilah-istilah hidup minimalis atau kampanye gaya hidup sederhana dan menerima, Islam mengenal Istilah zuhud dan qana’ah. Keduanya hampir dekat makna dan praktiknya. Tapi kali ini mari kita bahas mengenai qona’ah.
Istilah qona’ah disebutkan dalam beberapa hadis Rasullah. Salah satunya dalam sebuah hadis Nabi dari sahabat Jabir:
عن جابر رضي الله عنه عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه قال: القناعة كنز لا يفنى
Artinya: dari Jabir R.A dari Rasulullah Saw bahwa sesungguhnya beliau bersabda, “qona’ah adalah harta simpanan yang tidak pernah habis.”
Hadis ini mengandung makna yang luar biasa. Jika seorang hamba memiliki rasa qona’ah maka ia akan merasa cukup dengan apa yang ada di genggamannya. Lantas, apa makna qona’ah itu?
Syekh Abu Bakar al-Makky mendefinisikan qona’ah sebagai keridhoan atas pemberian yang sedikit. Jika seseorang merasa ridha dengan apa yang ia dapatkan meski sedikit ia telah disebut menjalani sikap qona’ah. Hadis Rasulullah yang menyebutkan bahwa qona’ah adalah harta simpanan yang tidak akan habis menggambarkan betapa sesungguhnya orang yang qona’ah justru adalah orang yang kaya raya. Sebab hatinya selalu merasa cukup dan terpenuhi.
Sedangkan Syekh Nawawi al-Bantani mendefinisikan qona’ah sebagai bentuk penerimaan atas apa yang Allah beri. Dalam istilah jawa atau filosofi jawa sering disebut nerimo ing pandum, menerima pemberian. Baik sedikit, ataupun banyak. Baik mudah, atau sukar. Segalanya diterima saja.
Ada sebuah syair indah yang digubah oleh Imam Syafi’i, sosok ulama yang dikenal sebagai ahli fikih:
ورزقك لا يفوتك بالتواني # وليس يزيد في الرزق العناء
إذا ما كنت ذا قلب قنوع # فأنت ومالك الدنيا سواء
Rezekimu tidak akan hilang sekalipun kau lamban dalam berupaya
Dan tidak akan bertambah sekalipun kau sangat bersusah payah dalam menggapainya
Apabila hatimu memiliki rasa qona’ah
Maka engkau ibarat memiliki dunia
Syekh Nawawi al-Bantani mengajarkan umat Islam agar tak berlebih-lebihan dalam mengkonsumsi makanan, berpakaian, atau memiliki barang-barang lainnya. Ajaran ini telah lama diwariskan oleh ulama-ulama kita agar senantiasa merasa cukup dengan apa yang kita miliki. Seharusnya kita bisa menjadi umat yang berkarakter dan memperhatikan esensi dari apa yang kita lakukan dan kita kenakan, bukan sekedar ikut-ikutan. Terlebih trend-trend yang hanya melihat luarnya saja, penampilannya saja, atau harga sebuah brand yang melambung tinggi.
Sikap qona’ah akan membuat kita merasa bahagia tanpa perlu membanding-bandingkan dan memiliki karakter serta indikator bahagia tersendiri. Melepaskan diri dari ketergantungan materi. Sikap ini yang justru membuat kita menjadi manusia yang bisa melihat hal apapun, termasuk di media sosial dengan jernih dan bijaksana.
Begitu juga soal keberhasilan. Kita sering mendengar bahwa usaha takkan mengkhianati hasil. Tapi seringkali apa yang kita upayakan susah payah tak sebanding dengan hasil. Atau bahkan apa yang tidak betul-betul kita upayakan Allah memberinya lebih. Apa artinya? Apakah kita pasrah saja tanpa berusaha? Justru sikap qona’ah akan mengantarkan kita pada sikap optimis sekaligus ketundukkan sebagai hamba. Sikap ini akan melahirkan kerendahan diri di hadapannya bahwa segala sesuai adalah kuasaNya, kehendakNya, sesukaNya. Sebagai hamba hanya berupaya sebagai tugas penyembahan. Wallahu a’lam bisshowab.